Pernah tidak kamu bertanya ke petugas kondektur dan sopir bus transjakarta begini:”Pak/ mbak/ mas, kalau situ mau buang air, solusinya gimana?”
Saya belum pernah bisa mengumpulkan keberanian untuk melontarkan pertanyaan yang terkulum di lidah selama beberapa lama ini.
Pertanyaan ini wajar saja karena selama sejarah saya menaiki bus TJ, tidak pernah saya menemukan seorang petugas yang berdiri membungkuk dan memegang-megang pinggang sambil berteriak histeris:”Brentiiii pirrr, aye mo berakkk/ kencinggg!!!”
Padahal kondisi dalam banyak bus TJ tergolong dalam kategori dingin yang tidak wajar. Pendingin udaranya dengan ganas merambah seluruh bagian tubuh sampai merasuk ke sumsum tulang dan membuat kandung kemih keluberan air seni. Kalau tak terbendung lagi, ambrollah katup-katup pertahanan dan harga diri.
Urusan air seni sering membuat perjalanan menjadi agak kurang nyaman. Pernah suatu ketika saya naik taksi bersama rekan kerja ke sebuah hotel di Jakarta Utara untuk meliput sebuah acara seminar. Perjalanan darat yang cuma belasan kilometer dari kantor itu berujung petaka. Begitu taksi masuk ke jalan Gunung Sahari, lalin berubah super seret bak nasi aking yang ditelan secara paksa di tenggorokan kering. Kejengkelan karena terlambat sampai lokasi acara makin memuncak tatkala air di perut ingin keluar segera. Ditahan, semenit, dua menit. Bisa. Berpura-pura normal, masih bisa. Begitu memasuki menit ke 10, 20, 30, akhirnya pertahanan mulai luruh. Kecemasan karena tak sampai ke lokasi berubah menjadi kecemasan karena tak kunjung menemukan toilet. Tapi karena tidak realistis untuk menemukan toilet yang bisa dimasuki di tengah permukiman dan perkantoran padat, saya terpaksa menurunkan standar sampai ke pepohonan besar atau semak-semak. Di sini, saya merasa amat beruntung terlahir sebagai seorang laki-laki di masyarakat patriarki. Buang air kecil dan besar tak wajib di toilet, apalagi di kondisi darurat. Saya putuskan segera mengumumkan pada rekan kerja saya dan sopir taksi bahwa saya harus memenuhi ‘panggilan alam’dan segera menggunakan hak prerogatif sebagai pria untuk berdiri menghadap pohon dengan risleting celana terbuka. Begitu taksi tersendat dan di samping ada pohon besar, saya bergegas membuka pintu taksi dengan beringas, dan berdiri dengan khusyuk menghadap pohon tadi sembari berdoa agar taksi itu tak begitu cepat melaju menjauh. Menghembuskan napas lega yang panjang, saya segera menutup apa yang harus ditutup lalu membayangkan diri saya sebagai sprinter kaliber dunia Usain Bolt yang melayang dengan kayuhan kedua kaki jenjangnya ke depan mengejar taksi. “Fiuh, masalah sudah teratasi!” Senyum saya ke rekan kerja yang kebetulan perempuan. Saya mendengar dengusan irinya. Saya menatap ke depan. Lega dan jumawa.
Masih soal buang air di tengah perjalanan, saya pikir orang-orang yang bekerja jauh dari kantor mereka di Jakarta dan sekitarnya pasti sedikit banyak tahu rasanya menahan berak atau kencing sampai rasanya ingin memaki-maki seluruh orang di sepanjang jalan. Saya duga orang yang suka memencet klakson dengan gila-gilaan adalah mereka yang tergopoh-gopoh hendak ke rumah untuk melepas hajat.
Untuk mengatasi hal ini, ternyata ada orang yang dengan cerdas merancang sebuah produk yang cukup berfaedah untuk membuang air di tengah perjalanan. Foto produknya ada di atas. Saya sendiri cukup terkejut ada produk seperti itu yang diiklankan secara terang-terangan di situs belanja online di penghujung tahun lalu.
Alatnya sendiri cukup sederhana konsepnya. Tidak ada yang baru. Saya sendiri juga sudah pernah menggunakan botol air mineral untuk menampung air seni. Tapi memang bedanya, yang ini lebih ‘pas’ sehingga risiko tumpah (bayangkan saja) saat buang hajat akan minimal. Sayangnya, lagi-lagi ini pispot yang sepertinya cuma bisa dipakai oleh kaum Adam. Dan tetap saja, Anda mesti memastikan supaya air buangan mengalir sempurna ke dalam botol, bukannya tumpah ke celana. Dan ini sungguh sangat sulit apalagi jika ada di posisi duduk di mobil. Dan yang terpenting, alat ini cuma bisa dipakai saat pemakainya sendirian untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, atau jika ada orang lain di mobil itu, harus meminta izin agar tidak timbul kecanggungan dan ketidaknyamanan dalam hubungan selanjutnya. Menggunakan alat ini tatkala di mobil yang sama-sama ditumpangi pria mungkin bukan kendala. Tinggal buka resleting, cari posisi, alirkan. Lain halnya jika bersama dengan kenalan atau teman wanita. Saya yakin Anda akan mengangguk antusias, mengamini saya.
Saran saya untuk memperbaiki kinerja alat ini ialah dengan membuat botol penampung berdiri tegak lurus, bukan miring seperti yang ada di foto di atas. Karena jika miring, lalu tumpah ke celana, tamat riwayat kita.
Untuk itulah kenapa kaum Hawa sangat perlu untuk tinggal di dekat tempat kerja mereka. Supaya tidak seperti teman saya, yang saban hari bolak-balik ke tempat tinggalnya di pinggiran Jakarta hanya untuk menumpang tidur dan pagi buta kembali ke kantor. Dan sialnya karena jalur kantor dan rumah adalah jalur neraka yang dilewati proyek pembangunan infrastruktur transportasi massal Jakarta, ia pun kerap terjebak macet. Dan seperti jutaan orang yang terjebak macet di Jakarta, ia harus menahan kencing. Dan karena ia perempuan Indonesia yang beradab dan risih buang air di toilet umum (apalagi di semak-semak atau pepohonan pinggir jalan), tentu tak bisa ia sembarang jongkok dan melampiaskan ‘panggilan alam’. Alhasil, ia divonis dokter terkena radang saluran kemih. Yah, ia menyerah kalah dengan lalu lintas Jakarta dengan menyewa sebuah kamar kos mahal di dekat kantor. Kini ia cuma pulang sepekan sekali atau saat ada keperluan mendesak saja. (*/)
Leave a Reply