“If you are not willing to see your company or your vision gets degraded at least a little bit, don’t sell your company. That’s the truth.”- Alexia Tsotsis (jurnalis teknologi dan mantan editor blog TechCrunch.com)

Setelah skandal Cambridge Analytica beberapa waktu lalu, saya menanggalkan status saya sebagai pengguna Facebook. Saya hapus akun dan tidak berniat untuk mengunggah data pribadi apapun saya lagi di sana. Dan karena sesekali memang ada desakan dari pekerjaan agar saya menggunakan Facebook, saya kemudian ‘terpaksa’ membuat satu akun baru namun begitu kewajiban profesional itu usai, saya tak berniat berkegiatan lagi di Facebook sebagaimana yang dulu saya rasakan di tahun 2008.
Seorang teman mengkritik saya sebagai orang yang kaku. Kalau saya tidak mau ketinggalan, saya harus mau terjun kembali ke Facebook (meskipun media sosial bukan cuma Facebook tapi kenyataannya dominasi Facebook memang sudah tak terbendung lagi di dunia). Tetapi bagaimanapun lemahnya kekuatan saya sebagai seorang pengguna/ konsumen, saya mesti menunjukkan sikap. Dan saya memang agak kurang ‘sreg’ dengan makin dominannya Facebook di seluruh dunia.
Dengan meninggalkan Facebook, saya mencoba beralih ke layanan media sosial lainnya seperti Twitter. Sayangnya, di Twitter kesenangan untuk menulis panjang layaknya di Facebook tak begitu bisa terakomodasi meskipun batasan karakternya sudah dikendurkan juga sebetulnya.
Lalu juga LinkedIn. Di jejaring profesional ini, tentunya hampir semuanya berbau pekerjaan. Dan memang sudah semestinya LinkedIn demikian. Sesekali saya risih juga saat menyaksikan sesama teman di LinkedIn yang mengunggah konten yang kurang profesional dan terlalu pribadi, kurang edukatif dan informatif. Bahkan ada juga yang terlalu relijius dan politis. Saya merasakan adanya perlawanan massal di LinkedIn bahwa pengguna tidak diperbolehkan menggunakannya layaknya Facebook. Kalau mau liar atau norak atau julid, lakukan saja di Facebook! Begitu kasarnya. Saya sendiri juga sangat antipati terhadap penggunaan LinkedIn selain untuk sarana berjejaring yang beradab bagi kaum profesional global.
Kemudian Instagram. Baik sebelum dan sesudah diakuisisi Facebook, jejaring sosial satu ini menjadi salah satu tempat ‘pelarian’ saya dari Facebook. Maka, saat mengetahui berita akuisisi Instagram oleh Facebook enam tahun lalu, rasanya memang agak kecewa. Hanya saja karena dijanjikan memang ada independensi bagi para pendiri Instagram (Kevin Systrom dan Mike Krieger) dalam menjalankan bisnisnya, saya menganggap Instagram sebagai sebuah ‘bisnis istimewa’ layaknya sebuah teritori bisnis spesial yang berotonomi khusus meski ada di bawah naungan perusahaan yang lebih raksasa.
Tetapi memang keistimewaan itu makin lama makin menjadi sebuah ilusi semata karena diberitakan beberapa waktu lalu bahwa Facebook terus mendesak Instagram agar mau membantunya menarik kembali para pengguna milenial dan yang lebih muda, yang sudah mulai muak dan meninggalkan Facebook karena Facebook sudah sesak dengan berita politik dan hoax yang disebarkan oleh orang-orang seumuran orang tua, paman, tante, dan kakek nenek mereka. Sebagai konsekuensinya, mereka yang lebih lemah harus mengalah. Akhirnya, Systrom dan Krieger mengundurkan diri (atau didepak?) dari Instagram (untuk lengkapnya, baca di sini). Tak cuma di Instagram, dominasi dan kekuasaan Facebook makin mengencang di sejumlah perusahaan yang mereka akuisisi seperti WhatsApp hingga menimbulkan benturan kekuasaan yang membuat mereka yang lebih lemah yang terpental. Dan untuk menggantikan para pendiri Instagram, Facebook mengirimkan para eksekutif top yang loyal pada kepentingan mereka sehingga dapat dipastikan Instagram tak akan lagi sama.
Yang menarik, setelah tersingkir dari WhatsApp, Brian Acton dari WhatsApp yang mencemaskan aspek privasi pengguna pasca kepergiannya, melontarkan kampanye “Delete Facebook” di Twitter.
Lalu sekarang apakah akan ada kampanye yang sama untuk “Delete Instagram”?
Mungkin suatu saat nanti jika itu benar-benar terjadi (Instagram benar-benar menjadi Facebook kedua), saya akan meninggalkannya. Dan kembali pada media sosial yang tetap tak tergantikan: blog. (*/)
Leave a Reply