FIRASAT BURUK SUDAH timbul sejak dalam perjalanan dari Ho Chi Minh City (Saigon). Cukup beralasan, karena kami diajak menyelami masa kelam Vietnam. Sebuah masa yang mungkin generasi muda saat ini selalu bergidik jika membaca atau membayangkan. Sebuah masa saat nyawa manusia semurah semut-semut tanpa nama.
Suasana teror langsung tercium dari gerbang masuk kompleks terowongan Cu Chi yang berlokasi di distrik Cu Chi yang berjarak 55 km dari pusat kota Ho Chi Minh City. Ada yang menyeramkan dari gerak pepohonan di Cu Chi. Rumpun-rumpun ilalang dan bambu begitu lebat di sini. Mirip hutan. Itu karena kawasan ini tak lagi berhutan selebat dulu. Sepanjang perjalanan, rumah-rumah penduduk bertebaran. Daerah suburbia yang mulai mekar, begitulah kondisi distrik Cu Chi.
Kalau saya bisa bandingkan, aura Terowongan Cu Chi mirip kompleks Monumen Lubang Buaya. Amis darah itu mungkin sudah sirna dari hidung manusia, tetapi begitu kisah-kisah itu digemakan lagi, kekejaman berdarah itu kembali menebar anyir di sekeliling siapa saja yang berkunjung.
Cu Chi dekat dengan Saigon yang dijadikan basis pasukan AS. Akan tetapi, pasukan Viet Kong yang komunis itu berhasil bercokol di sini selama bertahun-tahun. Itu semua berkat taktik perang gerilya yang didukung dengan pembangunan terowongan bawah tanah yang klaim Noni sang pemandu kami mencapai 200 km panjangnya. Mengingat pembuatannya hanya dengan alat pengeruk ala kadarnya dan tenaga manusia, bisa dikatakan ini sebuah mahakarya yang mengingatkan kita betapa saat terdesak dan demi menyelamatkan diri, manusia bisa berbuat di luar bayangan sesamanya.
Sesak dan pengap luar biasa, itu bayangan saya. Belum lagi jika Anda claustrophobia. Anda bisa meraung-raung di dalamnya, panik tak tahu bagaimana harus keluar dari lorong-lorong yang seperti maze tidak berujung itu. Ditambah dengan kegelapan yang merundung, sungguh tur dalam terowongan sangat menantang bagi Anda dan saya yang sejak bayi hanya tahu kekejaman perang dari buku sejarah, film dokumenter dan kisah para sesepuh.
Pemandu kami dari Vietnam, Noni, menjelaskan dengan suara nasalnya yang khas sambil menunjuk sebuah maket berlapis kaca bening:”Di kawasan Cu Chi antara tahun 1966-1967 ditetapkan sebagai kawasan bebas tembak sehingga prajurit AS bebas menembaki siapa saja karena di situ adalah kawasan yang dikuasai Viet Kong (Viet Cong). Pagi Amerika yang menguasai, malam Viet Kong. Penduduk Cu Chi tidak lagi tinggal di rumah-rumah mereka saat perang Vietnam berkecamuk karena rumah-rumah mereka sudah dihancurkan semua. Mereka dikumpulkan di dalam satu perkampungan khusus di sana mereka diawasi oleh AS. Pagi mereka diantar ke sawah untuk bekerja, petang pulang ke kampung. Begitu malam turun, siapa saja yang ada di luar rumah pasti ditembak karena dianggap pesuruh Viet Kong. Malam menjadi waktu yang tepat bagi Viet Kong untuk memasang ranjau dan jebakan. Viet Kong bersembunyi di hutan dekat rumah penduduk karena mereka butuh suplai makanan dan senjata. Dan penduduk membantu menyelundupkan semua itu.”
Perkampungan bawah tanah di Cu Chi yang menjadi target operasi militer AS selama bertahun-tahun itu terbukti sukses membuat AS frustrasi dan berhasil memperpanjang perang yang menguras uang pemerintah AS. Bayangkan saja selama kurang lebih 20 tahun harus berperang dan tiap tahun menggelontorkan biaya 1 miliar dollar untuk memerangi sesuatu yang tidak jelas.
Terowongan Cu Chi memiliki 3 lapisan. Kata Noni lagi, lapisan pertama yang teratas berkedalaman cuma 3 meter dari permukaan tanah. Yang kedua berkedalaman 6 meter dan ketiga bisa mencapai 8-12 meter. Lapisan pertama dan kedua rawan serangan bom. Karena itu, ada ruangan khusus perempuan, anak kecil dan lansia di dalam terowongan dengan kedalaman lapis tiga.
Noni terus menjelaskan tanpa henti disertai dengan suara detak jarum jam dinding yang sungguh mirip bom waktu. Bagaimana kami tidak bergidik di sini?
Sulit membayangkan untuk beraktivitas layaknya manusia lain dalam kompleks terowongan ini. Tetapi orang-orang itu bisa. Tidur misalnya bisa dilakukan dengan hanya memasang ayunan (hammock). Mereka juga bisa rapat, dan juga membalas serangan AS dari gundukan dan parit kecil yang bisa ditutup dan terhubung dengan jaringan terowongan yang panjangnya di luar nalar tadi.
Gemas dengan kebandelan ‘tikus-tikus tanah’ Viet Kong ini, AS memutar otak. Satu siasat untuk memberantas mereka adalah dengan mengalirkan air sebanyak mungkin ke dalam terowongan. Viet Kong mengatasinya dengan membuat pintu berbentuk katup karet sehingga air tak bocor ke lapisan yang lebih bawah. Agar orang AS tak bisa masuk, dan meskipun bisa masuk tetapi jangan sampai berkeliaran semaunya, di beberapa titik terowongan dipasangi dengan jebakan sederhana namun mematikan berupa bambu runcing. ‘Tikus-tikus Amerika’ (prajurit AS yang bertubuh kecil sehingga bisa masuk terowongan) tak pelak menjadi korban-korban jebakan sadis itu.
“WAAAAAAAAAAAA!!!!” Noni pemandu kami selama di Saigon itu menjerit histeris. Kami ikut terperanjat juga karena tiba-tiba seorang pria Kaukasia berbadan tinggi besar dan berambut ikal muncul dari lubang yang sebelumya tak kami pikir ada. Sial, jantung kami rasanya mau terlontar keluar! Untung saja di dalam rombongan tidak ada yang hobi latah seronok atau bersumpah serapah.
“Tuh yang besar saja bisa,” seseorang dalam rombongan memantik tantangan. Hanya beberapa dari kami yang menjawab tantangan itu.
Saya salah satunya. Saya mencoba masuk lewat pintu lainnya yang berjarak sekitar 10 meter dari lubang keluarnya pria Eropa tadi. Ada beberapa anak tangga mungil dari semen menuju ke dalam rongga terowongan itu. “Kalau terjebak bagaimana keluarnya?” gumam saya. Urusan ukuran badan saya tak terlalu pusing, saya tak akan terjebak karena itu. Saya lebih mencemaskan jika tersesat di dalam. Karena tiada penerangan dan apakah benar hanya ada satu jalur saja? Kalau memilih jalur yang salah, bisa-bisa saya sesak napas di dalamnya. Saya sungguh berpikir keras agar keriangan sore itu tak menjadi tragedi serius.
Seorang teman berada di belakang sambil menyuruh saya membawa ponsel yang lampu flash-nya menyala terang. Kami berdua masuk dengan badan merunduk. Lantai terowongan itu memang seperti dibuat khusus untuk orang Asia. Tidak heran jika ada beberapa serdadu AS yang nekat masuk dan tewas kehabisan napas atau terjebak di dalamnya dahulu. Kepekatan suasana terowongan juga mencekam bagi makhluk-makhuk urban yang dimanja cahaya lampu kapanpun kami mau, seperti saya. Bahkan meski ada flash itu menerangi jalan kami, rasanya tak mampu menenteramkan suasana hati. Lantai terowongan itu penuh dengan dedaunan yang terserak. Baru kemudian saya tahu dari sumber bacaan bahwa dulu prajurit Viet Kong dan rakyat Vietnam yang bersembunyi di sini kerap menjadi korban serangga berbisa semacam kalajengking dan hewan-hewan beracun.
Tidak ada ancaman hewan berbisa di lantai terowongan bukan berarti kami sudah merasa aman. Begitu saya sorotkan lampu ke depan, ada dua jalan yang harus saya pilih. Bingung, saya pun panik. “Yang mana ini??” Untung teman saya menyarankan ke kanan, yang benar. Dan saya sedikit lega.
Siksaan belum berakhir. Sedetik dua detik kemudian saya tercekat. Ada beberapa pasang bola mata berwarna merah di bagian atas terowongan yang tingginya cuma dua pertiga tinggi badan saya itu. Saya amati lagi, ternyata itu kelelawar-kelelawar kecil yang terkejut dengan kehadiran kami. Lalu fantasi makin membuat ngeri. “Bagaimana kalau kelelawar ini menggigit??!! TIdakkk!!!” Jerit saya dalam hati, lalu memutuskan merangkak saja agar bisa sejauh mungkin dari hewan-hewan yang bergelantung itu.
“Oh akhirnya ada cahaya di depan!” Sorak saya dalam hati lagi. Setidaknya jika saya tidak bisa tenang, saya harus berpura-pura tenang. Itu filosofi saya. Tetapi berpura-pura tenang ternyata tak cukup. Kepanikan dalam gelap dan kecemasan terhadap kelelawar yang bisa mengisap darah yang tak seberapa ini membuat saya terus melangkah dan ingin secepat mungkin keluar dari terowongan dan menghirup udara bebas dan merasakan sinar matahari lagi. Saya tak peduli lagi, lalu terus melangkah dan begitu lubang terlihat di atas saya menggapai tepiannya dan… ahhh!!! Jidat saya terkena tepian lubang keluar terowongan yang ternyata diperkokoh dengan lempengan besi yang sudah berkarat.
Begitu saya keluar saya tak peduli dengan semua hingga akhirnya ada yang berteriak,”Ih, berdarah!!!”
Saya sentuh area atas alis kanan saya dan cairan merah itu memang ada. Ah, setidaknya saya tidak dimangsa kelelawar pengisap darah di sana. Dan saya baru sadar kotornya badan dan pakaian karena serpihan daun kering bercampur tanah terhambur menyambut saya saat keluar dari lubang durjana tadi.
Drama ini cukup sudah. Marcel pemandu kami dari Indonesia mencoba menghibur dengan berseloroh,”Ah, dapat kenangan dan oleh-oleh tak terlupakan dari sini ya…” Saya tak sempat bahkan hanya untuk melempar senyum kecut karena saya sibuk membersihkan badan dan pakaian dari keringat, debu dan daun. Ditambah dengan udara yang lembab di tengah hutan, saya ingin melempar diri ke jacuzzi berair hangat dan tidur di hotel saja sambil memulihkan harga diri yang tercabik setelah insiden berdarah tadi.
Meski semangat saya sudah turun drastis, tur terowongan Cu Chi terus berlanjut.
Noni menunjukkan gundukan-gundukan sarang rayap yang dipakai Viet Kong sebagai saluran udara mereka. Sebuah cerita unik ia beberkan. Untuk melacak Viet Kong, para serdadu AS menggunakan anjing-anjing pelacak ke hutan-hutan Cu Chi dan menemukan bahwa lubang-lubang rayap itu mengeluarkan aroma manusia Vietnam yang asing. Begitu ada gundukan yang dicurigai, AS memberikan aroma cabai yang pedas sehingga bila memang ada manusia di dalamnya akan terdengar suara bersin. Baru mereka menghancurkannya. Namun, Viet Kong juga tak kalah licik. Mengetahui para prajurit AS juga kerap menjual barang dan pakaian bekas mereka ke penduduk lokal, pejuang Viet Kong pun menggunakan aroma manusia Amerika untuk mengelabui anjing pelacak. Barang dan pakaian orang AS itu pun dibawa masuk ke terowongan dan dipasang dekat lubang-lubang ventilasi. Jadi anjing-anjing pun tak menyalak lagi. Sungguh trik yang tak kalah cerdas.
Sejak tahun 1966 AS telah mengirimkan pasukan dalam operasi militer Cedar Fall untuk memberangus semua pejuang Viet Kong di terowongan Cu Chi namun hingga 1973 mereka tak kunjung berhasil. Viet Kong benar-benar seperti kelompok tikus yang susah dibasmi. Mereka juga piawai berperang gerilya. Cuma bersenjatakan seadanya, Viet Kong terus bertahan melawan AS yang mulai kelimpungan. Ditambah dengan dana perang yang terus membengkak, pilihan paling logis yang bisa ditempuh AS ialah mundur teratur.