Usai salat Ashar di musholla gedung itu, biasanya imam yang berambut kuning itu mengeluarkan BlackBerry-nya. Bukan untuk membaca BBM tetapi membacakan pada kami kalimat-kalimat indah dari hadist atau kitab suci. Rekan-rekannya sempat berseloroh bahwa kalau sang imam tidak hadir dan mereka yang mengimami, mereka akan berkata saja,”Maaf, BlackBerry-nya tidak ada, jadi tidak bisa membacakan apa-apa.”
Sore tadi, imam itu agak panjang menjelaskan sebuah kisah yang aku tak tahu dari mana riwayatnya. Tak jelas juga apakah itu kisah atau sebuah satir belaka. Tidak ada nama tokoh apapun, tempat apapun. Alur ceritanya juga tak jelas.
Ia hanya menyinggung tentang budak dan membudak. Katanya, budak yang sebenarnya bukanlah mereka yang terpaksa menjadi budak karena keterpaksaan kondisi ekonomi atau sosial. Mereka ini adalah orang yang merdeka tetapi kurang beruntung saja. Pada hakikatnya, mereka masih orang merdeka. Dan karena mereka dari dalam jiwa masih menghendaki kemerdekaan, mereka sekuat tenaga berupaya melepas belenggu yang majikan ikatkan padanya.
Lalu sang imam mengisahkan budak dalam arti sebenarnya. Budak sejati adalah mereka yang dengan sengaja membuat dirinya menjadi budak. Orang-orang ini tidak segan menyerahkan diri mereka dalam rantai kekangan majikan-majikan. Mereka tahu bahwa majikan-majikan itu sungguh kejam. Mereka tahu sakitnya diinjak-injak. Mereka tahu perihnya dicederai dengan kata-kata yang menghina. Akan tetapi, itu semua tidak membuat mereka – para budak sejati – menjadi jera. Mereka ditempeleng, meringis, atau bahkan menjerit, tetapi sesaat kemudian kembali merangkak-rangkak, mendekati para majikan, mengharap bisa kembali menghamba. Karena mereka tahu, kemerdekaan itu konsekuensinya berat. Sungguh tidak ringan. Memperolehnya saja sudah sukar, apalagi mempertahankannya. Inilah mereka yang mungkin banyak kita temui sekarang di kehidupan sehari-hari.
Budak-budak sejati ini malah kadang lebih keji dan durjana dari para majikannya dalam memperlakukan orang-orang yang merdeka. Mereka tahu diri mereka terlindung berkat adanya para majikan yang memberikan segala fasilitas hidup. Hidup budak-budak itu menjadi aman, nyaman, tenteram, sentosa benar. Asal setimpal dengan penghinaan yang mereka terima tiap saat, kenapa tidak?!
Sebelum sang imam membacanya hingga habis, beberapa orang mulai meninggalkan musholla. Satu per satu jamaah pergi. Mereka berlalu karena ia berkisah terlalu panjang, padahal pekerjaan masih banyak. Iya, pekerjaan-pekerjaan dari para majikan besar.
Tetapi aku duduk saja bersama sebagian lainnya. Tak juga beranjak meskipun memang wejangannya agak lebih lama dari biasanya. Aku tahan saja sejenak. Toh bukan masalah besar jika waktu salat molor. Pekerjaanku hari itu sudah selesai. Kewajiban sudah ditunaikan. Lunas, tandas, tuntas.
Sesaat terlintas pertanyaan:”Aku jenis budak yang mana?”
(image credit: wikimedia)
Leave a Reply