Entah apakah artikel tersebut memang advertorial yang didesain sehalus mungkin untuk menggenjot angka penjualan properti yang lesu darah atau memang anak-anak muda yang sudah berdaya beli ini perlu didorong untuk lebih peduli pada kebutuhan pokok daripada kebutuhan tersier semacam traveling, memang ada benarnya juga bahwa kaum milenial [mereka yang lahir setelah 1980] yang sudah masuk angkatan kerja memiliki kepedulian yang kurang pada kepemilikan papan. Sandang yang notabene lebih mahal [karena langsung bisa dinikmati dan dipakai dan dipamerkan] seolah menjadi lebih terjangkau dan menjadi suatu alat penderek gengsi di lingkaran pergaulan dan pekerjaan.
Apakah melancong mencari pengalaman hidup dan berpakaian bagus itu salah?
Tentu jawabannya tidak semudah iya atau tidak. Kita tahu semuanya memiliki manfaat dalam hidup. Melancong membuat perspektif kita terbuka dan pola pikir lebih bijak. Mengunjungi kafe dan bersosialisasi juga bisa memberikan kita peluang-peluang emas dalam peningkatan karier dan lainnya. Berbusana bagus juga membuat kita lebih mudah bergaul dan diterima dalam masyarakat dan tempat kerja. Masalahnya, sebagian kaum milenial sudah memberikan porsi yang berlebihan pada semua ini dan menyingkirkan prioritas untuk membeli properti dan kebutuhan hidup lain yang justru sangat fundamental seperti membeli rumah, asuransi kesehatan, atau makanan sehat. Mereka tidak segan mengirit biaya makan atau makan gorengan sembarangan di pinggir jalan asal perut kenyang tetapi masih bisa memakai New Balance, Nike atau Adidas keluaran terkini.
Trenyuh kan?
Baru-baru ini saya membeli properti pertama dan pengalaman ini cukup mendebarkan juga karena saya tidak tahu apa-apa soal trik dan tips melakukan pembelian barang yang nilai nominalnya sampai ratusan juta. Apalagi ini menyangkut masa depan dan mempengaruhi keuangan dan kehidupan saya selama beberapa tahun mendatang atau bahkan sampai saya meninggal dunia nanti.
Bila Anda juga bagian dari kaum milenial yang masih ragu untuk membeli properti pertama, mungkin pengalaman saya bisa berharga untuk Anda.
Tahu kebutuhan dan anggaran Anda
Pertama-tama sebelum memutuskan mengincar produk properti yang mana, bersikaplah realistis dengan menyelaraskan antara kebutuhan dan daya beli Anda. Kalau Anda baru lajang, mungkin membeli rumah atau apartemen ukuran terkecil yang tersedia sudah menjadi awal yang baik.
Lain lagi bila Anda sudah berniat membangun rumah tangga, membeli properti yang lebih besar dan lapang perlu dipikirkan. Tetapi kembali lagi, sesuaikan dengan anggaran yang ada. Jangan sampai Anda terlalu optimis dan memaksakan diri untuk membeli properti yang besar dan lebih mahal sampai keuangan kritis dan terpaksa berutang hanya untuk kehidupan sehari-hari.
Saran saya, bila Anda sudah memiliki sedikit tabungan dan masih perlu dana untuk menambahi sisanya, coba meminjam dana dari keluarga terdekat [tentunya dengan itikad baik untuk mengembalikan begitu sudah ada uang, karena tak jarang hubungan keluarga merenggang gara-gara utang!]. Jika ini tidak memungkinkan, barulah pikirkan alternatif lain seperti meminjam ke lembaga keuangan resmi seperti bank. Tetapi ingat, jalan yang kedua membawa konsekuensi signifikan bagi keuangan Anda.
Bangun sendiri atau percayakan pada pengembang?
Semua ada plus minusnya. Kalau Anda pilih membangun sendiri, artinya sudah siap dengan pembelian tanah, lalu mencari pekerja bangunan yang bisa dipercaya. Soal pekerja dan mengelola kerja mereka sampai bangunan rampung itu sangat menyedot tenaga. Anda harus pintar mengelola keuangan dan disiplin mereka agar anggaran tidak menggembung dan melampaui perkiraan awal. Keterbukaan dan rasa saling percaya juga amat dibutuhkan jika Anda ingin rumah Anda selesai dengan memuaskan. Hati-hati kalau mengerjakan pembangunan properti sendiri karena biasanya biaya-biayanya bisa terlewatkan dari perkiraan sehingga benar-benar perlu kecermatan. Kelebihannya kalau membangun sendiri, Anda bisa membangun sesuai selera dan kebutuhan. Tidak ada pihak ketiga yang menentukan jenis material, harga, desain atau bentuk dan sebagainya.
Lain halnya jika kita pilih mempercayakan pada pengembang properti. Kita cukup membayar/ mengangsur dan properti sudah dirancang dan dibuatkan mereka. Kita sebagai konsumen tinggal terima bangunan sesuai spesifikasi yang mereka tawarkan. Jika tidak terpenuhi, kita bisa menuntut karena sudah ada surat perjanjian di atas kertas yang tentunya lebih kuat dalam aspek legalitas.
Rumah atau apartemen?
Tergantung selera untuk bisa menjawabnya. Ada mereka yang suka rumah tapak karena bisa dapat hak milik atas tanahnya juga. Lokasinya juga di luar kota atau pinggiran kota sehingga lingkungannya masih asri atau lapang. Kalau apartemen, tidak bisa. Tapi kelebihan apartemen, lokasinya biasanya strategis, di tengah kota dan pilihan. Infrastrukturnya sudah bagus dan lengkap. Rumah tapak apalagi di Jakarta rasanya sudah sulit dimiliki oleh kaum milenial walaupun mereka bersumpah mau mencicil sampai akhir hayat pun, kecuali yang sudah terlahir sebagai ahli waris dari orang tua yang kaya raya.
Saya sendiri lebih suka rumah tapak di luar Jakarta karena pastinya kualitas lingkungan hidupnya lebih baik dari Jakarta yang sudah acak-acakan dan parah. Dengan memilih rumah di luar ibukota, harga juga jauh lebih murah dan penataan lingkungannya lebih baik karena dirancang dari nol, tidak harus menanggung ‘dosa’ sebelumnya.
Pilih pengembang yang sudah tepercaya
Lakukan sedikit riset di internet jika Anda ingin membeli rumah via pengembang. Cari pengembang yang kredibilitasnya terbukti baik dan memiliki rekam jejak [track record] yang sudah terbukti baik dan positif. Cari informasi penting soal pengembang yang bersangkutan, misalnya siapa yang memilikinya, direktur-direkturnya, sudah berapa lama beroperasi, berita apa saja yang beredar mengenai pengembang ini di masa lalu [setiap pengembang biasanya terlibat dengan setidaknya kasus sengketa tanah atau konflik dengan konsumen yang merasa tidak puas atau warga sekitar yang memiliki keluhan. Makin banyak masalah tentu makin dipertanyakan kredibilitasnya]. Ingat juga bahwa pengembang properti yang baik bisa dilihat dari proyek-proyeknya sebelum ini. Apakah proyek-proyek itu terkelola dengan baik? Nah, itu tugas kita untuk mencari tahu.
Lazimnya pengembang baru yang masih minim rekam jejaknya harus bekerja keras membangun kepercayaan publik dengan menekan harga jual properti mereka sehingga bisa membuktikan keandalan mereka yang tak kalah dengan nama-nama besar. Tapi pastikan Anda benar-benar tahu lokasi kantor pusatnya dan siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban jika skenario terburuk terjadi [misalnya proyek mangkrak, proses refund yang susah, spesifikasi tak sesuai janji, dan sebagainya]. Percuma saja Anda mengejar-ngejar agen-agen yang tak lebih kaya dari kita sendiri untuk mengganti rugi bila properti kita ternyata tak kunjung selesai dan diserahterimakan, atau diberikan dengan spesifikasi lebih rendah dari perjanjian.
Beli tunai lebih murah
Jika ada dana tunai [istilahnya cash keras], belilah properti pertama yang murah dulu. Baru nanti jika sudah ada dana ekstra di masa datang, Anda bisa menjualnya dan melakukan upgrade. Entah mau rumah yang lebih besar, ada kolam renang, atau berlantai dua, tak masalah sebab rumah bisa dijual lagi dan lazimnya harga properti seiring dengan inflasi dan tidak akan turun [dengan syarat lokasinya strategis atau setidaknya tidak parah aksesnya]. Yang penting Anda sudah punya dulu, satu dan kecil bukan masalah besar.
Kalau terpaksa mencicil, pilihlah tenor atau masa angsuran yang paling pendek bila memungkinkan. Jangan terpaku dengan jumlah cicilan per bulan yang sangat rendah karena itu ‘menipu’. Makin panjang masa tenor, makin mahal sebetulnya harga sebuah properti.
Pilih agen properti yang pas
Maksud saya dengan kata “pas” di sini ialah karakter agen properti yang mau membantu Anda, kaum milenial, yang sedang sibuk mengejar karier. Mereka ini idealnya orang-orang yang tidak keberatan untuk menjelaskan dengan ramah apapun yang Anda belum ketahui. Bahkan jika Anda meminta bantuan mereka untuk menjadi kuasa dalam aktivitas-aktivitas dalam proses pembelian properti, mereka akan dengan senang hati membantu dengan menjadi wakil Anda [misalnya karena Anda tidak bisa cuti, sedang banyak pekerjaan, atau sedang ke luar kota].
Saya sendiri sangat beruntung bertemu dengan seorang agen properti yang memiliki karakter yang jujur, beritikad baik dan tidak pushy alias suka mengejar-ngejar [baik via WhatsApp, telepon dan sebagainya]. Kebetulan saja saya bertemu dengannya – bukan di pameran properti – tapi di kereta komuter dan ia sedang menawarkan pada orang lain. Saat saya menyatakan minat, ia juga tidak berlebihan dalam memberikan respon, seperti dengan membujuk saya mati-matian untuk datang dan membeli. Saya tidak merasa ditakut-takuti, atau diseret. Saya juga tidak capek mendengar ia mempromosikan setiap bertemu saya. Dengan kata lain, semuanya berjalan mengalir apa adanya. Saat saya memilih rumah [di blok apa dan letaknya], saya juga meminta nasihat dan saran darinya agar terhindar dari kekecewaan di kemudian hari karena tidak tahu dari awal.
Saat saya katakan sedang sibuk karena tidak bisa menandatangani surat perjanjian jual beli, misalnya, ia akan dengan fleksibel mengubah jadwal. Atau saat saya sudah capek kerja, ia menawarkan untuk menjadi kuasa saya untuk mengambil bonus cash back yang dijanjikan pengembang. Saya merasa nyaman dan aman dengannya, dan ini saya yakini sebagai kunci memilih agen properti yang pas setidaknya bagi diri saya sendiri yang sangat benci hard selling. Kalau Anda mau kontak agen properti kenalan saya ini, saya bisa beritahukan via email/ surel akhlis(at)merahputih(dot)id. Dan saya tegaskan lagi bahwa saya TIDAK memiliki hubungan atau perjanjian apapun dengan agen tersebut dan tidak akan mendapatkan imbalan dalam bentuk apapun jika ia mendapatkan konsumen melalui rekomendasi saya ini. Saya merekomendasikannya HANYA karena saya merasa puas dengan pekerjaannya saat membantu saya dalam proses panjang membeli properti. (*/)