PEMANDANGAN, ORANG-ORANG, makanan, buah tangan khas. Semua itu biasanya dianggap sebagai hal-hal paling diingat dalam melakukan sebuah perjalanan.
Namun, itu semua sia-sia belaka tanpa pengalaman yang positif dan membekas.
Seringkali orang menganggap enteng kelancaran sebuah perjalanan yang dibangun dari berbagai macam unsur ‘remeh-temeh’ yang jika dipikir kembali sangat menentukan kenyamanan dan kelancaran perjalanan kita berwisata.
Saya kini lebih menghargai hal-hal ‘kecil’ yang kerap terlewatkan untuk disyukuri karena saya pernah melalui kondisi yang penuh kepayahan sebelumnya. Mungkin tidak sepayah yang Anda bayangkan tetapi tetap saja ini sebuah pelajaran.
Di Shenzhen, saya pernah tersesat. Memang tidak sampai berakibat serius seperti tertinggal rombongan sehingga jadwal perjalanan kami porak poranda tetapi dampaknya tetap traumatis juga pada saya. Saya jadi tidak lagi menikmati perjalanan sebagaimana mestinya karena merasa bersalah sudah membuat pemandu tur kami pontang-panting mencari.
Pelajaran ditambah lagi dengan adanya kasus kehilangan paspor di dalam rombongan kami, yang saya curigai juga terjadi karena paspor yang disimpan di bus itu dicuri oleh pihak tidak bertanggung jawab (padahal seharusnya aman karena dijaga sopir bus). Mudah saja untuk
mengatakan,”Untung bukan paspor saya” tetapi kami berada dalam rombongan yang masuk bersama ke negara itu dengan satu surat izin. Bila satu orang kehilangan paspor, ada risiko kami semua tertahan juga di sana bersamanya. Nah, masalah satu orang pun menjadi masalah bersama akhirnya.
Pengalaman naas yang penuh pelajaran itu pada gilirannya membuat saya sebagai pelancong lebih menghargai aspek keamanan suatu tujuan wisata. Sungguh, melancong dengan tercekam kriminalitas dan dampak hukumnya berakibat destruktif pada jiwa. Alih-alih mendapatkan penyegaran setelah rekreasi, malah menjadi trauma dan stres.
Keamanan seolah menjadi fondasi bagi pariwisata. Apalah artinya pemandangan memukau, orang-orang yang ramah, makanan lezat nan murah serta oleh-oleh berlimpah bila intaian kaum kriminal ada di setiap sudut tempat yang dikunjungi?
Saya kembali teringat saat berada di Saigon. Kami mengunjungi sebuah kapal pesiar mungil yang tertambat di pelabuhan lokal. Di atas sana, suasana riuh rendah percakapan orang-orang sambil bersantap malam dan pertunjukan musik bercampur seperti dengungan lebah.
Hidangan diantar satu persatu. Kompor mini dengan satu panci berisi ikan matang dibawa ke meja kami. Dan kami pun berpesta pora. Makan ini itu.
Saya ikut larut hingga lupa. Tepukan tangan di bahu saya membuat saya tercekat,”Is this yours?”
Seorang awak kapal pesiar yang berseragam serba putih itu mengulurkan tangannya yang membawa sebuah dompet. Saya terhenyak sejenak. Saya raba kantong celana belakang. Tak ada!
Saya ucapkan terima kasih — yang mungkin sangat tidak setimpal dengan kesusahpayahan yang ia berhasil singkirkan untuk saya jika kehilangan dompet — dan sang awak berlalu untuk kembali menunaikan tugasnya melayani orang-orang yang terus berdatangan ke atas kapal.
Rupanya dompet saya jatuh saat saya duduk di kursi dan suasana yang ramai tidak membuat saya sadar.
Saya tercenung; perasaan lega karena kejujuran awak kapal tadi membuat saya yakin — inilah puncak pengalaman saya melancong di Vietnam.