Menemukan coklat Cap Jago bagi sebagian orang adalah sebuah bentuk nostalgia penuh makna. Persetan dengan rasa atau kualitas coklatnya. Brand ini memang bukan mengenai sensasi eksklusif atau mahal. Dengan harga yang begitu terjangkau bahkan bagi anak-anak sekolah dua dekade lalu, produknya tidak berbahan dasar coklat bermutu super tinggi dari Belgia, atau dikemas dengan material pembungkus yang ‘wah’. Kesan merakyat memang menjadi nilai jualnya.
Kesetiaan pelanggan coklat Cap Jago rupanya masih belum luntur jua. Pagi ini di Facebook, saya kebetulan temukan sebuah fanpage. Coklat Cap Jago, begitu namanya. Trenyuh, karena di dalamnya saya tidak menemukan ada informasi menarik apalagi interaksi yang terbangun apik antara si pembuat laman dan para liker. Seorang di antara mereka meninggalkan pesan yang bernada nostalgia. Ia menyebut keakrabannya dengan brand coklat ini semasa kecil. Ada lagi yang membeli coklat itu dalam jumlah banyak. Mungkin ia akan menjualnya lagi. Sementara itu, ada seseorang yang tampaknya seorang mahasiswa yang tertarik mengangkat riwayat coklat Cap Jago dalam karya akademiknya.
Sayangnya, tak ada jawaban.
Ada keriaan tersendiri memang begitu kita menemukan sesuatu dari masa lalu kita hadir juga akhirnya di jagat maya. Sesuatu yang mengingatkan kita pada era pra-Internet, zaman pra-smartphone, yang ironisnya ikut tersedot pula ke layar perangkat kita.
Jikalau saya mendapatkan kesempatan dan wewenang PENUH (karena bagi saya akan sukar jika bekerja dengan penuh campur tangan) untuk menjadi pengelola fanpage Coklat Cap Jago ini, saya akan pastikan semua cerita nostalgia itu menjadi kekuatan yang utama bagi kebangkitan brand ini. Its strength really lies in the brand’s story.