
KADANG ada hal-hal yang tidak bisa diterima oleh akal padahal terjadi benar. Seperti fenomena sebagian kaum pria yang dilecehkan oleh sesamanya. Pelecehan ini bukan semata dalam konteks verbal atau candaan. Tetapi juga sudah ke pelecehan fisik yang sangat mengganggu dan bahkan traumatis.
Parahnya karena budaya masyarakat yang masih cenderung paternalistik, kaum pria tidak bisa secara baik merespon keadaan yang di dalamnya mereka seharusnya bertindak garang terhadap si oknum peleceh. Ini karena di dalam benak mereka tidak pernah ada contoh kasus seorang pria yang merasa terlecehkan oleh pria lain. Mereka juga tidak pernah diedukasi mengenai bagaimana cara menanggapi tindakan-tindakan yang tak senonoh sesuatu yang sangat berbeda dari para perempuan yang posisinya jauh lebih rentan sejak lama sehingga mereka sudah lebih terampil soal edukasi seperti itu. Kita lihat saja di lingkungan keluarga kita, apakah kita sudah lazim menemukan orang tua yang secara sengaja mengedukasi anak laki-laki mereka jika mereka menghadapi predator atau pelaku pelecehan seksual?
Konstruksi paternalistik yang mengukuhkan ilusi bahwa pria adalah jenis superior ini kemudian melahirkan “toxic masculinity”. Di AS, merebaknya tindak kekerasan penembakan massal di sekolah-sekolah diduga juga turut dipicu oleh bom waktu ‘toxic masculinity’ ini. Secara gamblang, toxic masculinity ini merupakan “elemen maskulinitas yang mendorong dominasi pria dan mencegah pria untuk menunjukkan emosi mereka” (dailybeast). Di dalam cakupan jenis emosi-emosi itu ada juga emosi sedih dan marah yang seharusnya mereka tunjukkan setelah diperlakukan tidak senonoh oleh pihak lain. Tetapi karena banyak pria tidak melihat contohnya di dalam masyarakat sekarang ini, mereka kebingungan dan akhirnya memendamnya sebab tidak tahu ke mana harus menyalurkannya. Akhirnya semua emosi kemarahan dan kepedihan tadi terpendam, meledak dan mencederai lebih banyak pihak yang tak bersalah.
Seorang teman saya, sebut saja Y, menceritakan bahwa dirinya pernah menjadi korban dari perlakuan tidak senonoh seorang pria saat berada di dalam bu Trans Jakarta yang penuh sesak. Kondisi bus yang penuh memang sangat rawan dengan tindak kejahatan dan pelecehan semacam ini. Dan ini tidak cuma menimpa perempuan! Para pria bisa saja mendapati diri mereka digerayangi dan diremas tanpa persetujuan mereka. Dan ini bukan perdebatan ‘enak atau tidak’, tetapi lebih pada penerobosan tanpa izin ruang-ruang pribadi yang semestinya dipatuhi oleh pihak lain. Jika kaum Hawa lebih rawan dengan tindakan peremasan payudara atau bokong, kaum pria juga bisa dilecehkan jika dada, bokong, atau genitalianya disentuh oleh pihak lain tanpa persetujuan. Kasus yang menimpa teman saya ini mungkin jarang diceritakan karena pria akan malu jika bercerita soal pelecehan yang menimpanya. Dan di TKP, pria juga cenderung akan kebingungan apakah ia akan berteriak untuk bisa menghukum si pelaku atau bertindak sendiri atau membiarkan diri dan menghindar saja karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Teman saya ini berdiri dengan penumpang pria lain dan tidak pernah menyangka bahwa seorang pria di dekatnya berupaya menyentuh area pribadinya. Reaksinya saat itu tak begitu jelas, karena ia memilih untuk hanya menatap mata si pelaku dengan tajam untuk memberikannya semacam ancaman. Tetapi toh, pandangan tetap bukanlah suatu hukuman riil yang efektif. Ada peluang ia masih merasa aman dan akan meneruskan perilaku yang sama pada orang lain.
Lain lagi dengan teman saya yang lain, sebut saja F. Ia pernah dua kali menjadi korban tindak pelecehan di kendaraan umum (di kereta penuh sesak) yang ia hanya pendam saja hingga sekarang. Kejadian ini terjadi saat ia masih remaja (duduk di bangku SMP/ SMA). Ia pernah berdiri di gerbong kereta yang sesak. Di depannya seorang pria menghadap ke wajahnya dan tampak serius menatap ke depan tetapi bukan ke wajahnya. Tanpa ia sangka, ia merasakan ada sentuhan tangan yang meremas alat vitalnya. “Karena gue masih kecil, gue belum begitu paham. Kok gini? Gitu aja gue mikirnya. Gue pikir cuma nyentuh ga sengaja tapi lama-lama nggak nyaman,” kata F. Respon F saat itu ialah langsung menjauh dari si oknum. Ini karena ia merasa ada yang tidak benar dengan perilaku orang tersebut. Dan ia merasa ‘beku’, tidak ada yang bisa lakukan dalam kondisi itu. Tindakan yang masuk akal baginya adalah dengan menjauh saja. Meskipun ini bukan solusi yang final dan efektif karena si oknum bisa melancarkan perbuatannya pada calon korban lain.
Di kesempatan sial lainnya, F juga harus berdesakan dan berdiri di kereta. Kali ini ia tidak diserang dari depan sebagaimana sebelumnya. Sekarang ia diburu dari belakang. “Gue berdiri, sementara orang itu juga berdiri di belakang gue. Tiba-tiba gue rasain di pantat gue, orang itu sengaja nyentuhin burungnya ke pantat gue,” Y menceritakan pengalamannya yang pahit itu pada saya. Masalahnya ialah bagian pribadi oknum tersebut mengalami ereksi hebat dan Y merasakan seolah ia dipaksa untuk menjadi pelampiasan seksual si pria di belakangnya. Lagi-lagi, ia tidak bisa berbuat apapun selain menghindar, mencari tempat berdiri lainnya yang tidak bisa dijangkau oleh si predator seks.
Teman saya yang lain, J, menceritakan dirinya menjadi korban perlakuan tak pantas dari teman SMP-nya. Saat itu, ia berjalan di koridor sekolah dan kemudian seorang anak laki-laki di kelas lain berlari kencang ke arahnya dan tanpa disangka-sangka oleh J, anak laki-laki itu selama sedetik dua detik telah meremas kemaluan J dan terus berlari. “Setelah lanjut berlari, ia berhenti dan menatap saya, seolah menganggap tindakannya itu tidak salah, sepele dan bisa dimaklumi,” terang J kesal.
Bercermin dari semua pengalaman ini, kita semestinya mulai membuka mata bahwa:
Tindakan pelecehan bisa menimpa siapa saja.
Ini bukan soal gender; bahwa pria kebal dari tindakan semacam itu dan wanita pastilah korban. Baik pria dan perempuan bisa menjadi korban. Pelakunya juga demikian, bisa bergender pria dan wanita. Jadi, jangan sampai kita terkecoh! Dan sekarang saatnya jika Anda pria yang merasa pernah menjadi korban tindakan pelecehan semacam ini, Anda tak lagi merasa bungkam dan malu karena membuka pengalaman itu pada orang lain bisa jadi membuka kelemahan Anda juga. Jangan sampai juga pria-pria yang malu dengan pengalaman pelecehan itu membungkam diri dan menyalurkan amarah dan rasa terlukanya ke dalam bentuk-bentuk yang lebih destruktif, seperti tindak kekerasan dan membalas perlakuan serupa ke orang lain yang tak bersalah.
Kaum pria juga mesti membuka diri dengan teman-teman dekat mereka dan menanggapi cerita dan pengalaman ini dengan lebih baik. Tidak menanggapinya sebagai guyonan belaka (meskipun pada awalnya pasti sangat sulit untuk menceritakan ini tanpa adanya komentar-komentar usil dari teman yang mengira kita bercanda atau mengira kita hanya terlalu sensitif atau berhalusinasi). Bila kita dihadapkan pada seorang teman yang sudah mau membeberkan rahasianya pada kita, sebaiknya kita juga tidak menanggapi dengan sembarangan. Seolah hal serius itu merupakan bahan candaan. (*/)