
Selama ini Gamalama memang sudah dikenal sebagai pegawai yang tangguh. Ketenarannya melampaui batas divisi dan jenjang karier. Dari yang cuma office boys sampai pemilik perusahaan, siapa sih yang tidak tahu sepak terjang Gamalama?
Kepopuleran itu dibuktikan terus dan terus. Misalnya saat Tino ‘main’ ke kantor pusat yang megah di pusat peradaban Indonesia, ia kerap terkesima melihat semua sekuriti di gerbang dan pintu akses masuk mengetahui nama Gamalama.
Keagungan nama Gamalama berfungsi layaknya sebuah kata sandi, bisa membuka jalan selapang mungkin ke mana-mana. Semacam itulah kedahsyatan nama besar Gamalama di lingkungan perusahaan kami ini. Sangat membanggakan dan mengharukan.
“Halo mbak Gamalama!” begitu sapa seorang penjaga gedung saat Tino dan Gamalama menapaki anak tangga menuju pintu lobi utama gedung. Tentu Tino makin mengagumi kebesaran nama Gamalama.
Gamalama tentu mendapatkan reputasi dan ketenaran itu tidak secara cuma-cuma. Karena ia membangunnya selama lebih dari 1 dekade. Artinya, itu sepertiga umurnya. Luar biasa memang dedikasinya.
Karena gayanya yang santai dan cuek, ia sempat ditegur karena minum bir sembari merokok di taman kantor.
“Mbak Gamalama, tolong nanti asbaknya….,” tegur si petugas keamanan gedung dengan was-was karena perilaku Gamalama itu sudah di luar batasan yang ditetapkan. Jika ketahuan oleh supervisor sekuriti, si petugas bisa diperingatkan dan dihukum. Karena itulah, ia menganggap serius perilaku si Gamalama yang berniat bersantai sejenak di tengah kepenatan bekerja.
“Mbak, kalau merokok jangan di sini ya,” nasihat si sekuriti dengan nada lembut. Maklum, ia tahu kegaharan Gamalama kalau dikatai sedikit kasar. Ia tidak mau menepuk air sampai mukanya sendiri basah. “Kamu ini minum di jam kerja…,” batin si petugas dalam hati, mencoba bersabar dalam menjalankan tugasnya membasmi perilaku manusia-manusia yang seenaknya di teritori tanggung jawabnya.
“Oh oke bapak…,” timpal Gamalama dengan nada sedikit genit.
“Gue kelamaan nggak jelas di kantor itu. Makanya gue kudu pindah kayaknya emang,” ujarnya lagi pada kami setelah menceritakan kejadian itu.
Cerita kegilaan si Gamalama yang berikutnya makin membikin kita mengelus dada. Begini ceritanya: suatu hari saat ia sedang penasaran dan ‘kurang kerjaan’, ia melihat sebuah alat pemadam kebakaran yang menurutnya ‘tidak beres’. Kejahilannya menuntunnya untuk menyentuh alat itu dan menarik sebuah tuas yang menurutnya ‘tidak sesuai dengan posisinya yang seharusnya’. Begitu ditarik, tidak ada yang terjadi. Cuma masalahnya telepon berdering dan seorang petugas keamanan gedung dengan panik menghubungi rekannya di lantai itu untuk buru-buru menanyakan kondisi lantai tersebut. Gamalama yang tak menyangka dan menduga akan terjadi kepanikan semacam itu, memutuskan menyelinap dan bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Rupanya meskipun di lantai itu tidak ada tanda-tanda pemberitahuan adanya api, di ruang panel pusat keamanan gedung, sinyal kebakaran diterima. Semua kehebohan itu karena ditariknya tuas tadi oleh Gamalama. Karena tidak ada api atau apapun setelah ditelisik ke seluruh sudut lantai, akhirnya diduga keras ada yang iseng menyalakan alarm. Sebuah penyelidikan pun diluncurkan oleh satuan keamanan gedung. Tentu karena di situ ada kamera pengawas (CCTV), mereka memutar ulang rekaman CCTV pada jam terjadinya insiden itu dan menemukan seorang perempuan yang menunjukkan gerak-gerik mencurigakan di dekat alat pemadam kebakaran. Akhirnya ia ‘tertangkap’ dengan bukti yang sangat meyakinkan dan mengaku bersalah. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi rekan-rekan kerjanya setelah mengetahui siapa yang membuat jantung mereka copot. Ada yang menyumpahserapahi kelakuan jahilnya, menertawakan kegilaannya, dan juga mencibir keisengannya. Kabar itu segera menyebar ke seantero gedung. Intinya, ia sudah menjadi ‘public enemy’ seisi gedung.
Sebagai karyawan dengan loyalitas dan masa kerja paling lama, Gamalama juga sudah banyak makan asam garam dalam berbagai kesempatan. Ia menceritakan bagaimana istri si pemilik perusahaan yang ‘tajir melintir’ tiba-tiba ingin supaya gedungnya di Jakarta diisi dengan lantai terakota dari negeri sombrero sana. Dengan nada ringan si istri pemilik berkata,”Kayaknya bagus nih buat dipake di gedung kita di Jakarta. Angkut dah ke sana…” Seperti itu nada kesantaian yang dipakai oleh kaum super jet set. Puluhan kontainer terakota pun dikirim segera ke Jakarta. “Kalau kalean liat (patung-patung) gajah yang diwarnai itu sebenernya diimpor dari Prancis. Ada pelukis instalasi yang mau ngangkat tema ‘saving elephants’ gituh. Terus di-bid kan..kayaknya di Sotheby’s atau di mana gitu, personal buyer-nya ibu (si istri pemilik) itu menyarankan ini patung bisa dipake di Jakarta aja…”
Gamalama menceritakan itu semua dengan nada getir, mungkin dalam hatinya membandingkan kondisi finansialnya dengan segala kemewahan bosnya. Bak lapisan terbawah bumi dan langit ketujuh.
Keluarga pemilik bisnis ini punya keyakinan bahwa angka 9 adalah angka keberuntungan dan karena mereka punya uang, mereka wujudkan kepercayaan itu dalam penataan hunian megah mereka di negeri Paman Sam. Sebuah ranch di kawasan terpencil dibeli dan di dalam hamparan lahan seluas belasan hektar, mereka mendirikan 9 club houses dengan sebuah danau pribadi di tengahnya. Seakan belum cukup, ada juga papan catur raksasa dengan bidak seukuran manusia remaja. (bersambung)