INDONESIA menempati posisi istimewa di hati Mozilla. Meskipun di sini memang tidak ada kantor cabangnya yang resmi (yang ada ‘hanya’ ruang komunitas), Mozilla berkomitmen untuk terus memelihara keberadaan komunitas pecinta produk-produknya terutama peramban Mozilla Firefox di tanah air.
Kemarin (30 Juli 2018, Senin) saya sebagai salah satu keyholder alias relawan di Mozilla Indonesia Community Space berkesempatan tidak hanya menghadiri tetapi juga memandu acara “Branding Strategy” yang sedianya menghadirkan Mary Ellen Muckerman yang bekerja sebagai Vice President of Brand Strategy and Services di Mozilla AS sana. Di kunjungannya kali ini, ia tidak hanya menyambangi ruang komunitas Mozilla Indonesia tetapi juga berencana akan memberikan sejumlah paparan di beberapa tempat yang akan ia kunjungi di beberapa kota.
Saya sendiri tertarik dengan topik yang dibahas karena bidang pekerjaan yang kerap bersentuhan dengan dunia merek baik itu merek diri (personal brand) hingga merek perusahaan (company brands). Tetapi Mozilla adalah perusahaan yang unik karena ia bersifat nirlaba dan memiliki idealisme dan visi yang sangat berbeda dari perusahaan atau entitas internet lainnya. Keberadaan dan kegiatannya di tanah air juga sangat didukung oleh para relawan sehingga aktivitas branding rasanya tidak akan melulu soal menjual atau meningkatkan jumlah konsumen atau meraup keuntungan finansial.
Pertama-tama Mary membuka dengan bertanya pada hadirin apakah merek-merek favorit kami. Saya sendiri mengaku tidak memiliki merek yang digandrungi setengah mati. Alasan saya karena mereklah yang seharusnya memanjakan saya dan saya tidak mau menghamba pada merek. Jika merek-merek itu tidak melayani kebutuhan dan tujuan saya, kenapa saya harus membeli secara membabi buta dan terus setia? Sebagai konsumen, saya ingin kebebasan dalam menentukan.
Sebagai brand strategist, Mary mendefinisikan merek sebagai sebuah janji yang ditawarkan pada konsumen. Dalam merek, ada logo, citra, reputasi, dan kepribadian. Merek menciptakan nilai (value) bagi konsumen. Dan ini berlangsung dengan cara timbal balik. Strategi bukan hanya melulu soal apa yang harus dilakukan tetapi juga apa yang kita jangan lakukan sebagai merek.
Strategi merek dengan demikian ialah peta jalan (roadmap) dalam membuat dampak tertentu dengan merek. Di sini ada idealisme dan visi yang sepintas terkesan muluk-muluk tetapi menjadi panduan dalam bekerja.
Dalam ke Luar
Strategi merek memiliki empat pilar utama: budaya, kapabilitas (kelebihan kita), produk/ jasa yang ditawarkan, baru kemudian komunikasi (penyebarluasan pesan). Salah kaprah yang banyak ditemukan Mary ialah bahwa banyak orang menganggap branding melulu soal komunikasi. Bukan. Branding justru dimulai dari dalam diri sendiri. “It starts with who you are,” tandasnya. Kenapa demikian? Karena dengan begitu, kita bisa lebih jujur dan otentik dengan apa yang kita tawarkan pada orang lain.
Strategi merek mengharuskan kita mengetahui dengan baik apa yang menjadi keistimewaan kita sebagai merek dan apa yang dibutuhkan oleh pihak lain. Persilangan di antara keduanya adalah apa yang bisa kita persembahkan pada dunia. Kita sebut ini sebagai brand idea. Jadi, jangan asal buat produk atau jasa kalau tidak mau kita buang waktu, energi dan semuanya sia-sia begitu saja. Brand idea akan memandu kita dalam bekerja dan bergerak sebagai sebuah organisasi.
Strategi Nirlaba
Bermula dari hanya sebagai relawan, kemudian Mary menjadi bagian dari Mozilla sebagai staf resminya sejak 4 tahun lalu. Ia mengenal Mozilla sebagai organisasi yang memiliki visi dan misi yang kuat untuk menjadikan internet sebagai sumber daya publik yang aman, bisa diakses siapa saja. Di samping itu, Mozilla memiliki produk yang dikenal luas oleh publik, yakni Mozilla Firefox, yang mungkin Anda sedang pakai menampilkan tulisan di blog ini. Firefox menurut Mary menjadi produk yang sanggup mencerminkan jatidiri merek Mozilla secara nyata dan konkret.
Selama ini kita mengenal Firefox sebagai peramban (browser) yang identik dengan kesan aman, ramah pengguna, mudah dikustomisasi, dan sebagainya. Apa yang mungkin terlewatkan ialah bagaimana Mozilla memperlakukan pengguna Firefox, yakni dengan cara yang lebih egaliter. Lain dari apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan komersial raksasa yang bergerak di internet (Frightful Five) seperti Apple, Microsoft, Facebook, dan sebagainya, Mozilla tidak mengejar keuntungan finansial dan lebih mengutamakan idealismenya yang disebut Mozilla Manifesto yang ditulis 1 dekade lalu oleh pendirinya Mitchell Baker. Mozilla Manifesto baru-baru ini ditambahi untuk menyesuaikan dengan kondisi internet yang terus menerus berubah. “Mereka (perusahaan-perusahaan internet lain) harus membayar kembali para pemegang saham. Mozilla tidak memiliki tekanan seperti itu,” ujar Mary. Karena tidak memiliki pemegang saham yang harus dipuaskan ketamakannya, Mozilla lebih leluasa memanjakan pengguna mereka.
Itu dari sisi dalam ke luar. Sekarang bagaimana membawa dunia luar (baca: kebutuhan konsumen) ke dalam merek? Dengan keterbatasan sumber daya manusia di Mozilla yang hanya 1000 orang dan selebihnya diperkuat jaringan relawan yang mencapai sekitar 10.000 orang, Mozilla harus menyusun prioritasnya dalam bekerja. Mozilla mengidentifikasi jenis-jenis pengguna internet yang bersedia untuk tidak cuma memakai produk mereka tetapi juga memberikan kontribusi pada Mozilla secara sukarela demi tercapainya visi. Orang-orang ini Mozilla namai sebagai conscious users. Mereka adalah pengguna internet yang peduli mengenai isu-isu yang lebih idealis dan utopis seperti keamanan, privasi dan inklusi, bukan hanya praktis (seperti lambat tidaknya koneksi internet). Dan bagi saya pribadi, kesadaran (consciousness) adalah bagian dari yoga yang saya pelajari. Dengan bergabung ke Mozilla, saya bisa tetap sadar sebagai pengguna internet. Setelah riset di AS, Jerman dan Brazil, keluarlah angka 23% yang dikatakan Mary sebagai persentase conscious users dibandingkan jumlah warganet dunia. Dengan membidik conscious users ini saja, Mozilla bisa lebih berfokus pada pembiayaan aktivitas-aktivitas mereka. Menurut Mary, saat ini jumlah pengguna Firefox 15% dari jumlah pengguna internet global.
Karakteristik conscious users itu unik karena mereka peduli kualitas produk. Pengetahuan mereka biasanya lebih luas sehingga bisa membandingkan satu produk dengan yang lain lalu menjatuhkan pilihan secara sadar. Tidak cuma karena tren atau keterpaksaan. Mereka ini juga amat cerewet soal kontrol atas data mereka. Conscious users menjunjung tinggi kesetaraan sehingga siapa saja idealnya bisa menggunakan internet dan mengambil manfaat. Transparansi juga menjadi poin utama yang mereka cari dari produk yang dipakai. Mereka tidak suka produk dengan ‘kejutan’. Kalau ada pengguna internet yang kerap menyuarakan boikot ini atau itu, bisa jadi mereka conscious users juga. Satu ciri lain yang tak kalah menonjol ialah idealisme yang tinggi. Mereka ini gemar berbicara soal bagaimana internet seharusnya dan menjadi sosok berpengaruh di lingkaran pergaulannya karena keyakinan mereka yang kuat terhadap idealisme tadi. Pengguna jenis ini juga kebingungan saat harus memilih produk di internet karena tak semuanya transparan. Mozilla paham betul karakter tersebut.
Performance with Purpose
Kembali ke brand idea, kini Mozilla memiliki dua: kinerja (performance) dan tujuan (purpose). Dengan gagasan tersebut, Mozilla kemudian merinci kembali. Merek mereka idealnya bersifat inspiratif dan tetap bisa dilaksanakan, unik dan relevan. Dan brand idea ini menjadi penentu apa yang harus dilakukan dan jangan dilakukan Mozilla jika ingin merek Firefoxnya terus konsisten di jalurnya sekarang.
Uniknya, Mozilla meninggalkan tagline. “Anda tidak akan menemukan tagline di bawah logo Firefox,” ungkap Mary tanpa membeberkan alasan tentang strategi itu.
Mozilla mengembangkan budaya yang sangat menghargai keterbukaan dan kebebasan berpendapat.
Studi Kasus
Mary mencontohkan bagaimana Mozilla memanfaatkan momen-momen budaya seperti skandal pelanggaran privasi Facebook Maret tahun ini yang membuat gempar seluruh dunia untuk mengangkat merek Mozilla di tengah masyarakat pengguna internet sekaligus mengampanyekan misi dan visi mereka. Ia menampilkan untaian percakapan di media sosial mengenai asal muasal Facebook Container yang idenya dilontarkan salah satu staf Mozilla dan kemudian disambut oleh yang lain. Ide intinya ialah bagaimana membuat ekstensi yang bisa dipakai di Mozilla Firefox agar Facebook tidak bisa melacak kita saat menelusuri internet.
Langkah lain yang ditempuh Mozilla untuk mengangkat mereknya ialah juga dengan menggunakan petisi dalam melawan hal-hal yang bertentangan dengan Mozilla Manifesto. Begitu skandal Facebook-Cambridge Analytica pecah, Mozilla menghimpun suara publik dalam bentuk petisi daring untuk menyatakan perlawanan dan desakan agar Facebook segera berubah.
Dari segi komunikasi, Mozilla kemudian menampilkan diri di media di akhir Maret 2018 saat skandal Facebook mencapai ekskalasi di tataran publik. Menurut Mary, saat itu bahkan Mozilla bisa mendapatkan kesempatan untuk tampil di jaringan TV nasional MSNBC yang cakupannya luas untuk menunjukkan tuntutan mereka atas tindakan Facebook yang melanggar batas tersebut. Semua ini terjadi dalam waktu sepekan saja.
Dampak
Dari semua langkah yang ditempuh tadi, Mary kemudian mengukur dampak yang dihasilkan dari strategi merek yang ia lakukan seputar skandal Facebook tadi. Ia menyebutkan 4 poin penting:
- earned media,
- advocacy impact (petisi yang diikuti jutaan orang),
- product usage (jumlah unduhan Facebook Container dan pengguna Firefox naik), dan
- brand interest (minat publik pada merek Mozilla yang bisa diketahui via media sosial).
Tak cukup di situ, Mary juga mengatakan pihaknya menggunakan brand tracker di sejumlah pasar penting bagi Mozilla. Pelacakan merek yang meneliti 800 pengguna internet di tiap pasar/ negara ini dilakukan tiap tiga bulan di AS, Kanada, Jerman dan Indonesia. Keempatnya ialah pasar penting bagi Mozilla. Adapun pasar lainnya yang akan dijjajaki lebih lanjut ialah Perancis, Inggris dan India.
Indonesia Istimewa
Bisa dikatakan Mozilla menganggap Indonesia pasar yang istimewa karena ada komunitas yang sangat terlibat aktif. Komunitas ini memiliki inisiatif dalam memmikirkan solusi atas masalah yang ada dan turut membantu riset untuk pengembangan produk yang ditujukan untuk warganet Indonesia seperti Firefox Rocket yang ditujukan untuk pengguna ponsel cerdas di wilayah-wilayah yang berkoneksi internet berkecepatan rendah dan labil. Selain itu, produk ini menghemat konsumsi data kita sehingga paket data tak cepat habis, sebuah kecemasan yang khas Indonesia karena di sini paket data masih relatif mahal.
Selain Firefox Rocket, ada juga Firefox Focus yang mengutamakan privasi dan kecepatan karena tidak memuat iklan.
Mary menyatakan Firefox rocket sebagai kisah sukses Mozilla di tanah air karena tingkat retensi (penggunaan setelah unduh) relatif lebih tinggi daripada produk Mozilla lainnya di pasar lain.
Keistimewaan Indonesia ditunjukkan melalui laporan pelacakan merek Mozilla. Disimpulkan bahwa pengguna Firefox di Indonesia memiliki persepsi merek yang sangat positif mengenai Indonesia dibandingkan pasar lain di dunia.
Razia
Ketenaran merek Mozilla Firefox di Indonesia sempat meredup karena tergerus Google Chrome sekitar tahun 2010-an. Tapi kemudian pihak berwenang menerapkan razia karena ada desakan untuk melarang penggunaan produk bajakan di komputer. Komputer dan laptop di perusahaan-perusahaan pun dijadikan objek pemeriksaan. Piranti dan program bajakan dipastikan lenyap atau si pemilik mendapat denda setimpal.
Mozilla tanpa melakukan apapun ternyata menuai manisnya razia. Hal ini terjadi karena masyarakat pengguna internet di Indonesia kemudian berlomba mengganti peramban mereka dari Internet Explorer yang harus dibeli lisensinya dengan harga selangit dengan Mozilla Firefox yang cuma-cuma dan fungsinya tidak jauh berbeda.
Selain itu, kalangan penggemar TI di Indonesia memiliki Firefox sebagai peramban favorit. Dan orang Indonesia suka berbagi pengalaman mereka menggunakan produk. Jadi, saat mereka puas dengan Firefox, tak aneh pengalaman itu disebarluaskan.
Mozilla menurut Mary akan terus setia dengan pasar Indonesia dan mempertahankan pangsa pasar mereka di kisaran ideal 20-25%. “Itu karena jika persentasenya kurang dari 20%, para pengembang enggan membuat produk untuk pasar itu,” pungkasnya. (*/)
Leave a Reply