Bagi para jurnalis, afiliasi pada korporasi bagaikan teralis — mengikat dan mencekat penyebaran pesan yang sudah tercatat secara cermat. Padahal di luar sana, masyarakat sudah menanti penuh asa.
Dengan maraknya jurnalisme daring yang secara sembarangan memuat konten yang mereka klaim sebagai berita tetapi kualitasnya membuat orang awam saja meringis miris, rasanya tidak berlebihan kalau kita butuh sebuah terobosan, pembaruan bagi yang masih ingin mempertahankan kewarasan. Jenuh sudah rasanya disuguhi berita-berita yang viral (menyebar seperti virus, dan memang sifatnya menebar teror dan cemas atau cuma ketidakbermanfaatan) yang tujuan utamanya menjaring lebih banyak klik, hits, atau pageviews, atau peringkat situs di Google atau Alexa.
Jurnalis kadang mirip rohaniawan bagi saya. Mereka akan dicap menggadaikan nilai idealisme yang sepatutnya dijunjung tinggi selama berkarya bila meminta imbalan untuk sekadar bertahan hidup atau hidup dengan layak. Pemikiran seperti itu sungguh keterlaluan karena jurnalis juga perlu makan, papan dan kebutuhan dasar lainnya.
Platform Byline mencoba menjawab kegundahan para pewarta yang masih ingin menjaga kemurnian karya mereka dari intervensi kapitalis dan para pembaca berita yang masih berakal sehat dan tidak ingin dimanja dengan berita-berita ringan nan menghibur tetapi dangkalnya minta ampun.
Byline ingin memberikan karya-karya jurnalistik terbaik dengan pendanaan berkonsep crowdfunding sehingga netralitas dan objektivitas lestari selalu.
Wartawan senang, sebab hidupnya lebih sejahtera dan idealismenya tidak tersandera. Pembaca juga lebih leluasa memilih berita yang membuka mata dan membawa makna dalam kehidupan bersama.