Pramoedya Ananta Toer: Sastrawan Blora yang Mendunia (Bag 2)

pramudya_ananta_toer2c_indonesia_literary_pioneers2c_00-34

“Menulis adalah sebuah keberanian.” – Pramoedya Ananta Toer

Di tulisan sebelumnya, kita tahu bagaimana Pram menjalani masa kecilnya dan kedekatannya dengan Oemi Saidah sang ibunda. Pada perkembangan kehidupannya berikutnya, didikan ayah Pram makin keras saja. Jauh lebih keras daripada seorang guru yang tidak memiliki pertalian darah dengannya sendiri.

Kisahnya begini: usai lulus SD dan ingin melanjutkan ke MULO, Pram menemui ayahnya untuk menyatakan keinginannya itu. Apa daya. Mastoer malah menitahkan sang anak untuk kembali ke bangku kelas 7 dan belajar lagi. Insiden ini melemahkan semangat Pram untuk melanjutkan pendidikannya karena guru kelas 7 saja sudah membolehkannya naik kelas. Justru ayahnya sendiri yang seolah tidak mempercayai kemampuan Pram.

Terpukul dan stres, Pram muda akhirnya mulai beralih ke rokok sebagai pelampiasan. Rokok di Jawa sendiri sudah dikenal sebagai sarana pelampiasan stres yang meski tidak ampuh tapi bisa diperoleh dengan mudah dan bisa secara instan mengobati secara sementara kecemasan. Masalahnya tentu kondisi kesehatan yang menjadi menurun dari waktu ke waktu. Namun, saat itu rokok yang beredar bukanlah rokok putih masa kini yang sudah diberi campuran zat-zat kimiawi buatan manusia tapi rokok klobot, yang terbuat dari kulit jagung yang sudah dikeringkan dan cengkeh. Rokok jenis ini unik karena dikatakan tidak mudah padam tertiup angin atau percikan air, isapannya lebih mantap, dan menghangatkan badan dengan lebih baik bagi mereka yang ada di daerah dingin.

Kembali kepada Pram yang sedang dilanda stres karena kegagalan akademiknya, ia mulai merokok secara aktif di masa remaja awal setelah ditawari seorang temannya sebatang rokok klobot saat termenung di sebuah pemakaman. Sejak itu, tatkala menjalani proses kreatif sebagai seniman kata-kata, Pram selalu tidak bisa menjauhkan bibirnya dari isapan tembakau.

Pram pun melanjutkan pendidikan di Surabaya pada tahun 1939. Sekolah pilihannya ialah Sekolah Kejuruan Radio (Radio Vakschool). Selama 1,5 tahun ia menuntut ilmu di sana dengan tekun demi memperkaya wawasan dan pengetahuan yang terbukti akan berguna bagi dirinya yang bekerja sebagai jurnalis.

Selama di sekolah tersebut, ia tak lupa membaca banyak buku dan menonton film. Karya sastra yang paling mempengaruhinya saat itu yakni buku Honore de Balzac serta Emile Zola yang mempengaruhi gaya bertuturnya. Buku berjudul “Ngelmu” tulisan Pak Poeh juga sangat mempengaruhi pandangannya.

TANPA TANGGUNG JAWAB

Tahun 1941 ayah Pram tidak diketahui keberadaannya. Di saat yang bersamaan, Oemi Saidah didera penderitaan berkepanjangan karena kuman TBC.

Karena tidak punya pilihan lain, akhirnya Pram memilih pulang ke rumahnya untuk merawat Oemi. Untuk menyambung hidup diri dan keluarga, Pram harus berjualan tembakau dan rokok. Di tahun tersebut, kita ketahui terjadi peristiwa penyerbuan Pearl Harbor yang kolosal dan historis. Jepang di atas angin dan ijazah sekolah Pram yang diterbitkan selama era kolonialisme Belanda pun tidak dianggap sah lagi. Buntung sekali memang.

RUNTUH

Pram menelurkan karyanya yang berupa cerita anak “Kemudian Runtuhlah Majapahit” pada tahun 1942, bertepatan dengan tahun kedukaan yang hebat baginya. Dunianya sendiri runtuh setelah Oemi meninggal dunia karena infeksi TBC, disusul oleh adik bungsunya yang baru berumur beberapa bulan.

Ia kemudian pindah ke Jakarta setelah berpamitan di makam sang ibu dan berjanji untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Seolah belum cukup nestapanya, tentara Jepang yang mulai menginvasi Indonesia menemukan jurnal Pram dan memutuskan merampas hak miliknya itu karena isinya yang mengenai kisah-kisah zaman kolonial Belanda.

MENULIS

Dalam perjalanan hidupnya kemudian, Pram yang sudah tak beribu terus belajar menulis. Kemampuan menulisnya terasah terus-menerus berkat jasa pak Moedigdo, pamannya, yang memasukkannya ke sekolah Taman Siswa. Pram belajar bahasa Indonesia dengan tekun di sekolah itu.

Selain ketrampilan berbahasa Indonesia yang ia mulai tekuni tahun 1943, Pram juga mulai tertarik dengan ketrampilan lainnya sebagai pendukung kariernya sebagai penulis di masa depan. Ia belajar ketrampilan mengetik secara mandiri, tanpa guru atau ke tempat kursus selama dua pekan lamanya. Begitu sudah merasa menguasai ketrampilan mengetik cepat, Pram yakin untuk melamar pekerjaan di Kantor Berita Domei milik Jepang. Ia kemudian memang diterima sebagai juru ketik yang termasuk pegawai resmi. Tak lama ia diberi kesempatan untuk belajar ilmu stenografi di Tuo Sangi-In (dewan pertimbangan pusat pemerintah Jepang?) selama 12 bulan.

Tepat di tahun merdekanya RI, Pram masuk ke Sekolah Tinggi Islam di Gondangdia. Namun karena merasa bosan dengan pekerjaan yang itu-itu saja, ia meninggalkan Domei begitu saja tanpa pamit. Ia menjelajahi berbagai daerah seperti Blora, Kediri, hingga Ngadiluwih hingga kependudukan berakhir dengan angkat kakinya mereka dari sini. Kemudian ia ikut serta dalam pelatihan militer TKR [Tentara Keamanan Rakyat] dan ditugaskan di Cikampek.

Tahun 1946, Pram ditugaskan sebagai perwira pers dan tidak lelah menulis di surat kabar Merdeka. Saat itu ia berlega hati setelah merampungkan penulisan novel pertamanya “Sepuluh Kepala Nica”. Sayangnya, naskah novel tersebut raib entah ke mana.

Mengundurkan diri dari TKR tahun 1947, Pram ke Jakarta dan memutuskan bekerja untuk majalah Sadar (edisi Indonesia the Voice of Free Indonesia). Saat hendak mencetak pamflet untuk majalah tersebut, tak disangka ia ketiban pulung. Marinir Belanda menangkapnya dan memenjarakannya tanpa proses pengadilan yang resmi di Penjara Bukit Duri. Ia dipindahkan ke pulau Edam setelah itu.

Penjara menjadi masa produktif bagi seorang Pram karena sepanjang ditahan, ia masih bisa menyibukkan pikiran dengan membaca dan menulis agar tidak larut pada keputusasaan. Ia terus saja menulis dan tahun 1947 itu juga ia membuahkan karya baru berjudul “Perburuan dan Keluarga Gerilya” dan sejumlah cerpen dengan nama pena Pram. Profesor G. J. Resink membantunya mempublikasikan karya-karya tadi sehingga terbaca oleh pembaca di luar jeruji penjara.

Tahun 1949 menandai kebebasan baginya. Ia dilepaskan dari tahanan seiring dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Setahun kemudian Pram bekerja sebagai editor di Balai Pustaka dan majalah Indonesia. Di usia 25 tahun, Pram menikahi Arvah Iljas.

Kiprah Pram sebagai pegiat sastra makin diakui dalam lingkup nasional. Buktinya ia menerima penghargaan sastra Balai Pustaka untuk karyanya yang berjudul “Perburuan”. Ia juga bekerja sebagai editor di Balai Pustaka tetapi dalam dirinya ia sebenarnya merasa resah karena pekerjaan tersebut belum mampu memapankan kondisi finansialnya.

Pram diundang oleh yayasan kerjasam kebudayaan Indonesia dan Belanda, Sticusa, sebagai tamu kehormatan di tahun 1953. Di tahun yang sama ia menulis novel “Midah Si Manis Bergigi Emas”.

Setahun berselang, kehidupan rumah tangga Pram remuk. Ia bercerai dan harus terlunta-lunta setelah disur dari rumah di Tanah Abang. Resmi sudah ia menyandang status duda dengan 3 anak perempuan. Di tengah kekacauan kehidupan pribadi, Pram masih berupaya terus produktif dengan menulis naskah film “Rindu Damai”.

HIDUP BARU

Kehidupan baru Pram dimulai begitu ia menikahi Maemunah Thamrin, anak tokoh Betawi M. H. Thamrin. Alasan ia menikahi perempuan itu di tahun 1955 ialah karena kepribadian Maemunah mirip dengan sosok Oemi Saidah yang ulet, pengertian, suportif dan memberikannya kebebasan dalam bekerja sebagai pengarang.

Di dunia sastra internasional, Pram makin diakui. Ia beranjangsana ke Beijing setelah diundang oleh Kumpulan Sastrawan Beijing dalam rangka peringatan 20 tahun wafatnya sastrawan tenar Tiongkok Lu Xun.

Sebagai sastrawan nasionalis, Pram menyatakan dukungannya pada Demokrasi Terpimpin Soekarno, suatu langkah yang nantinya menyulitkan dirinya setelah Orla tumbang. Ia terlibat dalam pembentukan 67 delegasi seniman yang pro Demokrasi Terpimpin ini dan diangkat sebagai anggota penasihat Kemenpetera (Kementerian Tenaga Rakyat).

Keterlibatan Pram dalam negara-negara Blok Timur yang identik dengan Poros Komunis juga makin intens saat periode ini. Tahun 1958 menjadi saksi kepemimpinannya dalam delegasi Indonesia (bersama Sitor Situmorang) dalam Konferensi Pengarang Asia Afrika di Tashkent, Uni Soviet.

‘Kesalahan’ terbesar Pram selanjutnya ialah membiarkan dirinya diangkat sebagai anggota kehormatan Lekra tanpa memahami organisasi tersebut. Keputusan pengangkatan itu diumumkan di Kongres Nasional lekra Pertama di Solo. Kelak Pram harus membayar mahal atas masuknya ia ke dalam Lekra. (bersambung)



One response to “Pramoedya Ananta Toer: Sastrawan Blora yang Mendunia (Bag 2)”

  1. […] foto: Wikimedia Commons]SEBELUMNYA di bagian 1 dan di bagian 2, kita sudah tahu bahwa masuk keluar penjara sudah menjadi bagian hidupnya. Bahkan setelah ia masuk […]

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: