Yogi Harus Berani Lawan Gravitasi

17795749_10210578405393721_731692790818310210_n

TUJUH tahun lalu tidak terbersit dalam benak saya untuk mempelajari, menekuni apalagi membagikan nilai dan pelajaran positif yoga ke banyak orang. Saya justru lebih tertarik pada biola. Untuk itu saya rela merogoh kocek untuk melego sebuah biola murah untuk pemula yang saya setiap akhir pekan mainkan di Taman Suropati, Menteng.

Tiga bulan berlalu. Saya terus belajar biola tetapi tak kunjung ada kemajuan berarti pula. Sementara itu, teman-teman selevel saya yang masih duduk di bangku SD sudah melesat. Mereka bermain lebih lincah, terampil, dan memukau.

Mulanya saya tak bergeming. Saya terus berlatih, dengan harapan akan terjadi perubahan suatu hari. Saya akan bisa menggesek lebih piawai, dan bisa menempatkan jari jemari dengan lebih lincah di papan senar yang sempit dan panjang itu.

Saya terus berusaha. Tanpa putus asa.

Hingga suatu pagi, saya datang lebih awal sebelum pelajaran biola saya dimulai. Sembari menunggu, saya kitari taman tersebut. Karena ada sebuah kerumunan yang tidak lazim, saya pun tertarik. Seakan ada daya tarik atau gravitasi yang menghisap saya untuk mendekat dan rekat.

Sekelompok orang sedang berlatih yoga. Jumlah mereka tak banyak. Hanya empat atau lima. Di lain hari kadang hanya dua, yaitu saya dan gurunya.

Saya sendiri merasa hati ini makin lekat dengan yoga sampai satu ketika saya putuskan untuk meninggalkan biola saya di kamar (dan masih menyimpannya di pojok kamar hingga detik ini) dan pergi ke Taman Suropati di Minggu pagi dengan satu niat: berlatih yoga saja. Saya sudah bisa legawa menerima fakta bahwa biola bukan bakat terbaik saya. Yoga terasa lebih masuk akal dan ‘klik’ untuk saya. Saya tidak memakai logika untuk memutuskan hal ini. Cuma mengandalkan naluri.

Saya sadar bahwa yoga bukanlah olahraga (dan olah pikiran dan jiwa juga sebetulnya) yang populer di antara kaum pria. Apalagi di tahun 2010, saat para pelaku yoga pria belum sebanyak sekarang. Yoga masih diasosiasikan sebagai olahraga yang feminin. Para pelakunya kebanyakan ibu-ibu paruh baya yang ingin menyulap badan menjadi langsing; bukan pria-pria yang ingin menyehatkan diri dengan cara lebih alami dan hanya memakai berat tubuh. Dan meskipun masih ada, asumsi  semacam ini makin luntur sekarang.

Keputusan menekuni yoga mirip perjuangan melawan gravitasi yang menarik mayoritas orang untuk berpikir seragam dan penuh prasangka, tanpa mau mencoba sebelum memberi cap, terhadap hal-hal apapun di sekitar kita.

Tiba-tiba saya sadar bahwa untuk menjadi sebuah sumber gravitasi baru, kita perlu pertama-tama memiliki keberanian untuk melawan gravitasi lama yang menjadi status quo.

Dan yoga memberikan saya sebuah celah peluang untuk menilik lebih jauh ke dalam diri saya sehingga saya memahami potensi diri daripada menuruti keinginan yang sering belum sesuai dengan realitas. Sejak itu, saya mendedikasikan diri untuk yoga dan komunitas yang telah membesarkan saya hingga seperti sekarang.

12733599_10206965683397929_2548702930890611255_n.jpg

Soal menentang daya tarik bumi, dalam yoga, saya bisa menemukan filosofinya. Kita bisa jumpai banyak postur yang masuk dalam jenis inversion (posisi badan terbalik). Misalnya pincha mayurasana (pose merak) seperti pose dalam foto di atas. Pose-pose semacam ini konon membuat darah lebih terpacu deras ke otak, sehingga aliran darah otak lebih lancar, daya pikir lebih tajam, lebih bersemangat sebelum memulai aktivitas yang padat. Ditambah dengan kegemaran membaca, yoga seakan menjadi pelengkap yang harmonis untuk memperkaya intelektualitas, daya pikir dan wawasan mengenai berbagai hal dalam kehidupan.

Postur-postur inversion mengajarkan kita keberanian untuk berdiri tegak saat memiliki sebuah opini, pemikiran, pandangan yang dianggap orang-orang di sekitar kita kurang lazim, kurang populer, dan kurang keren tetapi kita yakini sebagai sesuatu yang baik dan positif bagi perkembangan diri kita, untuk kemudian memberikan pengaruh positif itu pada sebanyak mungkin orang di sekitar kita.

14519787_10208858301712204_7095540187430850385_n.jpg

Yoga melalui postur-postur serta filosofi di baliknya juga mengajarkan pada saya bagaimana hal-hal yang tampaknya aneh sebetulnya memiliki manfaat di baliknya. Gerakan-gerakan yang menurut banyak orang lucu, janggal, konyol, atau “kurang kerjaan” karena dianggap di luar kewajaran ternyata menyimpan manfaat kesehatan yang tidak bisa diremehkan begitu saja. Ambil contoh postur satu kaki di belakang kepala di atas, yang terlepas dari keanehannya, mampu melonggarkan dan meregangkan sendi pinggul yang kaku setelah seharian bekerja, duduk selama minimal 8 jam di kantor. Perlu diketahui bahwa area pinggul menyimpan banyak tekanan dan beban dalam posisi duduk seperti ini. Jadi, bukan hal aneh lagi jika para pekerja kantoran banyak yang berpinggul kaku. Bahkan mereka yang masih muda sekalipun!

Dan setelah saya belajar yoga, saya simpulkan bahwa keanehan dalam diri kita justru bisa menjadi kelebihan yang berperan sebagai gravitasi yang menarik orang-orang dengan visi dan pemikiran yang sama untuk berkumpul dan mengadakan sebuah gerakan sosial yang besar.

15492334_10209604009754439_6707191168054862567_n.jpg

Kini saya masih aktif berkegiatan di Komunitas Yoga Gembira, Taman Suropati, Menteng, yang menjadi tempat saya mengenal yoga pertama kali tujuh tahun lalu. Dan untuk menyebarkan kampanye hidup sehat melalui yoga di ruang terbuka hijau di area perkotaan, saya juga dituntut berperan sebagai penanggung jawab media sosial dalam komunitas. (*)

Published by

akhlis

Writer & yogi

6 thoughts on “Yogi Harus Berani Lawan Gravitasi”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.