The Returning (Sebuah Ulasan Penuh Kesan)

Karena bukan jenis orang yang suka berkali-kali menonton satu film yang sama (sebagus apapun itu), akhirnya saya memutuskan menonton sebuah film yang meskipun judulnya dalam bahasa Inggris ternyata diproduksi para pelaku sineas Indonesia.

Bintang yang saya langsung kenali sudah pasti ialah Laura Basuki. Sementara itu, muka lawan mainnya yang pria kurang saya ketahui. Mungkin karena wawasan film Indonesia saya kurang banyak. Jujur, ini kali pertama saya menonton film horor produksi Indonesia setelah sekian lama. Lagi-lagi karena di jam pemutaran yang sama, saya tidak mau menonton Bohemian Rhapsody (biopic Freddie Mercury) lagi apalagi menonton film remake The Nutcracker yang klasik dan plotnya sudah tertebak. Saya berharap setidak film Indonesia ini bisa menawarkan sebuah plot yang terpilin dengan aneh dan tanpa dugaan.

Apakah film ini berhasil memenuhi ekspektasi saya tentang film dengan plot twist yang menarik?

Baca terus saja ulasan suka-suka ini.

Jadi begini ceritanya kalau saya bisa mampatkan jadi satu alinea: seorang ibu dengan dua anak mengalami tragedi dalam kehidupan rumah tangganya yang harmonis. Tak disangka-sangka sang suami yang hobi bertualang mengalami kecelakaan dan tak ditemukan jasadnya. Istri yang setia itu pun syok. Hingga 3 bulan pasca menghilangnya sang suami, ia tak bisa menerima kenyataan bahwa ia itu sudah menjanda. Janda cerai mati, tepatnya. Meski jenazah suaminya belum ditemukan, tetap saja harapan itu tipis. Anaknya yang pertama mencoba mengingatkan bahwa ayahnya sudah tiada dan ibunya mulai harus melanjutkan hidup dengan menatap masa depan. Teman dekatnya juga mengatakan hal yang sama, bahwa ia harus berhenti berharap. Dan saat ia merasakan masih adanya kehadiran sang suami, justru ia disarankan menemui psikiater karena dianggap berhalusinasi dan mengalami depresi. Semua itu ditambah dengan tekanan dari ibu mertua yang meski terlihat perhatian tetapi tidak pernah menganggapnya becus mengurus anak. Kemudian entah bagaimana suami yang sudah hilang itu mengetuk pintu rumah. Tanpa ada luka dan cedera, pria itu mengisi kembali kekosongan dalam keluarga kecilnya. Semua berbahagia. Hanya saja ada satu yang mengganjal: sang suami bukan orang yang sama. Entah kenapa ada keanehan-keanehan yang menampakkan bahwa si suami ini ada sisi gelap yang tak tersembunyi. Ia ditampilkan terlihat makan berbutir-butir apel di tengah malam. Anak-anak mereka diteror sosok kelelawar raksasa yang mirip monster di pepohonan depan rumah. Istri dan anak-anak terus bergelut dengan kejutan-kejutan yang menunjukkan keanehan-keanehan dalam diri suami dan ayah ini. Kecurigaan pun muncul: apakah ia masih orang yang sama atau bukan? Ternyata memang keanehan itu bukan tanpa alasan. Pelan-pelan suaminya menemukan sebuah altar pemujaan dengan patung manusia kelelawar. Karena tak tahu altar itu milik siapa, ia mengkonfrontasi istrinya. Mengakulah sang istri bahwa di tengah kegundahan dan kerinduannya pada sang suami, ia membuat kesepakatan dengan makhluk berkekuatan gelap. Wujudnya mirip kelelawar. Seorang pria tua ternyata secara tak diundang memberikannya kitab untuk meneken perjanjian dengan siluman kelelawar agar suaminya bisa kembali. Dan sang istri, dengan penuh semangat, melakukan hal itu agar suaminya lekas kembali, agar dapat kembali hidup bersamanya dan membimbing anak-anak mereka dan menghadapi ibu mertua yang meremehkan kerja kerasnya. Singkat cerita, sang suami dan istri bersatu padu menghadapi siluman kelelawar yang menuntut tumbal. Sang istri secara licik sudah mengajukan sang ibu mertua sebagai tumbal tapi karena kalung yang dijadikan mahar itu ternyata dihadiahkan kembali ke cucunya, akhirnya diceritakan agar sang anak selamat, si istri sekaligus ibunya merebut kalung itu dan merelakan dirinya direngkuh sang siluman kelelawar ke alamnya (yang diibaratkan berada dalam tungku pemanggang tembikar). Akhirnya, sang suami tetap hidup bersama dua anaknya.

Ekspektasi saya terpenuhi. Plotnya cukup tak terduga. Saya pikir suaminya yang jelmaan setan atau manusia jadi-jadian tetapi saya salah besar. Wajar saja, karena penulis skenario dan sutradaranya mengarahkan sedemikian rupa agar ia tampak aneh, dan bukan lagi dirinya. Saya terkecoh. Apalagi di sini ditampakkan sang istri yang digambarkan sebagai karakter yang baik, kuat, tabah, dan setia. Tetapi siapa sangka ia bisa bersekutu dengan siluman demi sesuatu yang dicintainya? Dalam hal ini, saya angkat topi untuk penulis skenarionya.

Hanya saja, ada sejumlah kejanggalan logika di situ. Pertama, sang suami dikisahkan mengalami kecelakaan tapi bagaimana ia bisa kembali dengan kondisi sehat walafiat tanpa lecet sedikit pun? Tentu kritik ini bisa ditangkis dengan jawaban bahwa ia sudah diselamatkan siluman itu dari maut. Tapi kalau untuk saya, itu jawaban yang tak logis dan terlalu instan.

Kemudian bagaimana bisa pria tua pembawa kitab itu tahu bahwa si istri ini baru kehilangan suami dan begitu ingin sekali suaminya kembali ke rumah? Janggal bukan?

Kejanggalan lain ialah akting si ibu mertua alias ibu kandung si suami. Ekspresinya saat bertemu anaknya kembali setelah berbulan-bulan tak bertemu sungguh tidak wajar. Kurang ‘dapat’, istilahnya. Jangankan berbulan-bulan tak bertemu setelah anaknya dinyatakan hilang dalam kecelakaan tragis, seorang ibu tak bertemu anaknya sehari saja sudah rindu dan terus menangis. Dan menyaksikan ibu mertua ini menyuruh sang istri menerima ‘kenyataan’ bahwa suaminya sudah mati karena berbulan-bulan tak muncul itu juga aneh bin ajaib. Bagaimana bisa seorang ibu mengatakan hal itu? Kalau ada yang seharusnya paling tidak bisa menerima dugaan kematian sang anak justru itu ialah ibu kandung. Saya curiga ini bukan ibu kandung si suami. Tetapi sang penulis skenario tampaknya tak ingin mengulik lebih dalam soal ibu mertua itu jadi asumsi ini mengambang saja jadinya.

Soal efek visual, saya juga harus katakan sudah lumayan halus. Adegan-adegan saat siluman keleawar itu muncul, cukup meyakinkan. Adegan klimaks pamungkas saat si istri direnggut secara paksa oleh siluman kelelawar itu untuk diboyong sebagai tumbal juga relatif bagus dan meyakinkan.

Terlepas dari semua itu, saya harus mengapresiasi kerja keras insan perfilman kita yang sudah melakukan yang terbaik. Akting Laura Basuki, misalnya, terbilang ciamik. Ia mampu memerankan sosok istri yang begitu setianya pada suami dan mendedikasikan diri pada keutuhan keluarganya meskipun itu artinya mengorbankan perasaan bahkan nyawanya sendiri.

Tiga bintang dari 5 yang tersedia untuk film bergenre horor ini. (*/)

Published by

akhlis

Writer & yogi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.