
Selamat datang di tahun 2019!
Tahun politik yang begitu gegap gempita di Indonesia. April nanti kita semua akan merayakan pesta demokrasi yang menyedot perhatian dunia. Apakah Joko Widodo akan bertahta kembali atau akan ditumbangkan oleh Prabowo? Pertarungan sengit mungkin akan terjadi kembali.
Tetapi di samping semua kericuhan politik itu, kita juga akan dihadapkan pada pemilu legislatif yang rencananya akan digelar tanggal 17 April 2019 juga, bersamaan dengan pemilihan presiden. Taktik menghemat biaya? Mungkin juga.
Yang menarik ialah ada banyak parpol yang mengajukan calon legislatif yang memiliki rekam jejak ternoda sebagai pesakitan kasus korupsi di masa lalu mereka. Hal ini memang sempat menjadi polemik beberapa waktu lalu, perihal etis tidaknya seorang bekas tahanan korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif negeri ini.
Kalau Anda bertanya pada saya, tentu ini sebuah fenomena yang memprihatinkan. Entah kenapa bisa diloloskan peraturan semacam ini di negeri kita. Apakah kita begitu kekurangan manusia yang bisa dijadikan caleg sampai harus menerima kembali orang-orang yang sudah jelas terbukti secara meyakinkan di depan hukum bahwa mereka melakukan sebuah tindakan yang merugikan orang banyak dan melanggar hukum? Jelas ada diskriminasi. Bayangkan saja Anda rakyat jelata yang ingin melamar pekerjaan dan Anda diwajibkan menyertakan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian yang sebelumnya disebut Surat Keterangan Kelakuan Baik). Jika rakyat yang mantan napi saja harus mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan di sektor formal, ini kita malah memberikan celah bagi mantan napi yang dari golongan elit untuk kembali ke jajaran atas lagi! Sangat memprihatinkan.
Karena itu saya ingin menuliskan ini sebagai bentuk keprihatinan mendalam pada lolosnya mantan-mantan koruptor ini.
Mengutip dari laporan Kompas.com, ternyata dari 16 parpol peserta pemilu 2019, hanya 3 yang menyodorkan para caleg yang memiliki rekam jejak bersih dari tindak korupsi. Partai-partai ini ialah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan PSI (Partai Solidaritas Indonesia).
Berikut ini adalah daftar partai politik yang kekurangan kader bersih karena masih saja mengajukan para caleg yang mantan koruptor (sumber:Kompas.com). Menurut Tribunnews.com, jumlah total caleg korup ini ada 38 orang dan tersebar di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota juga.
Partai Gerindra
Mohamad Taufik, dapil DKI Jakarta 3
Herry Jones Kere, dapil Sulawesi Utara
Husen Kausaha, dapil Maluku Utara
Alhajad Syahyan, dapil Tanggamus
Ferizal, dapil Belitung Timur
Mirhammuddin, dapil Belitung Timur
PDI-P
Idrus Tadji, dapil Poso 4
Partai Golkar
Hamid Usman, dapil Maluku Utara 3
Heri Baelanu, dapil Pandeglang
Dede Widarso, dapil Pandeglang
Saiful T Lami, dapil Tojo Una-Una
Partai Nasdem
Abu Bakar, dapil Rejang Lebong 4
Edi Ansori, dapil Rejang Lebong 3
Partai Garuda
Julius Dakhi, dapil Nias Selatan
Ariston Moho, dapil Nias Selatan
Partai Berkarya
Meike Nangka, dapil Sulawesi Utara 2
Arief Armaiyn, dapil Maluku Utara 2
Yohanes Marinus Kota, dapil Ende 1
Andi Muttamar Mattotorang, dapil Bulukumba 3
PKS
Maksum DG Mannassa, dapil Mamuju 2
Partai Perindo
Samuel Buntuang, dapil Gorontalo 6
Zukfikri, dapil Pagar Alam 2
PAN
Abd Fattah, dapil Jambi 2
Masri, dapil Belitung Timur 2
Muhammad Afrizal, dapil Lingga 3
Bahri Syamsu Arief, dapil Cilegon 2
Partai Hanura
Midasir, dapil Jawa Tengah 4
Welhelmus Tahalele, dapil Maluku Utara 3
Ahmad Ibrahim, dapil Maluku Utara 3
Warsit, dapil Blora 3
Moh Nur Hasan, dapil Rembang 4
Partai Demokrat
Jones Khan, dapil Pagar Alam 1
Jhony Husban, dapil Cilegon 1
Syamsudin, dapil Lombok Tengah
Darmawaty Dareho, dapil Manado 4
PBB
Nasrullah Hamka, dapil Jambi 1
PKPI
Matius Tungka, dapil Poso 3
Joni Cornelius Tondok, dapil Toraja Utara
Bisakah mengenali koruptor?
Nah, saya menemukan temuan sebuah studi yang mengatakan bahwa sebenarnya kita bisa memprediksi apakah seorang politisi jujur dan bersih atau korup hanya dengan memandang foto mereka. Semudah itukah???
Tim peneliti di balik studi yang dilakukan California Institute of Technology dan hasilnya dipublikasikan pada 12 September 2018 itu menyatakan bahwa subjek penelitian dapat membedakan politisi jujur dari yang kotor dengan hanya melihat potret mereka.
Bagaimana kita bisa mendeteksi kejujuran seorang politisi dengan hanya memandang wajahnya?
Begini penjelasannya: Saat subjek penelitian diperlihatkan sejumlah foto yang memuat wajah politisi yang tidak mereka kenal sebelumnya, mereka justru bisa memberikan penilaian yang lebih baik mengenai bersih tidaknya si politisi. Subjek dapat membuat perkiraan ini bahkan tanpa tahu apapun mengenai karier sang politisi. Dan yang menarik, para politisi itu makin bisa diendus keculasannya jika wajah mereka makin lebar.
Yang dimaksud lebar di sini adalah rasio tinggi dan lebarnya wajah. Lebar wajah memang di stdui lain sebelumnya dikaitkan dengan perilaku agresif pada kaum laki-laki. Dengan kata lain, pria yang memiliki wajah lebih lebar memiliki kecenderungan untuk bersikap agresif dan intimidatif dibandingkan para pria yang memiliki wajah yang lebih sempit/ tirus. Studi lain juga menunjukkan bahwa ada persepsi bahwa pria yang berwajah lebar dianggap sebagai ancaman daripada mereka yang lebih tirus.
Kesan pertama ini rupanya berguna sekali dalam mengasah intuisi kita dalam mengenali koruptor. Mungkin sulit dipahami mengapa ini bisa terjadi tetapi menurut Chujun Lin (mahasiswa Caltech sekaligus salah satu anggota tim penelitian) tidak diragukan lagi bahwa manusia membentuk kesan pertama dari wajah seseorang. Itulah mengapa situs media sosial menggunakan foto profil sebagai pengenal. Namun, tentu saja tidak semua orang yang memiliki wajah yang lebar pasti korup.
Dari situ kemudian saya mencoba mengkritisi bahwa meskipun temuan ini bisa dikatakan ilmiah, masalahnya ada unsur subjektivitas di sini juga, yang pastinya tidak bisa memprediksi secara akurat apakah seseorang memang korup atau bersih.
Sehingga kalau mau benar-benar objektif, kita bisa menggunakan tren teknologi terkini, yakni Artificial Intelligence (AI) sebagai instrumen peramal korupsi. Dari sebuah hasil riset yang dilaksanakan tim peneliti dari University of Valladolid (Spanyol), diketahui bahwa sekarang telah berhasil dibuat sebuah model komputer berdasarkan pada jaringan syaraf yang memberikan prakiraan mengenai lokasi tempat ditemukannya kasus-kasus korupsi plus informasi kondisi yang memungkinkan hal itu terjadi. Sistem pemberi peringatan ini mengkonfirmasi bahwa probabilitas tersebut akan meningkat saat partai politik yang sama duduk di pemerintahan lebih lama.
Cara lain untuk memerangi korupsi di negeri ini ialah dengan memberdayakan para politisi perempuan. Pernyataan ini bukan semata-mata hipotesis tanpa dasar tetapi sudah ditegaskan oleh temuan sebuah studi ilmiah dari Virginia Tech yang dipublikasikan tahun 2018. Studi yang dilakukan oleh peneliti Chandan Jha dari Le Moyne College dan Sudipta Sarangi dari Virginia Tech ini menyatakan bahwa dari analisis lintas negara yang meliputi lebih dari 125 negara, diketahui bahwa korupsi lebih rendah di negara-negara yang komposisi DPR-nya memiliki lebih banyak anggota perempuan. Ini mungkin bisa menjadi alasan untuk memilih para politisi perempuan yang bersih agar bisa masuk menjadi bagian badan legislatif kita. Jadi, agar bisa mewujudkan Indonesia yang lebih bersih, cobalah memilih caleg perempuan yang memiliki rekam jejak bersih pula. (*/)
Referensi:
https://www.sciencedaily.com/releases/2018/09/180912144411.htm
https://news.detik.com/berita/4221480/ini-38-eks-koruptor-yang-masuk-daftar-caleg-2019
Sumber foto:
Kompas.com (Foto Moh. Taufik)
KlikNews.net (Foto Herry Johny Kereh)
Tribunnews.com (Foto kolase caleg)
Leave a Reply