Bertempat di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail Jakarta, konser peringatan hubungan diplomatik antara Peru dan Indonesia yang bertajuk “Amistad” digelar tadi malam (8/9) dan berlangsung meriah. Konser tersebut dihadiri berbagai tamu undangan dari kalangan diplomat asing negara-negara Amerika Latin di ibukota dan tamu-tamu lokal. Pianis andal Ananda Sukarlan dan penyanyi sopran Evelyn Merrelita (Indonesia) serta penyanyi bariton Rudi Fernandez Cardenas (Peru) tampil di panggung berkolaborasi membius audiens selama 1 jam 10 menit.
Sepuluh komposisi yang disajikan dalam konser tersebut telah digubah dan dirampungkan secara bertahap sejak bulan Mei 2015 lalu. Kemudian latihan dilakukan secara mandiri oleh keenam pemusik yang terlibat di dalamnya untuk kemudian berlatih bersama setelah beberapa pekan untuk mendapatkan harmoni secara alami.
Tentang proses kreatifnya dalam konser ini, Ananda menyebutkan ia melakukan penelitian. “Di sini, saya gabungkan musik Sunda dengan musik Peru,” ungkapnya. Pianis itu memilih musik dari tanah Pasundan karena alasan merasa lebih familiar. “Apalagi instrumen gesek dan tiup banyak berasal dari Sunda. Kalau di Jawa lebih banyak didominasi gamelan, alat musik pukul, sehingga kurang cocok.”
Instrumen tiup pan flute dipilih sebagai representasi budaya musik Peru. Alasan lain mengapa instrumen ini dipilih menurut Ananda ialah karena “instrumen ini adalah yang termudah yang bisa dipelajari orang Indonesia dalam beberapa minggu” sementara yang lainnya bisa membutuhkan waktu berbulan-bulan dan bertahun-tahun untuk dikuasai. Alat musik tiup pan flute ini bunyinya mirip seruling tetapi cara memainkan berbeda karena digeser-geser. Dalam konser tersebut, pan flute dimainkan oleh Andika Candra.
Bersama Ananda dan Andika, dalam komposisi berjudul Amistad yang dimainkan di tengah konser itu Giovani Biga (biola), Dave Nathanael (biola), Ratna Nur Salim (viola) dan Rachman Noor (cello) membuat audiens terbuai dengan dinamika dan kekompakan permainan yang memukau.
Lebih lanjut, Ananda juga menyorot bagaimana orang Indonesia harus bangga dengan budaya yang mereka miliki, tidak harus meniru Barat melulu. “Itulah yang saya alami dua puluh tahun lalu saat saya seusia Evelyn. Saat saya ke Eropa, justru saya terdorong untuk bisa menawarkan sesuatu yang baru, bukan yang kebarat-baratan,”tukasnya. Dengan bangga menjadi dirinya sendiri, para musisi Indonesia menurut Ananda bisa lebih banyak berkontribusi pada perkembangan musik klasik dunia. (*/)