DALAM karya-karya yang saya baca dan nikmati, entah itu buku, lukisan, atau apapun, saya selalu berupaya menemukan sesuatu yang memiliki pertalian dengan pribadi saya, masa lalu dan masa kini saya. Sering saya bisa melarutkan diri dalam sebuah buku bila saya berhasil menemukan benang merah tersebut. Seolah saya menemukan kepingan dar diri saya di dalamnya dan membuat saya terus ingin tahu sampai habis.
Seperti juga saat saya membaca buku yang ditulis sastrawan besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer yang dijudulinya “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”. Buku terbitan tahun 2005 oleh Penerbit Lentera Dipantara ini ternyata menyimpan cukilan-cukilan historis tentang kota kelahiran saya, Kudus, yang memang juga dilewati oleh proyek pembangunan jalan super ambisius yang dalam pelajaran sejarah Indonesia dikenal sebagai “Jalan Daendels”. Bayangkan saja di masa yang belum begitu modern dan belum dikenal adanya mesin-mesin berat yang bertugas memperingan beban tenaga kerja manusia, proyek tadi bisa diselesaikan dalam waktu setahun saja. Mengagumkan tetapi juga membuat trenyuh. Karena di balik kesuksesan itu tersimpan duka mendalam bagi bangsa Jawa di pulau ini, yang menjadi latar belakang etnis saya.
Buku tersebut disusun dalam sejumlah bab pendek yang dinamai sesuai kota-kota penting yang dilalui jalan Daendels, karena memang buku ini jauh lebih tipis daripada karya-karya Pram sebelumnya yang bergenre fiksi. Buku ini meskipun menggunakan gaya penuturan yang personal, lugas dan apa adanya tetap menggunakan data dan temuan sejarah sebagai landasan penceritaannya. Pram juga tampak serius menggunakan hasil-hasil wawancaranya seperti saat ia menyelidiki desas-desus penimbunan harta karun emas di sebuah tambang.
Kudus dalam buku ini disebut beberapa kali. Dua kali tepatnya. Sekali Kudus disinggung saat Pram menjelaskan pembuatan ruas jalan Demak-Kudus. Begini ia bercerita:
“Sedang waktu menggarap ruas Demak-Kudus memotong semenanjung Muria/Jepara, para pekerja berkaparan dalam meninggikan tanah di rawa-rawa Karanganyar baik karena kelelahan, perlakuan keras, maupun malaria yang berabad menghantui wilayah Karanganyar.” (Jalan Raya Pos, Jalan Daendels; 2005: hal. 26)
Menurut Pram, kondisi penuh rawa besar di sana ideal untuk tempat berkembang biaknya buaya-buaya. Saya sendiri selama ini tidak pernah sekalipun berpikir bahwa sungai penuh lumpur di Karanganyar yang saya pasti lewati bilamana harus meninggalkan Kudus untuk menuju ke Jakarta itu bisa menjadi habitat yag cocok untuk buaya-buaya. Kalaupun memang pernah ada buaya di sini, pastinya populasinya sudah turun drastis karena manusia tidak akan membiarkan mereka hidup bebas. Bisa saja hewan-hewan ini sudah ditangkapi untuk dipelihara atau diternakkan atau kalau tidak, dikuliti untuk dijadikan komoditas perdagangan.
Jalan Daendels yang melewati Demak dan Kudus juga sebetulnya hanya pengaspalan jalur transportasi yang sudah lama ada bahkan sejak merebaknya penyebaran agama Islam di abad ke-15-16 di Pantura Jawa.
Pram menyanjung Kudus sebagai kota yang “menempati mata rantai penting dalam penyebaran Islam tingkat pertama di Jawa” (hal.95). Hipotesisnya itu cukup beralasan karena di abad ke-16 Sunan Kudus yang tak cuma dikenal sebagai pemuka agama tetapi juga politikus turut berperan serta dalam roda pemerintahan Kerajaan Demak.
Si penulis meneruskan elaborasinya soal Kudus dengan membeberkan data demografisnya, yang mengetengahkan jumlah buruh perempuan di industri rokok per 1980 yang relatif besar. Perdagangan dan industri rokok memang menjadi kekuatan Kudus selama ini, dan masih kita bisa saksikan sampai detik ini. Pram merasa perlu menekankan ini mungkin karena ia sendiri adalah penggemar berat rokok kretek.
Kudus juga dikenal sebagai produsen kapuk terkemuka. Produksi kapuk mulai mengalam kemunduran saat saya lahir di tahun 1983 dan memang kapuk sudah bukan komoditas yang banyak ditemui. Kalau Anda di Pantura, mungkin Anda akan masih menemukan bantal dan guling yang diisi dengan kapuk yang mirip kapas tetapi memiliki warna lebih kuning gading dan tidak seputih kapas yang kini dianggap lebih bagus dan resik.

Untuk produksi tebu, Kudus juga memiliki pabrik gula Rendeng yang saya sudah kenal sejak lahir. Keberadaan pabrik gula ini masih ada sekarang dan sudah lama memberikan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat Kudus meskipun di saat yang sama saya juga sudah mendengar lama soal tingkat polusinya yang cukup mengganggu, misalnya jemuran yang penuh dengan abu sisa pembakaran dari cerobongnya. Pabrik ini masih berdiri tegak di Kudus.
Buku Pram yang terakhir di masa hidupnya ini bisa saya katakan sebagai buku yang bagus untuk memberikan uraian sejarah mengenai satu ruas jalan yang penting dalam sejarah bangsa ini. Namun, yang agak membingungkan adalah susunan babnya, yang pemilihannya kurang saya pahami dan mungkin hanya Pram yang bisa pahami. Ia mengawali buku dengan “Blora, Rembang” yang mungkin memiliki makna besar baginya. Hanya saja, menurut saya agak kurang sesuai karena buku ini soal Daendels dan proyek jalan yang bersejarah tersebut. Di sini Pram agak mencampurbaurkan impresi pribadinya dengan penceritaan sejarah yang akan lebih mudah dipahami bila diceritakan seacra kronologis. (*/)