BEBERAPA waktu lalu, seorang politikus bertelanjang dada di depan publik dan sempat diunggah di media sosial serta menjadi viral, publik kontan mempermasalahkan. Apakah pantas seorang pejabat apalagi seseorang yang menyatakan diri sebagai calon presiden bertingkah laku seperti itu? Seakan-akan bertelanjang dada adalah suatu perbuatan barbar, jauh dari kesan beradab.
Apakah memang begitu? Kalau memang begitu, sejak kapan? Dan kenapa?
Kaum Adam secara umum memang memiliki ‘hak istimewa’ untuk telanjang dada di masa modern ini. Kebanyakan masyarakat di dunia secara tersirat menyepakati bahwa para pria tidak akan dikenai sanksi sosial bila tampil di publik dengan dada tanpa penutup apapun.
Bertelanjang dada terutama dalam budaya Jawa yang menjadi ekosistem saya tumbuh pada awalnya bukanlah hal tabu. Dan hal itu juga bukan menunjukkan kelas sebetulnya. Di masa lalu, para pria Jawa bisa saja bertelanjang dada ke mana-mana dan masih bisa menunjukkan status sosialnya walaupun memang dalam beberapa kesempatan memakai baju atasan masih dianggap lebih berwibawa dan gagah (mungkin juga karena harga kain sangat mahal saat itu). Saya menduga bahwa kebiasaan ini dianggap lumrah karena iklim tropis di Jawa yang membuat orang tidak akan tahan berpakaian menutup seluruh tubuh apalagi yang tebal sepanjang hari sembari beraktivitas di luar ruangan. Selain gerah, pakaian yang terlalu panjang dan tebal akan menghambat gerak dalam beraktivitas.
Lihat saja pria Jawa satu ini. Dalam momen sekali seumur hidupnya (upacara pernikahan), ia diizinkan untuk bisa mempertontonkan dadanya pada khalayak. Dan meski tanpa baju, kita masih bisa melihat status sosialnya dari benda-benda yang ia kenakan dari kepala, hiasan kalung di leher, aksesoris di kedua lengan atas, dan busana dari pinggang ke bawah. Belum lagi perkakas piring dan logam yang ada di sekitarnya serta furnitur yang ia duduki. Itu semua menunjukkan kondisi yang makmur. Rakyat jelata yang papa sangat kecil kemungkinan bisa menikmati kemewahan semacam itu. Kalau sekarang, berfoto dengan ini semua bisa saja diatur di studio dan bisa dilakukan lebih banyak orang. Tapi dulu rasanya peluang itu sangat kecil.
Foto mempelai pria Jawa ini diambil antara tahun 1870-1900 di sebuah daerah di Jawa Tengah. Gaya busana mempelai pria Jawa semacam ini juga masih lestari sampai sekarang. Buktinya salah satu paman saya juga berpakaian gaya Solo Basahan seperti ini di momen istimewanya.
Perjuangan pria AS untuk bisa bertelanjang dada secara bebas belum usai hingga 3 dekade kemudian. Pada tahun 1930, menurut situs gotopless.org, kaum pria mulai secara aktif memperjuangkan hak mereka untuk bertelanjang dada di area publik.
Dalam film”It Happened One Night”, aktor Clark Gable berakting tanpa kaos dan hal itu membuat publik gusar. Kebiasaan bertelanjang dada saat itu masih belum bisa diterima.
“Sebelum 1936, pria dilarang bertelanjang dada. Di tahun 1934, empat pria yang bertelanjang dada di Coney Island didenda 1 dollar”
Masyarakat masih ‘keberatan’ melihat tubuh atas pria, demikian pernyataan seorang penegak hukum terkait kasus tersebut.
Makin dilarang, makin menantang. Setahun setelahnya, 42 pria lain bertelanjang dada di Atlantic City, New Jersey sehingga mereka didenda 82 dollar AS secara keseluruhan. Pria-pria pelanggar hukum itu dicemooh sebagai ‘gorilla’ oleh masyarakat karena mempertontonkan torso mereka.
Perjuangan kaum pria AS mulai menampakkan hasil di tahun 1936 saat pemerintah Westchester, NY, menghapus larangan bertelanjang dada demi alasan penghematan. Komisi Taman setempat menyatakan pihaknya hanya menyediakan celana renang tanpa kaos bagi pria karena harganya lebih murah.
Tahun 1953, budaya bertelanjang dada bagi pria mulai bisa diterima masyarakat AS. Hal ini ditunjukkan dari film “From Here to Eternity” yang menampilan pemeran prianya yang hanya memakai celana renang di pantai.
Di masyarakat Islam, bertelanjang dada bagi pria juga sama sekali tidak melanggar ajaran agama karena aurat pria hanya ada di antara pusar dan lutut. Jadi kalaupun seorang pria muslim terpaksa bertelanjang dada saat ia salat [sepanjang ia bersarung/bercelana panjang untuk menutup perut bawah dan paha sampai lututnya], ibadahnya tidak bisa dianggap batal. Sehingga bila pria-pria Jawa di atas salat dengan busananya masing-masing, tidak ada masalah sebenarnya. Tinggal sekarang apakah orang-orang di sekitarnya menganggap patut atau merasa terusik dengan itu [karena sering manusia lebih cerewet daripada Tuhan sendiri]. Hanya saja unsur kepatutan itu memang harus menjadi pertimbangan. Tidak bisa tidak. Kalau kita saja menghadap pembesar yang notabene manusia biasa tidak bisa jika tanpa kemeja bagus, kenapa kita menghadap Tuhan malah dalam kondisi telanjang dada? Dari situ, memakai kemeja menjadikannya afdol dan lebih pantas.
Jadi, sekali lagi, siapa bilang kita selalu ketinggalan dibandingkan Amerika Serikat? Soal telanjang dada, kita justru lebih progresif daripada mereka. (*/)