Kemampuan berbahasa asing terutama bahasa Inggris memang hampir menjadi sebuah keharusan dalam era globalisasi. Dalam banyak bidang, bahasa Inggris dipakai sebagai alat komunikasi utama. Bagi mereka yang berkemampuan bahasa Inggris terbatas, terdapat dorongan yang besar untuk mencapai penguasaan yang disyaratkan oleh berbagai lembaga yang hendak mereka masuki.
Akan tetapi, kita tidak tahu besarnya tekanan untuk belajar bahasa asing di masyarakat hingga kita tahu adanya kasus semacam ini. Mahkamah Agung Korea Selatan mengeluarkan putusan bahwa seorang pekerja kantor tewas dianggap melakukan bunuh diri karena tidak mampu menguasai bahasa Inggris. Penguasaan ini disyaratkan oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Sang pria yang bernama keluarga Oh itu sebenarnya bukan orang yang bodoh. Ia lulusan teknik sipil dari sebuah kampus kenamaan di Seoul dan mulai bekerja untuk konglomerat besar di tahun 1990. Oh lalu dipromosikan hingga ia menjadi kepala proyek konstruksi pabrik di Kuwait pada bulan Juli 2008 dan dikirimkan ke negara Timteng itu.
Sayangnya, ia tidak percaya diri dengan kemampuannya berbahasa Inggris. Kelemahannya itu membuatnya selalu merasa dihantui. Ia memutuskan belajar bahasa Inggris mati-matian namun tetap merasakan tidak ada banyak kemajuan yang dicapai. Tahun 2008, ia menghabiskan 10 hari di pabrik di Kuwait dan kembali dengan keyakinan kuat bahwa ia tidak kompeten untuk posisinya.
Setelah didiagnosis dengan gejala gastroentritis akibat stres yang berlebihan, Oh memberitahu perusahaannya bahwa ia tidak seharusnya ditugaskan ke luar negeri.
Oh kemudian dipromosikan manajer departemennya dua bulan setelah itu tetapi menulis dalam catatan hariannya bahwa ia tak bisa ke Kuwait lagi karena penguasaan bahasa Inggrisnya yang begitu buruk. Oh bahkan tak percaya diri dan ingin segera pensiun dini.
“Rasanya saya tak bisa bernapas,” tulisnya dalam catatan harian. Ia kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat dari atap bangunan kantornya.
Leave a Reply