MEMAKAI layanan operator Indosat selama hampir sepuluh tahun, saya jarang memiliki keluhan. Walaupun tentu sesekali ada hal-hal yang perlu diperbaiki, seperti sinyal kurang merata atau ada tempat yang mengalami ketiadaan sinyal sama sekali (blank spot), saya pikir itu wajar saja. Apalagi jika tinggal di ibukota yang penuh gedung pencakar langit ini sehingga sinyal tak mulus penerimaannya di perangkat kita. Dan ini sudah mafhum. Saya lihat di kelompok pelanggan operator lain juga sama saja keluhannya. Ada yang membanggakan sinyal merata di seluruh nusantara tapi di kantor yang lokasinya di tengah Mega Kuningan (kurang apalagi coba?) Sinyal malah ‘melempem’. Padahal kantor pusat operatornya sejarak 1-2 km dari pengguna. Ironis.
Tapi beberapa waktu terakhir ini, problem mengemuka. Sebagai pengguna layanan Indosat, saya jadi jengah juga. Masalahnya, pernah saya isi pulsa 100.000 dan membeli paket data 70.000. Saya memang tidak mau terlalu boros sebab di tempat kerja juga sudah ada koneksi wifi. Jadi, buat apa beli paket data sebanyak-banyaknya? Kebutuhan hidup saya bukan cuma data. Sisa 30.000 di saldo saya itu entah bagaimana bisa menguap tanpa tahu penyebabnya. Tidak cuma sekali. Ini terjadi beberapa kali.
Saya pun meradang di Twitter. Saya sampaikan masalahnya. Untung ditanggapi dengan baik via direct message Twitter oleh seorang petugas bernama Deli yang meminta nomor ponsel, tanggal kejadian, jumlah pulsa awal dan akhir. Untuk meyakinkan, saya kirimkan juga tangkapan layar atau screenshot dari aplikasi My IM3 yang menunjukkan pulsa saya yang nol gara-gara tindak pemotongan pulsa misterius. Kalau saya cuma 30.000, ada banyak lagi yang mengeluhkan kasus serupa. Bayangkan saja besarnya penerimaan Indosat Oreedo dari pemotongan pulsa misterius ini. Sangat tidak etis menurut saya karena saya sebagai pelanggan tidak pernah memberi persetujuan untuk layanan apapun baik via pesan singkat atau surel atau apapun. Melukai kepercayaan pelanggan tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Sebagai protes, karena saya tak berdaya, saya tidak lagi membeli paket data yang mahal. Cukup yang termurah saja. Ada 35.000 sebulan, lalu saya beli saja paket itu. Mau membiarkan nomor ini hangus rasanya mustahil karena semua relasi dan famili tahu nomor ini. Memberitahu nomor baru sungguh merepotkan. Membiarkan kasus ini berlanjut juga seperti makan hati. Akhirnya saya putuskan ‘menghukum’ Indosat Oreedo dengan memangkas anggaran untuknya.
Kebetulan saya juga sedang bosan dan sudah muak dengan media sosial yang semakin tidak karuan di masa jelang pemilihan presiden. Jadi saya berniat menggunakan media sosial lebih jarang. Seperlunya saja. Karena meninggalkan sama sekali juga tidak mungkin. Akan lebih repot lagi hidup saya tanpanya.
Entah kenapa sepertinya ada kecenderungan untuk menggenjot konsumsi data baik dari pihak operator dan penyedia layanan media sosial sendiri. Misalnya, Indosat Oreedo menyediakan paket akses gratis media sosial untuk pengguna layanannya. Hanya saja media sosial tersebut adalah media sosial yang populer di pasar RI seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Line, dan YouTube. Saya sendiri tidak habis pikir kenapa tidak turut menggratiskan layanan email Gmail atau aplikasi chat Kakao Talk. Apakah karena Gmail dipandang layanan non media sosial, sehingga bukan prioritas? Mungkin karena Gmail cuma dipakai untuk urusan kerja. Karena masa sekarang, mana ada anak milenial berkomunikasi via email? Semua bisa dilakukan di aplikasi chat. Lalu bagaimana dengan Kakao Talk yang menurut saya lebih seru daripada WhatsApp? Dugaan saya karena kurang populer itulah ia tidak digratiskan. Audiensnya juga lebih banyak orang Korsel. Hipotesis lainnya ialah mungkin pihak Facebook yang notabene memiliki Instagram dan Facebook bekerjasama secara eksklusif dengan operator untuk menggratiskan layanan. Begitu juga dengan Google yang punya situs YouTube. Kalau untuk kasus YouTube, saya pikir Google ingin menaikkan kepopulerannya lagi akibat kemunculan aplikasi layanan konten semacam Iflix dan Viu yang merebut perhatian konsumen konten multimedia di tanah air. Bayar 100.000 saja sudah bisa menonton sepuasnya sampai berbulan-bulan tanpa memangkas paket data utama pula. Menggiurkan kalau menurut saya. Tapi lagi lagi, saya tak tergiur karena menikmati konten di ponsel sama saja membuat ponsel saya lebih cepat rusak. Baterai makin boros dan layar juga bekerja ekstra keras karena penggunaan ponsel untuk aktivitas ini bisa berlangsung selama berjam-jam (contohnya untuk menonton film atau main Mobile Legend sambil ngabuburit). Selain itu, mereka juga menggratiskan akses ke layanan ecommerce seperti Bukalapak dan Tokopedia.
Semua hal itu membuat saya merumuskan teori bahwa ada skema di balik semua ini yang menggiring masyarakat Indonesia untuk lebih banyak berkegiatan di dunia digital. Bagaimanapun caranya harus digenjot karena dengan begitu tingkat konsumsi bisa terus dipacu. Dan jika tingkat konsumsi dalam negeri naik, pertumbuhan ekonomi pun naik mengikutinya. Begitu setidaknya asumsi dan proyeksinya. Tak ayal, karena masyarakat kita penyuka gratisan, kenapa tidak memberikan paket akses gratis ke layanan-layanan yang terbukti sudah menyedot perhatian orang? Ini bisa jadi suatu tindakan pemberian insentif atau stimulus kepada pelaku ekonomi digital kita baik yang dalam posisi produsen dan konsumen maupun distributor barang dan jasa. Semuanya digerakkan, diberdayakan, didorong, disokong. Dan koneksi internet dan data yang murah meriah ialah stimulan utamanya. Selamat menjalani revolusi digital dan ecommerce, warganet Indonesia! (*/)