Longevity is Not That ‘Sexy’

‎As I saw this movie played on TV, I was desperately thinking what novel I could pick as an object of study. The end of my post graduate study was drawing nearer, which frustrated me in some way because nearly everytime I attended classes in the third semester, everyone else seemed to have chosen one piece of literary work they truly like and would spend much of their last semester for studying it. I didn’t particularly interested in any single novel. A loser was what I felt like.

But then I realized the movie was so rich in themes to analyze, study and write‎ a thesis based on. It turned out the movie was titled “The Green Mile”. Or sort of. A movie adaptation of a novel, a best-seller one I was sure. It told a story of a gigantic black man who happened to have a supernatural power. And there was a kind guy. I assumed he was a police officer, played mesmerizingly by Tom Hanks. To cut the story short, the officer lived on, even when his peers succumbed to the death angel’s calling. There was only this cute mouse who was as ‘immortal’ as he had become. Together they stayed in a small hut in the woods while everyone their age was at the brink of death or already gone for good. Apparently, that was a consequence of the ‘power’ the black man had passed (un)deliberately onto him, and the mouse.

This forlorn depiction of the good guy (good-natured, optimistic people are said to live longer, some say) and the rodent may ‎take us to a moment of contemplation. Because these days we all want to live longer, whatever it takes. Inasmuch as, living longer is closely associated with higher level of happiness, satisfaction in life. There have been efforts – either scientifically or pseudoscientifically – to discover ways to turn back the clock. Alas, that’s in vain!

An article I stumbled upon on the web recounted the similar sense, that longevity is not that fun actually. It is horrible to experience, not to mention depressing. So this article writer‎ shared her own story of living as a middle-aged woman. Suddenly she thought of living too long. “How if I stay alive still until my 100th birthday when everyone I knew, loved and used to talk with every day is dead and buried or cremated already? What is this longevity for eventually if all you can feel is loneliness and incessant pain in old age?”

‎Upon reading the latest edition of Time Magazine yesterday, I can get the sense once again. That scent of purposelessness in the quest of fountain of youth and immortality. It reads:”How old can we live to be? That remains to be seen but if a promising drug does to humans what it does to mice – a big if – the answer is 142. Mice have a median survival time of 27 months but with treatment, the longest-living mouse hit 48 months, a life 1.77 times longer. The median human lifespan is 80 years – so if the oldest person lived 1.77 times longer, he or she would reach 142.”

‎Apart from all these debates on how important to stay healthy and young in and out, all I want to remind myself of is the advice of a lecturer back then. What matters most is not how we die – or in this very topic, how old when we die. We do not even have to worry a tiny bit about that. It is beyond our complete and utter control. We will never know how, where and when we perish from this world. Yet, what we must be more concerned with is how we live this life. Whether it be long or brief, your life is not supposed to get wasted.

Untuk Perkuat Tulang, Makan Buah. Bukan Minum Susu.

Lupakan susu jika ingin menjaga kesehatan tulang. Buah lebih ampuh dalam memperkuat tulang, menurut temuan sebuah studi ilmiah.

Untuk tetap menjaga kesehatan tulang, konsumsi berlebihan secara terus menerus makanan yang berkandungan lemak dan gula yang tinggi ‎juga harus dipantang. Riset juga menunjukkan bahwa makanan tinggi lemak dan gula memperlemah tulang dan memicu osteoporosis.

Meskipun tren konsumsi makanan tinggi gula dan lemak serta risiko osteoporosis ini terus naik, masih ada harapan untuk melawannya. Demikian pernyataan Ron Zernicke, profesor dalam bidang teknik biomedis dan pembedahan ortopedi di University of Michigan. Komunitas medis dan masyarakat umum bisa membalikkan tren ini melalui diet, olahraga dan dalam beberapa kasus tertentu, pengobatan medis.

‎Para warga di AS menuntut tindakan nyata sekarang, kata Cy Frank, direktur eksekutif Alberta Bone and Joint Health Institute dan ahli bedah ortopedi yang berpraktik di kota Calgary. Generasi baby boomers merupakan generasi pertama yang mengkonsumsi makanan cepat saji, menciptakan tren makanan tinggi gula dan lemak dalam sejarah. Akibatnya wabah obesitas pun meluas.

‎Zernicke berpendapat generasi baby boomers (mereka yang berusia maksimal 66 tetapi lebih tua dari generasi X yang lahir tahun 1980-an) telah mencapai tahap dalam kehidupan saat mereka paling rentan terhadap masalah tulang dan persendian.

Prediksi umum ahli bedah AS bahwa hingga tahun 2020, separuh warga AS berusia di atas 50 tahun akan menderita atau berisiko menderita osteoporosis di pinggul. Ini menjadi berita buruk bagi kaum wanita yang lebih rentan menderita osteoporosis hingga 2-3 kali lebih tinggi dari para pria.

‎Dikatakan bahwa ada dua cara bagaimana gula dan lemak memperlemah tulang. Pertama, keduanya menghalangi penyerapan kalsium sehingga kalsium terbuang keluar bersama air seni. Kedua, lapisan lemak yang menyelubungi usus mempersulit penyerapan kalsium. Berat badan berlebih membuat tulang belakang juga terbebani dan melemah, ujar Zernicke.

Diet dan olah fisik menjadi dua senjata utama melawan osteoporosis. Makanan sehat dan aktivitas fisik yang cukup membuat pertumbuhan jaringan tulang optimal sehingga risiko osteoporosis menurun pula.

Namun, pencegahan juga mencakup banyak hal di luar makanan dan olahraga. Menyingkirkan makanan siap saji dan menerapkan gaya hidup sehat di dalam keseharian kita juga sangat membantu, ungkap Zernicke. (University of Michigan)

Inspirator vs Inspirer

‎Mana yang betul menurut Anda, “inspirator” atau “inspirer”?

Inilah salah satu kasus yang menunjukkan bahwa yang benar justru tampak salah hanya karena lebih jarang dipakai atau diucapkan.

Saya pun pertama kali terkecoh saat seseorang bertanya pada saya,”Kata ‘inspirator’ itu dalam bahasa Inggris ada nggak ya?”‎ Spontan saja saya mengangguk, karena kata itu begitu familiar dalam bahasa Indonesia. Semua orang tampaknya juga berpikir demikian.

‎Begitu diperiksa di kamus bahasa Inggris, ternyata tidak ada kata “inspirator”! Mencengangkan juga. Bagaimana bisa?!

Usut punya usut, betul juga kalau kata “inspirator” itu sebenarnya kesalahan yang melanggar logika bahasa, terutama morfologi. Hanya saja, karena ia lazim sehingga kesalahan itu dianggap benar saja oleh khalayak ramai.

Jadi begini penjelasannya: Kata “inspire” (menginspirasi) dapat diubah menjadi pelaku (agent/ doer) dengan ditambahi akhiran (suffix) -er/or/r . Jadi bagaimana bisa “inspire” menjadi “inspirator” (orang yang menginspirasi)? Bahasa Inggris tidak mengenal akhiran -ator/tor. Nah, dari aturan itulah akhirnya kita bisa memahami secara logis bahwa “inspire” haruslah menjadi “inspirer”.

Saat Sastra Mengkritisi Agama: 26 Tahun Fatwa Mati Salman Rushdie (2)

salman rushdie
salman rushdie

Kebebasan Berpendapat

Pemerintah Inggris melalui Foreign Secretary Jeffrey Howe yang disiarkan oleh BBC World Service mencoba memberikan pemahaman pada dunia dan terutama Iran, karena kedua negara baru saja membangun hubungan bilateralnya, bahwa pihaknya tidak terkait dengan novel The Satanic Verses. Mereka hanya mendukung kebebasan berpendapat dan jika dikatakan tersinggung, pemerintah Inggris juga sepatutnya tersinggung karena Perdana Menteri Margaret Tatcher juga disindir melalui penggunaan nama Mrs Torture (Nyonya Penyiksa) dan para polisi Inggris dalam deskripsi di novel tersebut juga digambarkan bengis dan rasis terhadap karakter Saladin.

Fatwa itu juga memicu korban di kalangan muslim Eropa sendiri. Seorang pimpinan muslim moderat di Belgia, yang menyatakan sikap kontra pada fatwa mati Rushdie di televisi, akhirnya tewas menjadi korban penembakan.

Dalam waktu sebulan, agar bisa terus menghindari kejaran, Rushdie berpindah tempat tinggal 57 kali. Ia hidup dalam pelarian, sehingga tak bisa tinggal di satu tempat lebih dari 1 malam. Kehidupannya mulai kehilangan keseimbangan.

Setelah Ayatollah Khomeini meninggal dunia, tidak seorang pun memiliki keberanian dan kekuasaan yang setara untuk menarik kembali fatwa mati Rushdie.

Di dalam negeri sendiri, pembelaan terhadap Rushdie dipersoalkan oleh beberapa pihak termasuk sejumlah penulis asli Inggris yang menganggap Rushdie – yang tidak terlahir di Inggris – tak pantas untuk dibela sedemikian rupa hingga begitu banyak ongkos yang harus dikeluarkan, baik dari sisi pemerintah hingga rakyat Inggris sendiri. Novelnya itu memang sudah mengoyak-ngoyak Inggris sedemikian rupa. Keresahan sosial politik terus meluas karena penerbitan The Satanic Verses.

Rushdie sendiri mengalami keruntuhan psikologis dan mental. Kehidupan rumah tangganya hancur. Ia bercerai dari istri keduanya Marianne Wiggins. Rushdie menyalahkan statusnya sebagai pesakitan fatwa mati Khomeini adalah biang keladinya. Selama 18 bulan, Rushdie juga tidak dihubungi oleh pemerintah Inggris. Ia diperlakukan seperti diasingkan. Pemerintah Inggris tampaknya juga tidak banyak membela Rushdie karena masih harus mempertimbangkan hubungan diplomatiknya dengan Iran, yang perlahan mulai dipulihkan kembali secara diam-diam setelah 18 bulan fatwa dikeluarkan. Inggris tidak mau terkesan banyak membela Rushdie yang menjadi musuh Iran. Dan bisa jadi pemerintah Inggris juga menyalahkan Rushdie atas semua kekacauan yang terjadi dalam bidang lain, misalnya pembebasan tawanan dan tahanan Inggris di Iran juga. Setelah The Satanic Verses terbit dan fatwa mati muncul, Inggris jadi was-was kalau warganya yang ditahan di Iran akan dihukum mati pula jika Rushdie tidak diserahkan untuk dihukum mati. Dikatakan oleh Frances D’Souza yang menjabat sebagai salah satu anggota Komite Pembela Rushdie, novelis itu memang merasa tidak berguna, tidak nyaman, tertekan karena terisolasi dari kehidupan normal, ditinggalkan orang-orang terdekatnya.

Rushdie Masuk Islam

Dalam sebuah wawancara, Rushdie menyebut kata “Tuhan”. Dan mengetahui itu, Essawy terhenyak,”Kenapa bisa sampai seorang atheis menyebut nama Tuhan?” Ia kemudian mencoba menghubungi Rushdie dengan menyerahkan nomor teleponnya, dan mereka bercakap-cakap via telepon selama berpuluh-puluh jam.

Essawy kemudian bertatap muka dengan Rushdie. Saat Essawy mengatakan bahwa Rushdie tak bisa berempati dengan muslim karena ia bukan bagian dari umat muslim, Rushdie menyanggah,”Saya muslim!” Rushdie berupaya meyakinkan Essawy bahwa dirinya ingin masuk Islam. Essawy menyusun rencana untuk memastikan Rushdie menjadi muallaf dengan sah. Ia mengundang dukungan dari presiden Mesir kala itu, Husni Mubarak, serta 6 ulama besar Islam. Mereka bertemu di Paddington Green untuk menyaksikan Rushdie bersyahadat di malam Natal 1990. Bersamaan dengan itu, Rushdie menyetujui pembatalan penerbitan edisi paper back novel The Satanic Verses dan resmi menjadi muslim dengan ulama-ulama sebagai saksinya.

Sayangnya, semua itu membuat posisinya malah makin terdesak. Para penentangnya tidak percaya ia benar-benar tulus masuk Islam, dan para pendukungnya menjadi terbelah dua. D’Souza yang semula membelanya juga berang tatkala mengetahui Rushdie menyatakan masuk Islam secara terbuka di media. Saudara perempuannya juga tidak percaya Rushdie masuk Islam.

Rushdie memang hanya berakting. Ia melakukan itu semua untuk meluluhkan hati para pendukung fatwa matinya. Dalam sebuah catatan harian tertanggal 1 Januari 1991, ia menulis:”Sejak berkompromi dengan ulama muslim di malam Natal itu, saya merasa muak. Muak di hati dan mual di perut. Ini bukan saya. Saya menelpon saudara saya, ia berkata,’Kau sudah gila?’ Dan ulama yang saya temui itu ada di TV mengutuk homoseksual, yang lain menulis artikel di surat kabar bahwa menampar istri kita yang melawan bukan hal terlarang. Apa yang sudah saya lakukan? Saya mengulangi alasan saya terus menerus. Saya ingin umat muslim tahu bahwa saya bukan musuh mereka. Saya hanya ingin umat muslim menjadi lebih baik, terbuka dan lebih ramah, tidak serepresif sekarang. Saya pikir saya bisa melakukannya dengan menjadi bagian mereka. Tampaknya omong kosong. Itu cuma pembenaran diri. Ini hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidup saya.” Beberapa waktu kemudian Rushdie mengumumkan ia tak lagi menjadi muslim.

Setelah peristiwa pembunuhan Prof Hitoshi Egarishi penerjemah The Satanic Verses di Jepang dan penyerangan terhadap penerjemah Italia, pemerintah Inggris meminta Rushdie ‘tutup mulut’.

Tahun 1993, Rushdie bertemu dengan pemerintah Inggris dan mengatakan hasil pertemuan sangatlah positif. Inggris kemudian bertemu dengan Iran dan membicarakan penghapusan fatwa mati Rushdie. Iran mengatakan pencabutan fatwa secara teknis tidak mungkin terjadi tetapi Iran memastikan tidak ada lagi pengiriman orang untuk melenyapkan nyawa sang novelis.

Pembicaraan Iran dan Inggris di Kantor Pusat PBB, New York, membuahkan hasil. Tanggal 24 September 1998, menlu Iran mengumumkan pemerintahnya tidak ingin mengancam nyawa Rushdie dan semua pihak yang terkait dengannya. Namun, kaum garis keras tetap menganggap fatwa tak akan bisa dicabut begitu sudah ditetapkan. Dan bagi mereka pemerintah Iran tak memiliki kuasa setinggi Ayatollah Khomeini untuk bisa mencabutnya. Toh Rushdie menyatakan kepuasannya atas pernyataan resmi menlu Iran itu.

D’Souza berpendapat pencabutan fatwa mati itu penting karena itu menjadi jalan untuk menegaskan kembali kebebasan mengutarakan pendapat, menyelesaikan perselisihan pendapat dengan perundingan bukan kekerasan. “Inilah pilar demokrasi dan patut diperjuangkan,” kata D’Souza.

Bumerang bagi Muslim

Inayat Bunglawala (penulis isu-isu Islam) setuju bahwa umat muslim Inggris harus lebih bijak di masa datang jika dihadapkan pada skenario yang sama. Bila ada karya sastra yang dianggap melecehkan ajaran agama mereka, unjuk rasa dan pembakaran buku untuk mendesak penarikan dan pelarangan buku itu kurang efektif. Yang terjadi malah memburuknya citra muslim di masyarakat Inggris dan dunia. “Citra yang ditinggalkan di benak masyarakat Inggris (atas pembakaran buku itu) sangatlah negatif,” jelas pendukung Ayatollah itu. Alih-alih demikian, Inayat menyarankan masyarakat muslim untuk menyediakan ruang untuk bertarung secara intelektual. Dengan demikian, ide dilawan dengan ide. Karena ide tidak bisa mati dengan menembak kepala si pemilik ide atau dengan membakar buku yang bermuatan ide itu, apalagi setelah sebuah buku terbit secara luas.

Semua kekerasan memang menjadi bumerang bagi pelakunya, tidak peduli dilakukan demi kejahatan atau kebaikan. Efeknya sama saja. Buruk. Di samping memburuknya citra muslim, Rushdie malah makin menarik simpati publik. Ia kini dianggap sebagai korban dan pihak yang tertindas, meski sebelumnya ia bisa dikatakan sebagai penyerang, agresor yang semestinya dihukum berat. Rushdie pun diganjar penghargaan Knighthood (menyandang gelar Sir dari Ratu Elizabeth) karena dianggap sebagai sosok yang menginspirasi dalam dunia sastra. Sebuah pil pahit untuk umat muslim. Sesuatu yang bisa dihindari jika saja umat muslim bisa lebih bijak menyikapi.

Kata-kata Bijak Tiongkok

1. ‎Seekor gajah besar ketakutan terhadap kawanan semut kecil.
(Seseorang yang berkedudukan tinggi bisa merasa terancam oleh banyak orang yang berposisi lebih rendah yang kompak)

‎2. Seekor anjing galak karena punya majikan. (Seseorang berani cuma karena didukung orang lain yang lebih berkuasa)

3. Teman-teman yang ditemui dalam perjalanan tak selalu bisa dipercaya.

4. Bahkan seorang anak usia 3 tahun bisa memberikan opini yang kompleks.
(Bicara itu sungguh mudah)

5. Bahkan seorang pandir punya sisi cerdasnya.
(Jangan menyepelekan orang yang berkekurangan sekalipun)

6. Orang bijak menyalahkan dirinya namun orang bodoh mengeluh ke temannya.
(Lebih baik sibuk memperbaiki diri daripada mengeluh)

7. Kata “besok” banyak ditemui dalam kosakata seorang pemalas.
(Pemalas suka menunda)

8. Unta di Gurun Gobi tak mau menurunkan muatan di punggungnya.
(Seorang teman yang baik tak tinggalkan temannya di kondisi sulit sendirian)

9. Bagaimana seseorang bisa menikmati sesuatu saat ia belum menderita?
(Hidup ini perlu keseimbangan, bekerja dulu baru bersenang-senang)

10. Jangan membual di depan orang dan mencerca di belakang mereka.
(Jangan bersikap munafik)

11. Jika Anda membual tentang diri sendiri, Anda hanya akan diejek dan diolok-olok.
(Bersikaplah rendah hati agar tak direndahkan orang)

12. Seseorang yang telah digigit ular akan ketakutan karena seutas tali selama 3 tahun.
(Trauma setelah kejadian naas itu sukar dihilangkan)

13. Penjudi pasti akan menjual rumahnya.
(Seorang yang suka berjudi akan kehilangan segalanya)

14. Orang kaya bisa berbicara semaunya. Mereka yang berpakaian bagus mendikte aturan.
(Harta dan penampilan membuat orang tampak berkuasa)

15. Beberapa bulan menganggur bisa membuat orang rusak seterusnya.
(Tak memiliki pekerjaan membuat manusia kehilangan harapan)

16. Bunga orang lain selalu terlihat lebih merah.
(Milik orang lain selalu terlihat lebih baik)

17. Jika dua orang ditugasi merawat sebuah rumah, rumah itu akan menyempit. Jika mereka berbagi perahu, perahu itu akan bocor.
(Hubungan dengan orang lain pasti memiliki pasang surut)

18. Bencana biasa masuk ke rumah tangga lewat lidah seorang istri.
(Perkataan tajam bisa menghancurkan)

19. Terlalu banyak buruh bangunan membuat rumah yang miring.
(Makin banyak orang yang terlibat dalam pekerjaan, makin susah tercapai hasil yang baik)

20. Menganggur timbulkan gairah.
(Saat pikiran kosong, masuklah hal-hal yang negatif)

21. Jika kau berutang banyak duit pada seseorang, kau harus sering kunjungi dia.
(Akrablah dengan orang yang memberikan kebaikan.)

22. Uang sembunyikan ribuan kesalahan.
(Uang sogok bisa buat orang tutup mulut)

23. Jika seseorang berpakaian kusut di muka umum, semua itu salah temannya.
(‎Saat seseorang berbuat salah atau kurang patut, teman sejatinya harus mengingatkan)

24. Tiap rumah ada babi hitamnya.
(Dalam sebuah kumpulan, selalu ada satu orang yang menjadi bulan-bulanan)

25. An honest magistrate will remain poor.
(Pejabat jujur tak kunjung kaya)

26. Orang dermawan punya banyak kekayaan.
(penderma akan punya banyak teman)

27. Jangan berteman dengan orang yang setara, bertemanlah dengan orang yang lebih baik dari Anda.

28. Orang yang tak punya sepatu harus menyaksikan orang yang tak berkaki.
(Agar bersyukur, lihat mereka yang lebih malang)

Promotion Out of Desperation

‎You know when people promote their products or services owing to desperation plus ignorance of effective, ethical and brainy strategies. They simply bombard your neews feeds with self promotional updates. It’s all right there to see and dislike.

And guess what, how many people really want to buy from merchants like this immediately? I don’t. Maybe you don’t. I don’t know‎ but still it’s sickening and foolish to see.

So these so-called entrepreneurs, intrapreneurs‎, or whatever titles we can find to attach to them, are B.S. (Bachelor of Suckers, for sure).

I liken these pseudo marketing strategy to the marketing and sales strategy of street vendors. Yes, I am being mean and rude right now because I cannot take it any longer. I can NOT. They are pretty much like street vendors, who desperately knock everyone’s window of cars at a super hectic Jakartan intersection and offer what they ‎have by shouting and being very pushy and annoying.

So please, please, don’t be such a jerk to your potential customers. Be kind to them to present the best of you. The best and most ethical, to be frank.

Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan 3 Indonesia.

How to Get the New Generation of Journalists TOTALLY SCREWED

Technology is never guilty. But still most people claim it’s a double-edged sword. I crack a smile. These people are mostly as f*cked up as the problem they’re talking about.

As ridiculous as it may sound, we might need to recall how all this mess in journalism currently is blamed on the surge of information technology. To me, it sounds like a fool trying to blame his own foolishness. Human race is just looking for a scapegoat, naturally. Because technology can’t avenge! Or at least talk to the creator back.

No one can rephrase the whole chaos in journalism industry any better like Jason Calacanis, a media entrepreneur cum seasoned journalist, does. And yes, nowadays journalism is also a field of industry. Like any other industries, it must generate profits, which at times sacrifices its then-highly-valued principles.

Here’s what I can sum up from Calacanis’ thought about the mess that the fresh, newer generation of journalists have to work and live with.

First of all, to screw new journalists’ work ethics and lives in general, you as an employer have to put too much pressure on these budding journos. Put the pressure with no mercy AT ALL.

Calacanis points out that more than 75% of the new generation of journalists out there are under pressure. Geez, he’s wrong in that almost all journalists are always under pressure, so are the churnalists (you know what churnalism means, I suppose). Pressure free is almost always impossible, except if a journalist writes for sheer fun. Yet, I agree with his idea that new journalists are now even more and more miserable under the inhumane demand of their employers.

“We know that a simple headline, factually correct, factually stated, accurate, does NOT drive traffic. But deception, lying, playing with words, bending the truth raises the number of tweets. What’s the impact on active journalism? Is this sending us in the wrong direction?!!” he questioned.

Another thing to make these new journalists screwed is leave them work days and nights without mentors. By mentors, I mean people who have the know-how, real experiences and time and resources to share with these poor young journalists.

Next, once they have no appropriate mentors, you can also strip them off their editorial assistance. That means they’re allowed to publish whatever they want to publish without any substantial copy editing done and rigorous fact checking the way old school journalists used to do.

Also, you have to push them. Like really really PUSH them to publish MORE content FASTER than their predecessors and at the same time remind them of maintaining VERY HIGH quality standard of journalism. Calacanis said they all are “a recipe for disaster”.

That way, if our new journalists make mistakes, offend people, or spread bogus news all over the world, they have no choice but take the blame.

That said, a mini apocalypse is on the way. To say the least, maybe democracy is falling apart.

But who cares?

(Image credit: Wikimedia)

Strategi BuzzFeed

Dikenal sebagai situs yang kontennya kerap beredar secara viral di Internet, BuzzFeed bisa dikatakan menjadi salah satu fenomena media yang mencengangkan di abad informasi ini. Valuasinya diketahui mencapai miliaran dollar AS. BuzzFeed sukses sebagian karena mampu mencerminkan bagaimana kita merespon konten di dunia maya.

Seperti dirangkum dari laman TechinAsia, Buzzfeed sukses berkat beberapa strategi yang sebelumnya tak banyak terpikirkan oleh pebisnis media.

Tidak cuma menarik dan bagus, konten harus memiliki kepentingan sosial. Masalahnya hal itu cukup sukar dirumuskan. Semuanya cuma berdasarkan naluri tim editorial semata. Bahkan BuzzFeed menjadikan jejaring sosial sebagai tujuan utama pembuatan kontennya. Dengan 200 editor di dalamnya, BuzzFeed mempublikasikan 700 hingga 900 konten dalam sehari di situs mereka. Para penulis dibiarkan begitu saja mempublikasikan konten mereka namun tidak semuanya akan ditampilkan di laman depan situs. Bila konten itu tidak banyak dibagikan orang, ia akan lenyap dengan sendirinya. BuzzFeed akan habis-habisan mempromosikan konten yang begitu menarik bagi orang setelah menarik perhatian orang di jejaring sosial.

BuzzFeed mensurvei ke sebanyak mungkin orang. Dengan bertanya ke sebanyak mungkin orang yang akan menjadi target pembacanya, BuzzFeed terus menyesuaikan diri dengan minat mereka sehingga kontennya tetap digemari. Jadikan topik-topik yang paling digemari sebagai prioritas utama tanpa harus mengabaikan topik konten lainnya yang juga penting untuk menjangkau audiens baru yang sebelumnya tidak banyak digarap situs berita lain. Ini penting untuk terus menumbuhkan jumlah pembaca situs.

BuzzFeed merekrut blogger-blogger top. BuzzFeed berinvestasi secara serius dalam hal sumber daya penulis kontennya. Perusahaan media itu menarik blogger-blogger dengan audiens yang sudah setia untuk membuat konten di situs BuzzFeed.

BuzzFeed juga bereksperimen dengan banyak bentuk konten, termasuk bentuk konten tulisan panjang dan analitis yang mungkin bagi sebagian orang berbeda dari bentuk konten listicle atau kumpulan foto dan meme yang kurang mengasah intelektual pembacanya. Namun demikian, konten listicle yang bombastis, instan dan menarik utnuk dibagikan masih menjadi yang utama. Ini dilakukan karena pola konsumsi konten juga berubah. Untuk itu, mereka menunjukkan keseriusan dengan membawa masuk Ben Smith (jurnalis politik berpengalaman) dan Steve Kendall dari majalah Spin untuk menangani konten jenis long-form. Demi mengukur kinerja konten long-form, BuzzFeed tidak menggunakan tolok ukur (metrics) yang sama dengan konten listicle atau meme lainnya. Memang tidak ada yang absolut dalam mengukur kinerja konten. Cuma
mengandalkan logika, spekulasi, perasaan dan naluri.

BuzzFeed mengutamakan waktu yang dihabiskan dalam mengkonsumsi konten. Durasi waktu yang dibutuhkan orang untuk membaca konten dijadikan tolok ukur yang makin penting.

BuzzFeed membuat konten lebih mudah dibagikan dan sesuai untuk dibagikan di aplikasi percakapan mobile seperti WhatsApp, Line, Kakao Talk, WeChat, dan sebagainya. Ini penting bagi pasar dengan audiens yang getol mengakses konten via ponsel cerdas.

BuzzFeed terus menyesuaikan diri dengan berbagai situs jejaring sosial dan cara-cara lain yang membuatnya lebih mudah dibagikan dan ditemukan. Pertama, mereka menggunakan istilah-istilah pencarian dan mengunggah berbagai konten yang bertema serupa. Kemudian mereka mulai menggunakan Facebook lalu Pinterest. BuzzFeed tidak ambil pusing dengan algoritma jejaring sosial yang berubah-ubah karena mereka hanya fokus pada pembuatan konten yang menarik untuk disebarkan, entah itu tulisan, foto dan video.

BuzzFeed membolehkan artikel ‘daur ulang’. Namun, ini bukan berarti tinggal salin rekat (copy paste) begitu saja. Masih diperlukan pengolahan agar sudut pandang, nada penyampaian dan suara yang digunakan berbeda dari yang sudah ada.

BuzzFeed tak banyak menggunakan judul artikel yang bersifat menipu pembaca. Judul-judul yang disebut “clickbait” itu memang awalnya bisa mendatangkan banyak pengunjung tetapi efeknya dalam jangka panjang, makin sedikit orang yang percaya dan memilih untuk mengabaikan karena telah pernah dikecewakan sebelumnya karena judul yang tidak sesuai dengan kenyataan atau dilebih-lebihkan.

BuzzFeed menggunakan prinsip “tak banyak membual tapi memberikan lebih banyak” dalam tim editorialnya. Ini karena mereka mendorong pembaca untuk tidak hanya mengklik sebuah judul atau tautan tetapi juga mendorong mereka membagikannya ke sebanyak mungkin orang via jejaring sosial. Jika judul bombastis, dan isinya kurang sesuai harapan dan membuat kecewa, mana mungkin orang mau membagikannya?

(image credit:smallbusiness.foxbusiness.com)

Men Start to Care about Skin But Want It Cheap, Fast without Feeling ‘Castrated’

‎Along comes the epoch of men’s skin care. It’s the time when men are bothered – consciously or subconsciously – if one of colleagues at work said something nasty about their rough dry skin, mocking their less-than-fresh appearance in a business meeting, or touching on pimples all over the face during a lunch conversation, or wild, unshaven stubbles on the chin. Or even worse, a sign of premature aging after a week-long vacation on a beach without applying sunscreen or wearing a hat.

Back then, it was all forbidden. And if a man or boy did care about how their skin looked like, everyone thought,”You’re effeminate and thus mentally sick. Go see a psychiatrist or psychologist. Normal men don’t care about their skin. The skin will take care of itself. Trust me.” That was the prevalent belief males in the past had been living with.

Until recently. Men start to groom because they know they need to. Because that way, people would appreciate them even better. Not because people appreciate their shallow handsomeness or neatness but it is because it takes time and effort to appear effortlessly proper and fresh in an impressive way in front of others. Not to mention doing the business like other skin-care-illiterate men. It is quite hard to juggle between the two; working and taking care of skin. That requires a lot of work.

The use of skin care also shows a man’s level of wealth, so to speak. It shows a man can afford all the pricey skin care products of certain brands that men with much lower wages cannot. It is a blatant statement of financial stability and maturity. As bold as wearing an expensive suit or an imported Italian pair of leather custom-made shoes.

It does not necessarily mean men nowadays want to be like Korean male celebrities or even more like their female counterparts at any occasions. They just want to appear decently fresher and more well taken care of, which later contribute to higher income.

It all comes down to money after all.

Saat Sastra Mengkritisi Agama: 26 Tahun Pasca Fatwa Mati Salman Rushdie (1)

Dua puluh enam tahun tepatnya telah berlalu sejak sebuah fatwa hukuman mati yang menggemparkan jagat sastra diumumkan secara resmi oleh mendiang Ayatollah Ruhollah Khomeini, pimpinan Islam dari Iran. Tepat di hari Valentine tahun 1989, Radio Teheran menyiarkan pernyataan Khomeini yang menghukum mati novelis berkewarganegaraan Inggris kelahiran Bombay, India, Salman Rushdie. Sebuah pesan yang tentu menghenyak di tengah suasana penuh cinta kasih. Tiba-tiba dunia Rushdie seolah dirundung awan gelap. Alih-alih mendendangkan “Love is in the air, everywhere I look around,” yang terus terpikir dalam benak penulis novel The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) itu mungkin,”Death is in the air, everywhere I look around.” Dan awan gelap itu akan terus menghantuinya setidaknya hingga hampir satu dekade setelah fatwa itu diluncurkan dari bibir sang pemimpin besar Iran.

Begini kira-kira isi fatwa Khomeini:

“Saya memberitahukan pada umat Muslim di seluruh dunia bahwa penulis buku Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses) adalah musuh Islam, Nabi Muhammad dan Al Qur’an. Semua pihak yang terlibat dalam penerbitan buku itu dan mengetahui isinya divonis hukuman mati.”

Rushdie mengetahui kabar tersebut segera setelah seorang staf BBC meneleponnya. Dan ia menanggapi serius berita itu. Rushdie bisa dikatakan ketakutan. Dalam sebuah wawancara ia berkata, “Ruangan saya ada di lantai atas dan saya kemudian turun ke bawah begitu mendengar berita itu. Saya kunci pintu depan dan menutup tirai jendela, dan saya berkata pada diri saya sendiri seakan saya adalah orang lain karena begitu terkejut,’Berapa hari atau jam lagi saya masih bisa hidup?”

Mungkin ini adalah salah satu insiden paling bersejarah dalam dunia sastra; bahwa seorang pengarang harus diperangi dengan cara dijatuhi hukuman mati karena karyanya. Ada benarnya juga kata-kata bijak “Temukan passion-mu, lalu biarkan ia membunuhmu”. Rushdie beruntung bakat sastranya yang luar biasa itu tidak sampai membunuhnya, setidaknya hingga detik ini. Namun, kebebasan hakikinya untuk menikmati kehidupan layaknya orang biasa sudah terenggut secara paksa. Ia kini harus berada dalam kawalan penjaga-penjaga (bodyguards) yang siang malam menjaganya dari ancaman pembunuhan yang siapa tahu mengintai kapan saja, di mana saja.

Sebuah ironi dalam dunia Islam yang terus saja mengemuka adalah bagaimana umat muslim terkoyak-koyak oleh pertentangan dalam tubuh mereka sendiri. Entah karena adu domba dari pihak luar atau karena memang ego yang meraja, tetapi saya pikir perpaduan yang tak bisa diukur dari keduanya, ditambah lagi dengan masuknya berbagai kepentingan ekonomi, politik dan sebagainya, kondisi umat muslim tak kunjung bersatu. Dan apa yang terjadi adalah kerinduan akan kebangkitan kejayaan khilafah, sebuah kerajaan atau negara yang menaungi semua umat Islam secara utuh dengan menggunakan syariat Islam sebagai pondasi dan sendi-sendi kehidupannya. Sayangnya, kerinduan itu kerap menjadi – jika boleh meminjam analogi kesehatan – ‘sel-sel kanker’ yang meskipun tumbuh pesat tetapi tidak bisa dikendalikan. Pada gilirannya, kerinduan akan kejayaan Islam itu menjadi layu sebelum berkembang dan membuat citra Islam dan umatnya makin terpuruk saja di mata dunia.

Salman Rushdie: Apa dan Siapa

Penyebab kehebohan ini adalah karya Salman Rushdie, The Satanic Verses. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, kehebohan-kehebohan dalam umat muslim kerap bukan dipicu oleh kalangan eksternal tetapi internal. Apa pasal?

Rushdie yang lulusan King’s College, Cambridge, sebenarnya bukan orang yang sama sekali tidak mengenal Islam. Ia terlahir di Bombay, 19 Juni 1947 dalam sebuah keluarga muslim beraliran liberal di India. Ayahnya Anis Ahmed Rushdie adalah seorang alumni Cambridge University yang mulanya menjadi pengacara lalu berubah haluan menjadi pebisnis. Ibunya bernama Negin Bhatt, seorang guru. Jadi ia sebenarnya juga bisa dikatakan sebagai bagian dari umat muslim sejak kecil meski dalam perkembangannya ia mengklaim dirinya sebagai seorang “atheis garis keras”.

Namun demikian, Rushdie dengan jujur mengakui dirinya sudah tak lagi memeluk dan menjalankan ajaran Islam secara formal sejak usia belia. Ia berkomentar dalam sebuah wawancara,”I ceased to be formally religious from an early age, from the teenagehood I suppose and have never changed and have never been born again. But there was always a nagging space where the religion used to be.” Dan ruang kosong dalam kehidupan relijiusnya itu membuat Rushdie menjadi semakin ‘liar’ secara intelektual.

Sebagai seorang berdarah India yang tumbuh dewasa di tanah asing, Rushdie memiliki ketertarikan terhadap dinamika hubungan peradaban Timur dan Barat dan mengembangkannya sebagai tema-tema favorit dalam karyanya. Hal ini sedikit banyak mencerminkan kegundahan terhadap dunia sekitarnya dan keterikatannya pada tanah kelahirannya India.

Begitu dewasa, Rushdie yang bersuku India Kashmir itu merintis karir di dunia industri periklanan. Ia bekerja sebagai copywriter di perusahaan iklan kenamaan yang didirikan oleh David Ogilvy, Ogilvy & Mather. Sembari bekerja di agensi iklan inilah, Rushdie juga menulis beberapa karya sastra yang berbau realisme magis dan fiksi sejarah. Novel pertama Rushdie, Grimus, dirilis tahun 1975. Karya pertamanya itu tak banyak diperbincangkan, apalagi mengundang polemik.

Muncullah novel keduanya yang berjudul “Midnight’s Children”, yang ditulisnya saat masih bekerja sebagai copywriter di Ogilvy & Mather. Tak disangka-sangka, novel itu membuatnya diganjar menjadi pemenang The Booker Prize, sebuah penghargaan sastra yang prestisius, di tahun 1981. Karyanya ini juga sudah mengundang hiruk pikuk, karena di dalamnya penggambaran seorang karakter mirip Perdana Menteri India yang saat itu berkuasa Rajiv Gandhi dipersoalkan. Alhasil, sang pejabat menyeret Rushdie ke meja hijau atas tuduhan fitnah. Namun, hal yang patut disyukurinya adalah karena kesuksesan Midnight’s Children ia berhasil keluar dari posisi copywriter dan mencari nafkah yang lebih menjanjikan sebagai penulis penuh waktu.

Novelnya yang ketiga, Shame (1983), juga menjadi buku yang laris manis di pasaran. Shame juga membuatnya terlibat perseteruan dengan otoritas sebuah negara. Novel itu dilarang beredar di Pakistan karena menyinggung wibawa Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq. Shame memenangi penghargaan Prix du Meilleur Livre Etranger (Buku Asing Terbaik) dan menjadi salah satu pemenang di The Booker Prizer.

Dari sini saja kita sudah ketahui bahwa Rushdie sudah akrab dengan kontroversi sebelumnya. Dan kelak reputasinya sebagai sastrawan sarat kontroversi akan makin memuncak.

Dalam berbagai kesempatan, penulis liberal itu menyampaikan pesan utamanya, yaitu bahwa Islam dan para pemeluknya harus menjadi lebih terbuka dan menerima kritik untuk berubah jika tidak ingin musnah akibat apa yang ia sebut sebagai “mutasi mematikan dalam jantung Islam”. Ia menuangkan pemikiran tersebut dalam sebuah tulisan yang dimuat The Washington Post dan The Times pada pertengahan tahun 2005. Ia menghendaki adanya sebuah gerakan di luar tradisi, “untuk membawa prinsip-prinsip utama Islam ke abad modern”. Rushdie juga
mendesakralisasi kisah-kisah yang menjadi bagian dari ajaran agama Islam dengan menganggapnya sebagai “peristiwa dalam rangkaian sejarah, bukan hal supranatural”. Tidak semua pemeluk Islam sependapat dengan pandangannya itu karena menganggap pondasi keyakinan mereka adalah sesuatu yang mapan, tidak bisa lagi diperdebatkan, dikritisi, apalagi direvisi.

Membedah The Satanic Verses
Pria yang memiliki dua orang anak kandung dan 4 mantan istri itu melejit menjadi selebriti justru setelah novelnya yang keempat The Satanic Verses (1988) meledak di pasar global. Sayangnya, resistensi yang tinggi juga muncul di beberapa negara, terutama yang dihuni oleh kaum muslim yakni Pakistan, Afsel, Bangladesh, Sudan, Srilanka, Kenya, Thailand, Tanzania, Venezuela, Singapura, India, dan Indonesia tentu saja.

Ide cerita The Satanic Verses, kata Rushdie, muncul saat ia belajar sejarah Islam di King’s College, University of Cambridge. Buku fiksi sejarah ini mengangkat tema kehidupan kaum pendatang India di Inggris dan memudarnya kepercayaan di dalam diri kaum imigran. Dibutuhkan waktu 5 tahun bagi Rushdie untuk menghasilkan novel setebal 547 halaman tersebut.Viking Penguin memegang hak penerbitan setelah membayarnya US$850.000.

Yang menjadi permasalahan adalah Rushdie menggunakan isu sejarah yang peka dalam novelnya itu. The Satanic Verses ditulis setelah Rushdie menemukan dalam sebagian catatan sejarah mengenai perkembangan Islam yang ia pelajari semasa kuliah. Kisah aneh itu bertema godaan setan. Dalam kisah sejarah yang ditolak mentah-mentah validitasnya oleh sebagian besar umat muslim ini, Nabi Muhammad dikatakan tergelincir oleh godaan setan saat membuat kesepakatan dengan warga Mekah yang menyembah berhala. Saat itu Rosul ingin membujuk mereka untuk ikut menyembah Allah SWT dan masuk Islam. Seperti diketahui, penyebaran Islam di masa itu sangatlah menantang, bahkan dapat dikatakan hampir mustahil sebab banyaknya hambatan dan tantangan dari orang-orang di sekelilingnya. Namun, menurut kisah yang dijadikan referensi Rushdie itu, entah bagaimana Rosul bisa tertipu oleh setan dengan
memperbolehkan warga Mekah yang telah mau menyembah Allah SWT untuk juga menyembah dewa-dewa mereka. Hal ini tentunya bertentangan dengan ajaran tauhid dalam Islam yang selama ini dipegang teguh dan menjadi inti dari Islam itu sendiri karena Islam adalah monotheisme. Menyandingkan Allah dengan pujaan lainnya – yang disebut syirik – termasuk dosa besar yang tidak terampuni kecuali jika seseorang bertobat secara sungguh-sungguh. Rosul dalam kisah sejarah itu seolah digambarkan sebagai seorang manusia biasa yang tidak kebal terhadap kealpaan.

Istilah “ayat-ayat setan” yang dijadikan judul merujuk pada sepotong ayat yang memuat kompromi penyembahan Allah dengan berhala-berhala kaum kafir tadi. Dikatakan dalam kisah aneh tersebut juga bahwa Malaikat Jibril kemudian menyadarkan Muhammad bahwa pernyataannya yang membolehkan warga Mekah menyembah Allah dan berhala-berhala mereka sekaligus adalah bujuk rayu setan. Alhasil, ayat tadi pun dihapus dari Al Qur’an. Mayoritas muslim tidak meyakini hal semacam ini pernah terjadi karena mereka yakin Muhammad suci dari kesalahan-kesalahan manusiawi semacam itu. Akan tetapi, Rushdie tidak berpikir demikian. Ia menganggap Muhammad juga manusia biasa yang bisa salah.

Ayat-ayat setan yang dipertanyakan kebenarannya itu menjadi ide bagi Rushdie untuk menulis subplot di novelnya. Dan inilah yang menyulut kemarahan dalam diri umat muslim dan membuat Ayatollah Khomeini unjuk bicara. Bisa jadi karena Rosul diyakini memiliki sifat shiddiq (benar), sehingga tidak mungkin Rosul mengingkari atau mengatakan perkataan yang bertentangan dengan sesuatu yang ia yakini benar secara mutlak, yaitu ajaran monotheisme Islam. Dalam surat An Najm ayat 4-5, ditegaskan bawah Muhammad hanya mengucapkan wahyu yang dianugerahkan padanya.

Dalam sebuah wawancara di tahun 1988, Rushdie mengatakan bahan sejarah Islam yang mengundang polemik itu ia masukkan dalam novel. Ia mengubah nama-nama tokohnya agar berlainan dari catatan sejarah. Ia mengatakan tidak menggunakan nama Muhammad tetapi Mahound karena kisah itu ia pakai dalam konteks mimpi, bukan realita. Kisah-kisah ayat setan tadi dimasukkan oleh Rushdie sebagai isi mimpi-mimpi magis yang dialami karakter Gibreel Farishta. Jadi bisa dikatakan ia membuat karya fiksi dengan berdasarkan catatan sejarah yang menurutnya menarik.

Namun, terlepas dari subplot yang membuat geram banyak pemeluk Islam tadi, novel The Satanic Verses berkisah tentang dua orang imigran India yang bekerja sebagai aktor. Gibreel Farishta dan Saladin Chamcha beragama Islam dan tak dinyana pesawat mereka dari India ke Inggris dibajak kemudian meledak di Selat Channel. Namun, keduanya secara ajaib bertahan hidup. Kisah menjadi makin menarik saat Gibreel dan Saladin menjadi dua pribadi yang berbeda setelah insiden naas tersebut. Gibreel berhalusinasi seolah dirinya adalah malaikat Jibril, mirip seseorang yang mungkin menderita skizofrenia dalam kehidupan nyata. Sementara rekannya Saladin mendekati kepribadian dan rupa fisik iblis dan setan. Ia pun harus menderita dalam siksaan polisi karena dugaan masuk ke Inggris sebagai imigran gelap. Gibreel dan Saladin sama-sama membangun kehidupan mereka kembali setelah kecelakaan pesawat itu. Gibreel kemudian memiliki kekasih. Karena merasa ditelantarkan setelah kecelakaan, Saladin ingin membalas dendam pada Gibreel sahabatnya. Ia menghasut Allie, kekasih Gibreel, untuk merasa cemburu hingga akhirnya berakibat putusnya hubungan asmara Gibreel dan Allie. Akhirnya Gibreel menyadari bahwa Saladin sahabat yang setia. Ia pun memaafkannya dan bahkan menyelamatkan jiwa Saladin. Suatu ketika mereka memutuskan kembali ke tanah kelahiran mereka India. Gibreel yang tersulut api cemburu membunuh Allie dan kemudian melenyapkan nyawanya sendiri. Saladin yang berhasil memaafkan Gibreel pun kemudian makin dekat dengan sang ayah yang sebelumnya ia jauhi. Saladin sejak itu tinggal di sana dan meleburkan jatidirinya sebagai seorang warga India.

Satu hal lagi yang tak dapat diterima umat muslim ialah bagaimana Rushdie menggunakan nama-nama dan kepribadian istri-istri Muhammad dalam 12 karakter pelacur di sebuah rumah bordil di sebuah kota bernama Jahiliah (yang mirip Mekkah) yang didatangi seorang pembawa pesan bernama Mahound (yang memiliki kemiripan dengan Muhammad, istilah ini sendiri digunakan untuk menyebut Muhammad oleh pasukan Perang Salib yang artinya nabi palsu).

Para Penentang dan Penengah
Apa yang dilakukan oleh Rushdie ini membuat pihak Penguin India juga was-was. Penasihat editorial Penguin India kala itu, Khuswant Singh, mengkritik karya Rushdie setelah membaca manuskripnya sampai habis,”Saya menemukan 2 referensi yang menurut saya tak bisa diterima di India. Yang satu adalah tentang Al Qur’an dan satu lagi tentang para istri Muhammad.” Singh menambahkan meski dirinya agnostik tetapi ia tak memahami alasan mengapa Rushdie harus mengisahkan sebuah rumah pelacuran yang nama-nama penghuninya menggunakan nama para istri Muhammad. “Sungguh sebuah perbuatan yang buruk!” kecamnya. Ia mengutip sebuah kalimat bijak:”Katakan apapun yang kamu kehendaki tentang Tuhan tetapi waspadalah jika membahas Muhammad.”

Dalam ingatan editor Channel 4 TV, Farrukh Dhondy, Rushdie juga telah diperingatkan akan risiko dikecam tetapi ia tetap membandel. “Saya katakan padanya,’Kamu akan bicara dari studio ke studio TV hanya untuk berdebat mempertahankan pendapat melawan para ulama!’ Ia menjawab,’Ah, silakan saja,'” kata Dhondy.

Pada kesempatan lain, Rushdie yang dikabari wartawan India Shrabani Basu bahwa Penguin India menolak distribusi dan penjualan novelnya di pasar India tersentak dan berkomentar,”Sungguh absurd jika berpikir sebuah buku bisa memicu kericuhan. Itu sebuah cara pandang nan aneh terhadap dunia.”

Dari semua kaum garis keras yang mengutuk karya sastra dan penulisnya tersebut, ada satu sosok yang menarik perhatian Rushdie kelak. Hesham El Essawy, seorang dokter gigi yang menghabiskan 6 jam sehari di waktu senggangnya hanya untuk melahap The Satanic Verses. El Essawy juga menjadi representasi wajah Islam yang lebih toleran dan moderat karena ia mewakili lembaga Islamic Society for the Promotion of Religious Tolerance di Inggris. Ia mengkritik The Satanic Verses dengan cara yang santun dan intelek serta tetap berkepala dingin, tidak sampai membakar dan mendukung fatwa hukuman mati Khomeini. Pria ini menyarankan agar penerbit Penguin dan Rushdie memberikan sangkalan (disclaimer) di novel itu, bahwa isinya bukan mengenai kejadian sejarah tetapi fiksi semata. “Itu saja yang saya himbau pada mereka.” Saran itu diabaikan.

Kondisi itu diperparah dengan diamnya pemerintah Inggris pimpinan Margaret Tatcher saat itu. Umat muslim Inggris yang mengetahui isi novel yang melecehkan agama mereka itu angkat bicara dan menuntut agar Rushdie diperkarakan dengan tuduhan pelecehan agama. Namun, ternyata UU yang mengatur tentang pelecehan agama di Inggris hanya berlaku untuk agama Kristen saja. Ditambah dengan fakta bahwa Rushdie menikmati ketenaran dari novel The Satanic Verses dan penghargaan untuk karya yang menyinggung keyakinan mereka, para muslim Inggris tidak bisa lagi berpangku tangan. Sebagai minoritas, umat Islam di Inggris pun merasa perlu mengambil langkah lebih lanjut.

Di kota Bradford, umat muslim yang merasa tidak didengar keluhannya itu pun mengadakan unjuk rasa yang menuntut penarikan novel The Satanic Verses. Sebelumnya telah ada unjuk rasa di Bolton, tetapi pers pun tidak mengindahkan. Ribuan muslim berkumpul di pusat kota Bradford pada 14 Januari 1989. Pers sempat mengabadikan pembakaran novel itu. Esok harinya pemberitaan media pun muncul. Nadanya memojokkan, sehingga akhirnya membuat umat muslim Inggris makin merasa merana karena dicap terlalu ekstrim karena harus membakar buku.

Ekskalasi kontroversi novel The Satanic Verses terus terjadi dan ribuan muslim membanjiri London untuk menyuarakan keberatan mereka dengan distribusi novel tersebut. Sementara itu, Rushdie juga berjuang membela haknya untuk mengkritisi Islam melalui karya sastra. Ia menjadi sasaran ancaman pembunuhan dan penerbit Penguin juga terdampak. Kantor mereka sempat menjadi target unjuk rasa, surat kaleng dan ancaman bom. Semua itu terjadi bulan Januari 1989.

Menyatukan, Memisahkan Sekaligus Memakan Korban
Diakui oleh aktivis muslim Inggris bahwa kontroversi The Satanic Verses memberikan dampak positif. Isu ini membuat mereka memiliki satu musuh bersama, yang berbentuk seorang novelis dengan ide dan fantasi liarnya yang telah menistakan kepercayaan mereka. Sebelumnya umat muslim Inggris lebih terfragmentasi berdasarkan kebangsaan. Mereka umumnya kaum imigran dari berbagai negara dengan jumlah penduduk Islam yang cukup signifikan dari Asia. Dari sinilah, muncul kebangkitan komunitas muslim Inggris yang lebih percaya diri dalam menyuarakan aspirasi mereka di kancah nasional.

Di skala internasional, novel tersebut mulai memicu keresahan sosial di berbagai negara. Pada tanggal 12 Februari 1989, 5 demonstran terbunuh dan ratusan lainnya terluka saat ratusan ribu orang berunjuk rasa di depan Pusat Kebudayaan Amerika di Islamabad. Ini hanya awalnya saja.
Konflik makin menghebat dan meluas begitu Ayatollah Khomeini mendengar kabar dan mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi Salman Rushdie dan semua pihak yang membantu terbitnya karya itu.

Kehidupan Rushdie berubah drastis dalam beberapa jam begitu kabar fatwa diterima. Pemerintah Inggris berupaya melindunginya, karena Rushdie dianggap tidak bersalah dalam kacamata hukum Inggris.

Dalam kenyataan, di satu sisi fatwa Khomeini membuat banyak muslim mengelu-elukannya sebagai pembela Nabi Muhammad dan Islam serta umat muslim dunia. Namun, di sisi lain fatwa Khomeini juga membuat sebagian muslim yang lain – yang lebih moderat dan toleran – tidak setuju meski pada dasarnya mereka juga mengecam isi novel The Satanic Verses. Essawy sendiri menyatakan dirinya tidak sepakat dengan fatwa itu.

Untuk menuntaskan misinya, Khomeini menawarkan hadiah 1 juta poundsterling bagi siapa saja yang mampu membunuh sang novelis. Imbalan sebanyak itu tentunya setimpal mengingat tingkat pengamanan dari pemerintah Inggris di sekitar Rushdie sepanjang waktu yang begitu tinggi. Penulis itu selalu dikelilingi oleh pasukan bersenjata dalam pakaian sipil rapi 24 jam sehari 7 hari seminggu 365 hari setahun.

(Bersambung)

Referensi:
1. Salman Rushdie and The Satanic Verses Affair (BBC Productions, 2009), produser dan sutradara Janice Sutherland
2. Wikipedia

Jagonya Coklat yang Keok

‎Menemukan coklat Cap Jago bagi sebagian orang adalah sebuah bentuk nostalgia penuh makna. Persetan dengan rasa atau kualitas coklatnya. Brand ini memang bukan mengenai sensasi eksklusif atau mahal. Dengan harga yang begitu terjangkau bahkan bagi anak-anak sekolah dua dekade lalu, produknya tidak berbahan dasar coklat bermutu super tinggi dari Belgia, atau dikemas dengan material pembungkus yang ‘wah’. Kesan merakyat memang menjadi nilai jualnya.

Kesetiaan pelanggan coklat Cap Jago rupanya masih belum luntur jua. Pagi ini di Facebook, saya kebetulan temukan sebuah fanpage. ‎Coklat Cap Jago, begitu namanya. Trenyuh, karena di dalamnya saya tidak menemukan ada informasi menarik apalagi interaksi yang terbangun apik antara si pembuat laman dan para liker. Seorang di antara mereka meninggalkan pesan yang bernada nostalgia. Ia menyebut keakrabannya dengan brand coklat ini semasa kecil. Ada lagi yang membeli coklat itu dalam jumlah banyak. Mungkin ia akan menjualnya lagi. Sementara itu, ada seseorang yang tampaknya seorang mahasiswa yang tertarik mengangkat riwayat coklat Cap Jago dalam karya akademiknya.

Sayangnya, tak ada jawaban.

Ada keriaan tersendiri memang begitu kita menemukan sesuatu dari masa lalu kita hadir juga akhirnya di jagat maya. Sesuatu yang mengingatkan kita pada era pra-Internet, zaman pra-smartphone, yang ironisnya ikut tersedot pula ke layar perangkat kita.

Jikalau saya mendapatkan kesempatan dan wewenang PENUH (karena bagi saya akan sukar jika bekerja dengan penuh campur tangan) untuk menjadi pengelola ‎fanpage Coklat Cap Jago ini, saya akan pastikan semua cerita nostalgia itu menjadi kekuatan yang utama bagi kebangkitan brand ini. Its strength really lies in the brand’s story.

Study: e-Readers May Disturb Sleep, Circadian Timing

Another victory for physical, paper books that some people think ridiculously obsolete in this 21st century! This research done by Anne-Marie Changa, Daniel Aeschbacha, Jeanne F. Duffya, and Charles A. Czeislera indicated that e-readers like Kindles and tablet PCs might do harm to ypour healthy sleeping patterns and circadian rhythms, which is crucial to our overall health. How so? You may ask. Read on.

The scientists explained the use of light-emitting electronic devices for reading, communication, and entertainment before bedtime “prolongs the time it takes to fall asleep, delays the circadian clock, suppresses levels of the sleep-promoting hormone melatonin, reduces the amount and delays the timing of REM sleep, and reduces alertness the following morning”. Use of light-emitting devices immediately before bedtime also increases alertness at that time, which may lead users to delay bedtime at home. Overall, we found that the use of portable light-emitting devices immediately before bedtime has biological effects that may perpetuate sleep deficiency and disrupt circadian rhythms, both of which can have adverse impacts on performance, health, and safety.

And here is the abstract:
“In the past 50 years, there has been a decline in average sleep duration and quality, with adverse consequences on general health. A representative survey of 1,508 American adults recently revealed that 90% of Americans used some type of electronics at least a few nights per week within 1 h before bedtime. Mounting evidence from countries around the world shows the negative impact of such technology use on sleep. This negative impact on sleep may be due to the
short-wavelength-enriched light emitted by these electronic devices, given that artificial-light exposure has been shown experimentally to produce alerting effects, suppress melatonin, and phase-shift the biological clock. A few reports have shown that these devices suppress melatonin levels, but little is known about the effects on circadian phase or the following sleep episode, exposing a substantial gap in our knowledge of how this increasingly popular technology affects sleep. Here we compare the biological effects of reading an electronic book on a light-emitting device (LE-eBook) with reading a printed book in the hours before bedtime. Participants reading an LE-eBook took longer to fall asleep and had reduced evening sleepiness, reduced melatonin secretion, later timing of their circadian clock, and reduced next-morning alertness than when reading a printed book. These results demonstrate that evening exposure to an LE-eBook phase-delays the circadian clock, acutely suppresses melatonin, and has important implications for understanding the impact of such technologies on sleep, performance, health, and safety.”

Now are you considering trading your e-readers with paper books?

{Source: http://www.pnas.org/content/112/4/1232.abstract}