SEIRING berjalannya kala, saya menemukan fakta bahwa tiap manusia memiliki kecepatan menua yang berbeda-beda. Ada yang menua dengan kecepatan luar biasa. Terlalu dini. Mereka ini adalah orang-orang yang sudah memiliki jiwa tua sejak dari kecil. Seperti seorang teman SD saya yang sudah sejak dulu sering melerai dan mengalah. “Sudah sudah, tidak ada untungnya berkelahi. Ayo maaf-maafan,” katanya pada kami kalau ribut sedikit di kelas. Meskipun memang itu ideal sebagaimana dinyatakan dalam pelajaran PMP dan penataran P4 [kepanjangan singkatan-singkatan ini hanya bisa dipahami generasi saya dan yang lebih tua], saya harus katakan aneh bagi anak SD untuk bisa sedewasa itu. Mengerikan dan tidak natural. Saya sudah tidak lagi bertemu dengannya tetapi saya berani bertaruh ia akan jauh lebih dewasa daripada yang sudah.
Ada juga manusia yang memiliki kecepatan menua lumayan wajar dan sepatutnya. Untuk menentukan ‘wajar’ dan ‘sepatutnya’, masyarakatlah yang menentukan. Mereka ini menjalani kehidupan dengan linimasa yang sudah ditentukan para tetua. Masuk sekolah usia ini, lulus kuliah usia itu, menikah umur X, punya anak umur Y, pensiun umur Z. Dan mungkin mati umur….? Tampilan dan rupa mereka pun mengikuti selayaknya peran-peran baru dalam tiap fase kehidupan itu.
Lalu ada juga yang menua lebih lambat dan dengan demikian dianggap sebuah karunia [untung saja kita hidup di sebuah masyarakat yang sangat terobsesi dengan penampilan muda selama-lamanya]. Karunia yang tak diupayakan secara sengaja apalagi sampai menghalalkan segala cara.
Malam itu saya mendapati tetamu yang lagi-lagi ingin tahu soal rahasia awet muda saya. Bermula dari pertanyaan soal pekerjaan, saya berkata soal apa yang saya lakukan akhir-akhir ini. Menulis; bertemu para petinggi bisnis asing; menerbitkan buku. Seperti itu.
Tiba-tiba Morpheus yang duduk di depan saya mulai mengendus sesuatu yang mencurigakan. Benar saja, ia langsung mengklairifikasinya:”Berapa usiamu?”
Saya tahu jika saya standup comedian, inilah saatnya saya bisa mulai mempersiapkan sebuah suspense yang nantinya bisa saya akhiri dengan punchline yang jitu. BOOM!
Karena ia ingin tahu dan benar-benar tidak terbendung lagi, saya katakan bahwa ia punya 3 kesempatan untuk menebak usia saya yang sebenarnya. Dan Morpheus serta Harly di sampingnya sangat antusias memenangkan sayembara ini, seolah-olah ada hadiah besar nan menggiurkan menanti mereka.
Mereka dengan cepat menebak beberapa kali tapi menyerah kalah.
Saya berikan jawabannya pada Bram, interpreter mereka selama di Indonesia, yang ada tepat di sebelah saya. Lalu ia juga tersentak mendengar jawaban saya.
Saya tahu mereka selama beberapa hari terakhir ini mengira saya seorang anak muda usia 20-an. Taksiran mereka pun dinaikkan begitu saya menjelaskan pekerjaan saya serta gaya dan isi omongan saya yang terlalu dewasa untuk level usia itu.
Ya, saya memang sudah meninggalkan usia 20-an lebih dari hampir 5 tahun lalu, kata saya pada Morpheus.
“What??!! You’re ….!!??” tanyanya masih tidak percaya.
“What do you eat???!!” teriaknya sambil masih memandangi wajah saya penuh rasa tidak percaya.
Tidak cuma Harly dan Morpheus yang terkejut. Tapi juga teman-teman serombongannya yang lain yang mengira bahwa saya masih berusia 20-an padahal saya sudah pertengahan 30-an tahun ini.
Saya katakan saya sudah sangat terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Tidak kaget lagi, tersinggung atau merasa melambung karena dipuji awet muda.
Orang-orang tergila-gila untuk tampil awet muda. Meskipun itu bagus dan tidak ada salahnya, memiliki penampilan fisik yang tidak sesuai umur membuat saya kesulitan dalam beberapa hal.
Misalnya dalam menampilkan diri saya di depan publik atau orang lain. Karena saya tidak memiliki wajah dan penampilan yang sepantasnya untuk umur saya, saya harus berjuang lebih keras untuk membuktikan pada mereka bahwa saya punya pengalaman dan keahlian yang memang sudah sepatutnya dimiliki oleh orang-orang seusia saya. Dan ini tidak bisa dilakukan hanya dengan menyodorkan portfolio. Seperti dalam kehidupan nyata, dalam situasi percakapan Morpheus dan Harly baru saja, saya harus menjelaskan bahwa saya bekerja sebagai penulis dan saya memiliki juga pengalaman sebagai wartawan dan mengajar yoga.
Ada rasa lelah untuk menjelaskan setiap bertemu dengan orang baru bahwa saya bukanlah anak kemarin sore yang tidak tahu apa-apa.
Dari video di atas, saya bisa merasakan langsung rasanya saat dianggap terlalu muda di tempat kerja. Saat itu saya masih mengajar, dan karena tampilan saya yang lebih cocok sebagai mahasiswa daripada dosen, saat saya bertemu mahasiswa dan dosen baru pertama kalinya saya lebih sering dikira sebagai mahasiswa. Petugas administrasi mengira saya anak baru yang tentunya tidak pantas diperlakukan secara hormat. Dianggap sambil lalu dan tanpa respek yang semestinya saya dapatkan.
Saat saya masuk ke sebuah tempat kerja yang baru, saya juga tidak bisa tidak menjelaskan usia saya. Dan ini sangat mengganggu karena saya tentu tidak bisa menjelaskan kenapa saya harus dihormati dengan mengatakan usia saya sebenarnya tanpa diminta. Tentu orang akan menganggap saya aneh dan gila hormat tapi jika hal itu terlambat diketahui orang-orang di sekitar saya, kejadian-kejadian menyakitkan hati pasti akan menimpa saya. Beberapa orang yang tahu usia saya akan memberikan perlakuan yang lebih halus tapi mereka yang tidak, akan cenderung semena-mena dan seenaknya.
Soal hal-hal yang hanya diketahui oleh generasi tertentu, saya juga kadang terjebak dalam percakapan yang tidak saya pahami karena mereka yang ada di dalamnya adalah generasi di bawah saya, sementara mereka mengira saya paham dan tahu betul. Entah itu acara TV atau lagu atau produk kebudayaan pop yang khas di generasi masing-masing. Akan sangat aneh jika saya mengatakan saya tidak tahu atau tidak suka dengan sesuatu yang digandrungi oleh banyak generasi di masa itu. Mereka tak tahu bahwa saya bukan bagian dari generasi yang lebih muda itu. Saya bagian dari generasi kakak-kakak dan paman-paman mereka semua!
Lalu tentang pilihan pakaian. Ini juga sumber kekesalan saya karena seringkali saya mesti ke acara-acara yang mengharuskan saya tampil sebagaimana orang dewasa seusia saya. Hanya saja susah sekali untuk menemukan pakaian yang bisa mengeluarkan aura dewasa saya tanpa tampil gombrong. Alhasil, jas-jas dan kemeja dan celana panjang yang saya kenakan selama ini kebesaran dan bergaya baggy. Sangat tidak nyaman memakainya. Saya kadang ingin sesekali memakai baju dengan ukuran pas. Tapi jika beli di toko pakaian mana bisa? Ukuran saya tidak akan pernah ada. Solusinya ada tiga: mengecilkan pakaian jadi dari toko-toko atau membuat sendiri pakaian idaman itu atau terpaksa memilih di rak remaja dengan ukuran terbesar yang tersedia. Di Uniqlo, saya sangat merasa dimanja karena di bagian anak-anak saya menemukan busana yang pas dengan tubuh saya. Masalah berikutnya adalah pakaian-pakaian anak-anak ini meredupkan aura dewasa saya. Saya malah kelihatan makin muda karena kebanyakan model-model pakaian anak sangat khas, berbeda dari model pakaian pria dewasa yang lain. Ini memang agak nyeleneh, atau kurang sesuai dengan aturan dalam masyarakat tapi bagaimana lagi? Saya juga bingung harus memaksakan diri memakai pakaian orang dewasa yang tidak pas dan kurang nyaman. Tubuh yang tidak banyak berubah sejak SMA ini juga sepertinya mendukung saya untuk tampil terlalu muda. Terus terang ukuran pakaian memang belum berubah banyak sejak 20 tahun lalu.
Obrolan berlanjut dengan pemaparan yang saya berikan untuk Morpheus dan Harly. Keluarlah dari mulut saya soal kebiasan tidur awal dan bangun pagi, soal minyak zaitun yang saya minum dan oleskan, kebiasaan yoga dan olahraga saban hari, kebiasaan berhenti makan sebelum pukul 8 malam. Dan makin saya paparkan, makin mereka bertanya banyak. Kenapa harus sampai seperti itu? Kenapa olive oil?
“Siapa yang mengajarimu soal minum olive oil?” tanya Morpheus lagi.
“Guru yogaku…,” jawabku jujur.
“Usia berapa dia sekarang?” ia menyelidik. “Jangan bilang dia 200 tahun usianya. Karena kalau benar, aku akan mencari dan berguru kepadanya…”
Belum usai ia melontarkan lelucon itu, ia potret wajah saya dan mengatakan:”Saya akan kirimkan fotomu ke istri saya di Taipei.Kita lihat apakah ia bisa menebak dengan benar atau tidak…”
Dan istrinya gagal.
P.S.:
Semboyan 35 adalah semboyan suara yang dilakukan dengan cara masinis membunyikan suling (trompet/klakson) lokomotif secara panjang untuk menjawab kepada kondektur kereta api dan PPKA bahwa kereta api sudah siap untuk diberangkatkan. Kadang juga dibunyikan pada waktu melintas di perlintasan jalan raya atau pada tempat-tempat tertentu untuk mendapatkan perhatian dari orang atau hewan agar menyingkir dari rel kereta api. [sumber: Wikipedia]