Dari “Gemar Film Pendek #10” Kineforum

8adbfe_40d582c73e964a6bb5f122af5da6298cmv2Kalau ingin film yang sekadar menghibur, kita bisa banyak temukan di luar sana. Namun, jika ingin menonton film yang lebih menggugah dan mengilhami kita, tontonlah film-film yang tidak ditayangkan di bioskop arus utama (mainstream). Begitu kira-kira pesan yang saya tangkap setelah menonton serangkaian film pendek di KineForum siang ini. Film-film yang saya tonton ini merupakan bagian dari “Candu Daya” yang berlangsung dari 5-7 dan 12-14 Oktober 2018 di KineForum, Kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

Menonton film-film pendek ini bagi saya mirip dengan membaca cerpen. Tak panjang tetapi sarat makna dan sering memaksa para penontonnya untuk berpikir keras menebak pesan di baliknya. Karena akhir film kadang bukan akhir dari cerita itu sendiri tetapi seolah dipaksa berhenti karena kungkungan durasi. Ending yang menggantung ini cocok bagi tipe penonton yang menyukai stimulasi intelektual dalam menikmati sebuah karya seni. Bukan cuma duduk lalu disuguhi tontonan yang sudah berpola jelas, polarisasi protagonis VS antagonis yang baku, dan akhir cerita yang tertebak dengan amat mudah bahkan oleh anak TK zaman sekarang. Saya bukannya hendak menghakimi tipe penonton box office movies, tetapi produk budaya populer kadang membuat kita berpikiran sama dan berselera serupa. Di sini, film-film indie menyuguhkan ide dan konsep alternatif sebagai upaya mempertahankan keragaman ideologi dalam budaya kontemporer.

Berikut sekilas ulasan saya mengenai tiga film pendek yang saya baru saja saksikan dengan khidmat di bioskop film alternatif ini untuk pertama kalinya. Saya bukan penggemar film yang maniak jadi maklumi jika ulasan saya bersifat apa adanya dan abal-abal.

SIMBIOSIS (2015)

8adbfe_9350c6da7cf44ad8979cb7e4cd0118a1mv2

Film pertama ini berdurasi cuma 15 menit, terpendek dari dua film lain. Sutradaranya Wiranata Tanjaya. Simbiosis dibuat bukan untuk diikutsertakan dalam festival tetapi untuk memenuhi persyaratan akademis kelulusan (tugas akhir) sang sutradara dan timnya di Universitas Multimedia Nusantara. Langkah yang kreatif dan bagus untuk membuat karya akademis  menurut saya. Mirip seperti menerbitkan buku dari skripsi.

Film ini alurnya linier saja sebagaimana film-film pendek kebanyakan. Dikisahkan dua orang anak laki-laki kakak beradik mencari harta karun. Latar waktunya sangat tidak zaman digital, ditandai dengan radio analog portabel yang dibawa sang adik. Sebenarnya ini agak tidak masuk akal juga karena radio portabel bukan benda yang lazim dibawa ke mana-mana oleh seorang anak kecil. Plus, satu lagi ketidakmasukakalan lain yang saya temui di sini ialah tenda biru yang menaungi kaka adik ini saat malam hari di hutan. Saya tidak melihat mereka membawa tas besar atau apapun yang besar dan berbobot berat selayaknya sebuah tas yang berisi tenda. Ini kejanggalan yang harus dibereskan dari segi logika.

Kejanggalan berikutnya ialah peti besar harta karun yang berat bisa dibawa oleh sang adik hingga begitu jauh sampai sang kakak tidak bisa menemukannya dengan mudah. Untuk seorang anak SD yang masih berbadan mungil dan sudah berhari-hari tidak diberi makan oleh kakaknya yang egois (kakaknya di tengah perjalanan merampas berbotol-botol susu dari seorang pria dan susu itu ia simpan hanya untuk dirinya). Sepanjang film juga tak tampak adegan adik makan sesuatu sehingga logikanya ia tidak akan bisa bertahan selama berhari-hari di alam terbuka. Tapi ini kenapa ia bisa sekonyong-konyong membawa sebuah peti besar dan berat dari kayu yang kokoh (begitu kokohnya sampai kakaknya saja kesulitan membuka)? Saya agak terusik soal ini.

Namun, dari sudut pandang lain seperti pelajaran moral dari kisah kakak adik ini, saya bisa temukan satu isyarat bermakna dari percakapan penyiar radio dan sang bintang tamu yang diceritakan sudah bekerja dengan gaji tinggi di luar negeri tetapi memilih pulang ke Indonesia karena keluarga. Alasannya karena waktu untuk berkumpul dengan orang-orang tercinta tidak bisa dibeli dengan uang. Toh ia masih bisa bekerja di tanah air. Mangan ora mangan asal kumpul, begitu filosofi orang Jawa (yang juga makin luntur sekarang sebab makin banyak orang Jawa berdiaspora). Family comes first. Dan di sini, sang adik memegang teguh pemahaman tersebut (tecermin dari perkataannya soal ibu di rumah) yang kemudian disergah kakaknya yang tak mau pulang dan menganggap tempat itu adalah kebebasan. Pulang bukanlah pilihan bagi sang kakak yang terkesan egois tetapi memiliki pemikiran liberal dan jauh ke depan. Sebetulnya pergulatan ini sangat lazim ditemui di masyarakat modern Indonesia. Di sebuah keluarga pastilah ada anggota keluarga yang merantau atau merasa harus mengembangkan diri di luar zona nyaman di sekitar tempat tinggal mereka. Di sisi lain, ada juga anggota keluarga yang memilih setia di tempat kelahiran dan bagaimanapun juga sangat ingin mendarmabaktikan dirinya pada tempat asalnya. Masing-masing memiliki alasannya sendiri. Sang kakak mungkin terkesan jahat dan egois tetapi bisa jadi ia memiliki alasannya sendiri yang tidak kita tahu dari apa yang dipaparkan sutradara dalam film ini. Si adik juga belum tentu kasihan atau benar, karena ia malah mencelakakan sang kakak dengan membawa kompas itu dan mencari jalan pulang sendirian (dari awal si adik ini cukup pintar dengan meninggalkan jejak berupa topi, dasi, agar bisa pulang meski peta harta karun itu rusak terbelah dua). Ia tidak berpikir panjang bahwa diperlukan kekuatan besar untuk bisa mengarungi perairan yang memisahkan mereka dan tempat adanya harta karun itu. Jika ia saja sudah mengeluh kelelahan saat mendayung bersama kakaknya, bagaimana ia bisa sampai dengan selamat dengan hanya mengayuh sendirian di atas perahu yang tidak memiliki motor? Inilah argumen saya kenapa si adik juga tidak sepenuhnya benar. Ia memiliki sisi egoisnya sendiri juga, dan itu justru mencelakakan diri dan keluarganya yang terdekat saat itu: kakaknya.

THE FOX EXPLOITS THE TIGER’S MIGHT (2015)

8adbfe_ab7f51edbf7447d5b37939f9e5196737mv2

Lucky Kuswadi membuat film ini berdasarkan pengalamannya sebagai seorang keturunan Tionghoa di Indonesia. Film 24 menit ini berlatar belakang pertemanan dua orang anak laki-laki usia SMP bernama David dan Aseng. David ini saya duga anak pribumi dan ia anak keluarga TNI. Ayah David punya ajudan dan ajudannya ini seorang pria muda yang gagah dan tampan (diperankan Surya Saputra) dan rupanya memanfaatkan kegantengannya untuk merayu dan memeras ibu Aseng yang hidup sendirian tanpa suami. Ibunya ini meski usianya sudah jauh di atas si ajudan tetapi juga agak menyambut baik kasih sayang dari si ajudan yang mata duitan itu karena ia tak terlihat keberatan saat dipeluk dan dipuji memiliki kulit halus bak perawan oleh si ajudan. Padahal usianya sudah paruh baya dan badannya tak begitu terawat karena sibuk mengurusi toko kelontongnya yang laris manis. Uangnya banyak tetapi ia kesepian. Jadi ia menukar uang yang ia miliki itu dengan sejumput kasih sayang dari si ajudan yang kadang berkunjung sekadar untuk mengantar David menemui Aseng temannya di sekolah. Dugaan lainnya ialah sang ajudan ini memeras ibu Aseng karena ajudan itu tahu ibu Aseng menjual minuman Red Tiger yang ilegal.

Film ini bagi saya termasuk agak metaforis juga karena mungkin takut dengan sensor. Ini bisa dilihat dari penggunaan pistol (baik gesture tangan dan pistol betulan) sebagai pengganti phallus alias penis yang identik dengan kekuasaan dan patrarki yang menguasai dunia. Nuansa patriarkis juga kental dengan adegan anggota TNI yang digembleng dalam latihan fisik, wara wiri bertelanjang dada dalam sesi lari bersama atau push up dan sit up yang membuat mereka berpeluh parah. Sebuah keputusan sutradara yang relatif bijak, mengingat masyarakat Indonesia yang masih sensitif dengan isu kelamin seiring dengan menguatnya pengaruh kaum garis keras.

Bagi saya, film ini sebagai pengingat bahwa kekuasaan hanyalah sebuah dinamika, tarik ulur kekuatan dan pengaruh dari berbagai pihak sehingga bisa saja berubah susunannya kapan saja. Di film ini, mayoritas yang dominan (diwakili David) ternyata bisa dibalas oleh si minoritas submisif (diwakili Aseng). David yang seenaknya mengejek atau menekan si minoritas submisif (diwakili Aseng) akhirnya dipaksa untuk melayani Aseng secara seksual. David awalnya marah karena saat keduanya berfantasi seks bersama soal Erva Arnaz (sehingga bisa dikatakan mereka bukan anak SMP zaman sekarang), justru Aseng memfantasikan dirinya bisa menyetubuhi David juga. Tetapi ini bukan karena Aseng gay atau homoseksual, menurut saya, tetapi karena semata ia sangat geram hingga ke ubun-ubun dan ingin membalas segala dominasi David dalam kehidupannya bahkan keluarganya. Aseng yang marah mengambil pistol ayah David di rumahnya dan memaksa David untuk melakukan apapun yang Aseng inginkan termasuk membuka mulutnya dan memaksa David memuaskan hasratnya. Cuma di film Anda tidak akan menyaksikan Aseng berdiri membuka celana sembari David berlutut melakukan oral seks pada temannya yang menodongkan pistol ke arahnya. Tetapi seperti yang saya katakan tadi, si sutradara mengambil jalan tengah untuk menaruh pistol sebagai perlambang bagi phallus yang berkuasa daripada benar-benar menggunakan adegan oral seks yang berisiko membuat film menjadi kontroversial dan justru dipermasalahkan tidak berdasarkan esensi di dalamnya tapi semata-mata karena mengandung pornografi.

JOKO (2017)

8adbfe_cdf4bf7175a443949f616bf7bfa4c8b5mv2

Film ini ialah debut aktivis film Suryo Wiyogo sebagai sutradara yang juga produser film baik pendek dan panjang. Ia bahkan sempat terlibat dalam banyak produksi film dengan sutradara tersohor Indonesia semacam Hanung Bramantyo. Karena banyak berkecimpung di Yogyakarta, ia banyak bersentuhan dengan budaya lokal. Kali ini dia membahas tema yang cukup kompleks: kuasa pria atas wanita dan sesama pria. Ia juga beruntung bisa mendapuk aktor lokal berpengalaman dari Yogya sendiri sehingga kualitas karyanya terbilang baik.

Di film ini, aktor utamanya yang memerankan sebagai juragan penambangan pasir ilegal ini cukup meyakinkan sebagai seorang pria berorientasi seksual nyeleneh. Indri yang menjadi pembantu administrasi bisnis toko bahan bangunannya juga sudah tahu bahwa bosnya itu suka menggauli anak-anak laki-laki di bawah umur tetapi tampak memaklumi dan bahkan tidak berusaha menunjukkan rasa jijik atau keberatan membantu sang bos memuaskan nafsunya. Justru wanita ini yang menyarankan bosnya untuk segera merayu pemuda tanggung putus sekolah bernama Joko yang dianggapnya menarik untuk digarap sebagai korban berikutnya.

Di akhir kisah, bos toko bangunan itu tampak ingin menghabisi seorang pekerja penambangan pasir yang membuat kisruh. Bisa jadi ia adalah pekerja yang nasibnya mirip Joko, seorang pria muda yang polos dan dieksploitasi secara seksual kemudian tidak bisa menerimanya dan berupaya menggunakan dalih lain untuk menghancurkan bisnis tersebut. Kenapa? Karena di masyarakat Indonesia, tidak bakal ada yang percaya kalau laki-laki bisa diperkosa. Saat seorang laki-laki merasa dieksploitasi secara seksual oleh pihak lain dengan paksaan, tidak akan ada penegak hukum yang percaya dan aturan kita juga tidak bisa secara setimpal memberikan balasannya. Alih-alih mendapatkan keadilan, seorang pria korban kekerasan seksual justru akan memendamnya (karena masyarakat patriarkis kita juga tak pernah memberikan cara bagaimana merespon pelecehan dan penindasan seksual pada laki-laki karena secara alami semua laki-laki dianggap kebal dari tindakan ekspolitatif semacam itu). Karena itu, pria yang menjadi korban akan mencari pelampiasan lainnya agar bisa mendapatkan keadilan yang tidak bisa disediakan oleh hukum yang berlaku. Jadi meskipun sesama laki-laki, seseorang bisa ditindas secara seksual oleh sesamanya jika ada ketimpangan kekuasaan yang jauh dari kedua pihak. Dalam hal ini, bos itu lebih unggul dalam hal pengalaman dan ekonomi dari Joko yang hanya berusia 15 tahun dan menjadi pekerja kasar.

Yang patut disesalkan sehabis pemutaran film pendek ini, saya tidak bisa berdiskusi secara langsung dengan para sutradara atau penulis skenario ketiga film. Kebetulan mereka berhalangan hadir dengan berbagai alasan. Diskusi hanya dipandu oleh perwakilan dari Boemboe.org yang menjadi pihak yang memungkinkan pemutaran film ini dilakukan. Sesi ini membedakannya dari pemutaran film box office, selain harga tiketnya yang cuma Rp30.000 dan pemutaran film yang berdurasi hanya sekitar 60 menit. (*/foto-foto diambil dari Kineforum.org)

 

 



Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: