“Sebagai pengarang saya masih percaya pada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit”- Pramoedya Ananta Toer
ANANTA adalah sebuah kata dalam bahasa Sansekerta yang maknanya “tanpa batas”, “tanpa akhir”. Dalam ajaran yoga, Ananta merupakan makhluk berwujud ular keabadian yang menguping rahasia ajaran yang diberikan oleh Dewi Parwati pada Dewa Syiwa. Karena tertangkap basah menguping, Ananta oleh Syiwa kemudian dititahkan untuk mengajarkan yoga pada para manusia di bumi. Dikatakan ia kemudian menjelma sebagai manusia dan manusia itu kemudian dikenal sebagai Patanjali yang kita kenal dengan sutranya yang legendaris itu.
Nama sastrawan terkemuka Indonesia juga ada yang mengandung kata “ananta”. Dan benar saja, karya-karyanya dikenal tanpa batas waktu dan ruang. Ia adalah Pramoedya Ananta Toer.
Berkenalan dengan karya-karya Pram akhir tahun 2016 [satu dekade setelah ia wafat], saya merasa agak terlambat untuk menjadi salah satu penggemarnya. Tapi ini bukan tanpa alasan. Ketidaktahuan saya dengan karya-karya Pram selama masa sekolah ternyata karena adanya pelarangan beredarnya buku-buku terbitannya selama beberapa dekade di negeri ini karena ia pernah diasingkan sebagai tahanan politik di masa Orde Baru.
Di akhir tahun 2016, saya tak sengaja menemukan buku-buku Pram di perpustakaan Kedubes Belanda dan Perpumda DKI Jakarta. Kemudian saya menghabiskan banyak waktu untuk membaca novel romannya, dari “Anak Semua Bangsa”, “Bumi Manusia”, “Rumah Kaca” dan “Jejak Langkah”. Kesan pertama saya adalah sangat terpukau dengan gaya berceritanya yang sangat luwes dan mengalir. Akibatnya saya larut dan tidak bisa memisahkan diri dari buku-buku tadi siang dan malam. Pokoknya sangat adiktif. Kisah-kisah Minke, sang tokoh utama, sanat mengena bagi saya, terutama karena saya seorang Jawa dan suka menulis juga. Ini tentu ada hubungannya dengan bakat dan kemampuan stroytelling Pram yang sudah terasah sejak kecil. Ditambah dengan keterbatasan untuk menuangkan dalam bentuk tulisan, karya-karya tetralogi sebelum dituangkan dalam tulisan telah disampaikan secara lisan pada kawan-kawan sepenanggungannya di Pulau Buru, Maluku.
Karena hari ini hari terakhir pameran “Namaku Pram: Catatan dan Arsip” di Dialogue, Kemang, saya pun membulatkan tekad ke sana. Dan meskipun mendengar bahwa ternyata pameran itu diperpanjang, saya tidak kecewa karena kapan lagi bisa menikmati pameran langka ini?
MASA KECIL DI BLORA
Terlahir pada 6 Februari 1925, Pram memiliki orang tua Mastoer Imam Badjoeri dan Oemi Saidah. Ia anak sulung laki-laki. Sejak dini ia sudah kenal sastra karena bapaknya penulis buku, puisi, prosa dan tembang Jawa. Mastoer seorang Javanis tulen yang ambivalen menurut saya. Kenapa ambivalen? Karena ia menentang sekaligus menerimanya tanpa ia sadari.
Ada yang menarik dari hubungan Pram dengan sang ayah ini. Pram kecil dididik begitu keras bahkan terkesan terlampau keras untuk ukuran zaman itu sekalipun [apalagi zaman sekarang!]. Ada alasan saya menyimpulkan demikian. Pertama karena ayah Pram ini mungkin tidak bangga atau bahkan kecewa memiliki anak seperti Pram. Ekspektasi sangat ayah sangatlah tinggi sementara faktanya Pram tidak bisa memenuhi. Sebagai anak laki-laki sulung seorang guru besar di SD Institut Boedi Oetomo, Pram mempermalukan ayahnya karena gagal naik kelas sampai 3 kali. Untuk urusan ini, saya juga pernah berada dalam situasi yang sama. Hanya saja ayah saya kepala sekolah dan saya siswa kelas 1 tapi saya berhasil menduduki peringkat atas di kelas sehingga tidak membuat martabat ayah saya sebagai kepala sekolah terinjak-injak. Karena sampai 3 kali gagal naik kelas, akhirnya ayah Pram turun tangan juga dan mengajar sekaligus ‘menghajar’ Pram. Ia mungkin bukan anak yang cerdas dalam standar sekolah saat itu sehingga saat kelas 4 ia baru bisa naik kelas dengan diajar ayahnya sendiri. Tentu saja Pram kecil merasakan tekanan hebat. Bayangkan orang tua Anda seorang akademisi ulung yang profesor sementara Anda saja kuliah mungkin terlunta-lunta dan ketinggalan. Tak pelak, menangis sudah menjadi makanan sehari-hari Pram sehabis diajar sang ayah. Akan tetapi, ayahandanya yang penutur cerita sejati itu juga selalu menghiburnya setelah kelas dengan mendongengkan kisah-kisah pewayangan yang asyik dan menghanyutkan imajinasi anak-anaknya.
Karena hubungannya yang agak sulit dengan ayahnya itulah, patut dipahami hubungan Pram dengan ibunya lebih dekat dan hangat. Ibunya ini perempuan Jawa yang ulet, cekatan dan serba bisa. Lihat saja jenis-jenis pekerjaan yang ia biasa lakukan: dari menjahit, membatik, memasak, sampai mencangkul dan membuat sabun. Sebagai panutan, Oemi Saidah mencontohkan kedekatan dengan buku dan bacaan sejak Pram kecil. Untuk menegaskan kekaguman dan kedekatannya dengan ibunya, Pram sampai mengatakan bahwa ibunya adalah “wanita satu-satunya di dunia ini yang kucintai dengan tulus.” Di kemudian hari, bibit Oedipus Complex ini berkecambah dan memberikannya sebuah pernikahan yang langgeng dengan anak seorang tokoh Betawi.
Bakat bercerita menurun pada Pram secara alamiah. Di kelas 3 SD, ia menulis jurnal hariannya sendiri. Begitu masuk ke kelas 5 SD, ia mulai mengarang. Menulis menjadi alatnya untuk berinteraksi karena ia termasuk anak yang pemalu, yang mungkin disebabkan karena keinginannya untuk mendapatkan pengakuan dari dunia sekelilingnya sebagaimana yang ia inginkan dari ayahnya sendiri. Meski pemalu, Pram tidak malu saat membacakan cerita untuk adik-adiknya.
Dari kebiasan menulis jurnal itu, ia mulai terus menulis. Tulisan pertamanya untuk publik bertema resep dan khasita obat-obatan dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, penerbit Tan Koen Swie yang ia kirimi tak mengabari lebih lanjut. Kemudian ia menulis dan mengirimkan “Ke Mana” ke majalah Pandji Poestaka [terbit antara 1925 sampai 1945] milik Balai Pustaka. Sebagaimana para penulis pemula lainnya, mengetahui karya dimuat merupakan sebuah kebanggaan. Ia pun mulai mendapatkan kenikmatan menulis. Dan sejak itu ia tak bisa berhenti.
ANAK MAMA
Jadi anak mama, bukan berarti manja. Pram mengenang ibunya sebagai sosok penyemangat. Seperti saat Pram kecil berkecil hati dikomentari anak-anak sebayanya karena ia menggembala kambing. Ia yang merasa minder karena merasa itu pekerjaan hina, dinasihati sang ibunda soal kerja keras dan martabat seorang manusia. “Yang harus malu itu mereka, karena mereka takut pada kerja. Kau kan kerja. Semua orang yang bekerja itu mulia. Yang tidak bekerja itu tidak punya kemuliaan,” ibunya berwejangan.
Nilai kerja keras itu begitu tertanam dalam benak Pram hingga ia sendiri pernah dikutip mengatakan:”Jangan makan keringat orang lain. Makanlah keringatmu sendiri. Dan itu dibuktikan dengan kerja.”
Kalau Pram masih hidup di zaman sekarang, ia mungkin yang pertama setuju dengan semboyan Presiden Joko Widodo “Kerja, Kerja, Kerja”. Karena memang itulah cara mendapatkan martabat baik bagi diri seorang manusia atau bangsa. [bersambung]
One thought on “Pramoedya Ananta Toer: Sastrawan Blora yang Mendunia (Bag 1)”