Ada semacam “official legend”, mirip dengan “urban legend” tetapi hanya berlaku di kantor kami, bahwa donat dengan nama brand itu amat berkhasiat membuat si karyawan pemberinya minggat. Untuk yang sudah penat, celetukan itu malah menambah semangat.
Awalnya tidak ada yang peduli dengan makanan yang dipesan saat seseorang berpamitan. Kami cuma makan saja, tanpa perasaan. Toh nanti juga bisa bertemu lagi luar tembok perusahaan. Ini bukan akhir segalanya, kami menghibur diri.
Donat ini rasanya manis seperti ekstrak 1000 ton gendis (gula dalam bahasa Jawa -pen). Tepungnya juga halus bukan main, mungkin sampai seukuran partikel nano. Tanpa banyak upaya, gula dan karbohidrat itu tertelan masuk ke usus kami dan menjalar ke peredaran darah, membuat kami bergembira, cerah ceria, meski cuma sementara karena banjir glukosa. Cukuplah sebagai obat penambah tenaga saat mengantar rekan yang akan meninggalkan posisinya dengan bersukacita.
Rekan kerja yang lelah itu berseloroh agar saya tak mengambilnya. “Jangan makan yang polos! Bisa langsung resign nanti,” serunya memperingatkan dalam nada jenaka. Namun, saya tak menggubrisnya. Justru makin dilarang, saya makin terangsang. Saya telan saja donat berhias selai coklat muda itu. Sejenak saya singkirkan imajinasi lonjakan gula darah yang mencemaskan itu.
Ah, euforia glukosa yang membuat gundah gulana sirna seketika! Aku suka...