Buku ini dibagi dalam sembilan surat yang dituliskan Pram kepada sahabat penanya di luar negeri yang berisikan pendapat dan pandangannya terhadap masalah hoakiau di Indonesia.
Setahun berselang ia menghirup udara bebas lalu mengurus perhelatan akbar Asian African Writers Conference. Tahun 1962, Pram menjajal dunia akademik dengan menerima tawaran untuk mengajar sebagai dosen sastra di Universitas Res Republica. Ia juga mendirikan Akademi Sastra Multatuli.
Mendekati masa yang penuh guncangan politik, Pram bekerja giat sebagai penyunting di majalah Lentera di tahun 1963. Ia menganggap masa kerjanya di sana sebagai kesempatan untuk eksplorasi maksimal terhadap minatnya di dunia menulis dan jurnalisme. Bisa dikatakan masa itu ialah titik kulminasi aktivitas intelektual sang sastrawan. Di tahun 1964, ia menerbitkan buku “Sejarah Bahasa Indonesia: Suatu Percobaan” yang setahun kemudian dibakar oleh Angkatan Darat pada tanggal 13 Oktober 1965, selang sepekan lebih dari kejadian tragis 31 September 1965.
NESTAPA
Tahun 1965 merupakan awal dari penderitaannya sebagai pengarang. Orde Baru mulai menindasnya tanpa ampun. Pram dijemput paksa dari rumahnya. Ia dianiaya sampai telinga kirinya hampir saja tuli total. Tak cukup, naskah-naskahnya di rumah disita dan dihancurkan. Pemerintah Orba mengurung Pram di Alcatraz-nya Indonesia, pulau Nusakambangan.
Selang 4 tahun kemudian, Pram dipindahkan ke Pulau Buru, Maluku. Ia dilarang menulis sama sekali. Namun, karena menulis sudah menjadi bagian dari hidupnya selama ini, Pram tak kurang akal. Ia menemukan kertas pembungkus semen dan pena dan menulislah ia di atasnya kemudian menyembunyikan naskah kertas semen itu dengan cermat agar tak disita. Kegiatan menulisnya ini tak terhalang meskipun ia lelah luar biasa. Maklumlah, sebagai tapol, ia diharuskan bekerja paksa di pulau terpencil itu bersama banyak tapol lain. Tahun 1973 Pram patut sedikit berlega hati karena dunia internasional mendesak rezim Orba untuk mengizinkannya menulis kembali. Ia pun diberikan mesin ketik dan dipakainyalah alat itu untuk merampungkan Tetralogi Pulau Buru. Romo Werner Ruffing yang mengunjunginya saat itu berhasil menyelundupkan naskah Pram keluar dari Buru. Di pulau itu, Pram menjalani pengasingan selama 1 dekade.
Peran romo-romo begitu besar dalam membantu menerbitkan karya Pram di dunia luar. Romo berikutnya yang turut andil ialah Romo Alexander Dirdjasoesanta yang memberi bantuan berupa kertas dan karbon untuk menuliskan karangan Pram. Sebagian karyanya diselundupkan keluar juga oleh Romo Sutapanitra.
Karya-karyanya yang berhasil diterbitkan di luar negeri membuat Pram makin tersohor meski masih mendekam di pengasingan. Tahun 1978, ia diangkat sebagai anggota kehormatan PEN Belanda dan Jepang. Empat karyanya terbit di Eropa dan Australia. Sementara 9 lainnya ditemukan dibajak di Malaysia. Tentu ini bisa dianggap menggembirakan, dengan catatan kita meyakini bahwa imitasi merupakan wujud apresiasi dari para penggemar sejati.
Di penghujung tahun 1979, sang pengarang tak bisa menahan haru karena akhirnya dilepaskan dari pengasingan di Buru dan berkumpul kembali dengan keluarganya di jawa. Tanpa peradilan ia kembali ke rumahnya di Utan Kayu, Jaktim.
Tetapi jangan terlalu bergembira dulu karena pembungkaman belum usai. Rezim Soeharto masih menindas Pram. Karyanya “Mata Pusaran” dirampas dan ditemukan dalam kondisi tak lengkap di pasar loak Senen. Lalu di tahun 1980 saat ia mendirikan Hasta Mitra dan menerbitkan buku larisnya “Bumi Manusia” dan “Anak Semua Bangsa”, Kejaksaan Agung sebagai perpanjangan Rezim Orba saat itu mencekal dengan melarang secara terang-terangan peredaran buku tersebut.
Makin ditindas, makin getas. Begitulah Pram. Ditekan di negeri sendiri, justru ia makin mendapat ruang di luar negeri. Novel “Bumi Manusia” diterjemahkan oleh Max Lane dan diterbitkan oleh Penguin Book Australia.
Tahun 1984 Pram menyusun kamus geografi Indonesia dan memutuskan rehat dari menulis dan lebih banyak menggeluti pertanian. Ternyata bisa juga penulis sekaliber Pram merasakan kebosanan terhadap bidang yang ia sangat cintai.
Pram bertekad untuk terus menerbitkan karya-karyanya yang dibuat di Pulau Buru. Ia menerbitkan buku ketiga Tetralogi Pulau Buru “Jejak Langkah” di tahun 1985 dan serta merta disambut larangan Kejakgung lagi. Bukunya yang lain “Sang Pemula” juga turut mendapat larangan beredar dengan alasan yang sama. Bukunya yang terbit setahun kemudian (“Gadis Pantai”) juga akhirnya dicekal.
Tahun 1988, buku keempat Tetralogi Pulau Buru “Rumah Kaca” terbit dan mendapatkan PEN/ Barbara Goldsmith Freedom to Write Award. Hal itu seolah menegaskan bahwa kekuatan pena dan mesin ketiknya memang tak terhentikan oleh penindasan sekeras apapun. Setahun kemudian ia mendapat The Fund for Free Expression Award dari AS.
Meski sudah dibebaskan dari pengasingan sejak 1979, Pram hingga tahun 1992 masih dikenai status tahanan rumah. Artinya ia tak pernah diizinkan pihak berwenang untuk meninggalkan rumah. Di tahun 1992, ia dilepaskan dari kungkungan di rumah dan mendapati dirinya berubah lebih pendiam dan penyendiri. Ia juga sangat menikmati aktivitas membakar sampah.
Tiga tahun berselang, Pram masih menelurkan karya lagi. Bukunya “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” (jilid 1) diterbitkan pada ultahnya ke 70 (6 Februari 1995) namun lagi-lagi dilarang beredar di masyarakat Indonesia. Untuk kegigihannya itu ia diganjar lagi dengan sebuah penghargaan Ramon Magsaysay.
Pram melepaskan status tahanan negara dan bebas berkunjung ke luar negeri pada tahun 1999. Ia pun melawat hingga ke Belanda, Jerman dan Prancis, negeri tempat ia menceritakan karakter Nyai Ontosoroh akhirnya menghabiskan sisa hidupnya dengan keluarga barunya.
Tahun 2002, Pram kembali diundang ke acara mancanegara. Kali ini di Jerman untuk membahas isu HAM dan pelurusan sejarah. Di tahun yang sama ia mengalihkan hak cipta karya-karyanya kepada penerbit Lentera Dipantara yang dikelola Astuti Ananta Toer.
Dua tahun menjelang kepergiannya, ia memutuskan berkumpul bersama keluarganya lebih sering dan menampik berbagai kesempatan untuk berkunjung ke negara-negara lain. Di usia 80 Pram masih menulis dan menerbitkan karya nonfiksi “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” (2005) yang sarat data konkret tentang proses pembuatan jalan 1000 km dari Anyer sampai Panarukan dalam waktu setahun saja oleh Herman Willem Daendels.
Sebagai pribadi yang menarik, Pram juga memiliki akhir yang menarik. Seolah-olah mendapat firasat, ia berjalan kaki dengan uang di dalam sebuah kantong dan tiap kali ketemu orang ia bersedekah. Ia juga menyuruh cucu-cucunya menguras empang dan membagikan semua ikan di dalam empang itu kepada para tetangga. Jiwanya memang sudah lekat dengan semangat berbagi, tidak cuma berbagi kata-kata tapi juga harta dan apa saja yang ia punya. (*/)
Leave a Reply