MENDUNG menggantung. Membuat murung dan ‘kemrungsung’. Siapa yang mau di tengah jalan pulang ke rumah tertimpa titik-titik air yang bisa meresap ke dalam tas yang berisi harta benda terutama gawai berharga yang selalu jadi kesayangan? Kendaraan-kendaraan bermotor lalu lalang, mengantar penunggangnya ke tujuan dan tempat penaungan. Sebagian sudah mengenakan jas hujan, penuh kewaspadaan dengan langit yang makin pekat dan hujan yang mengintai dari balik awan tebal abu-abu yang bergulung-gulung memayungi kami semua. Siap runtuh.
Saya tidak terkecuali. Sore itu saya juga tergopoh-gopoh ke sebuah halte bus di dekat tempat kerja. Duh, tanpa payung di tas, saya tahu saya akan kuyup begitu hujan mendera bagian Jakarta yang saya pijaki.
Cemas dengan kondisi cuaca, saya memutuskan tak lagi menunggu bus yang ketibaannya tak tahu kapan. Isu laten di negeri berflower ini (sejujurnya kurang paham artinya tapi karena sedang ‘hype’, pakai saja).
Solusi yang terpikir ialah ojek online yang bisa segera dipanggil. Hanya saja mengingat tiada jas hujan bersama saya, saya harus segera dapat dan melesat. Ibu jari mengetuk buru-buru layar ponsel, memesan kendaraan sewaan dwiroda lewat aplikasi nan modern.
Yes, dapat juga!
Namanya sebut saja Rohim. Saya memesannya lewat aplikasi milik korporasi manca yang berwarna dominan hijau itu. Lalu dengan cekatan, saya mengetikkan beberapa kata petunjuk keberadaan saya. Saya sebut nama halte itu dan mengharap ia segera menuju ke sana. Tanpa buang waktu.
“Pak, bisa agak ngebut nggak? Takutnya kehujanan,” Ketik saya panik karena rintik menitik di trotoar. Makin lama makin sering dan besar dan kentara.
“Wah, saya nggak mau ngebut. Sayang nyawa.” Rohim mengetikkan balasan. Tentu versi aslinya diketik dengan cara yang lebih serampangan. Tak peduli tata cara penulisan tetapi untung tetap bisa menyampaikan pesan sang komunikan.
Pertama-tama, reaksi saya tentu salut dengan apresiasinya atas nyawa dia dan saya sebagai penumpang. Jarang sekali saya menemui tipe begini. Biasanya yang ada, tidak disuruh mengebut, ambil inisiatif sendiri untuk itu. Sampai saya kewalahan mengendalikan hasrat untuk sesegera mungkin cepat sampai. “Baik pak. Nggak papa. Pelan aja. Saya tunggu.” balas saya lagi, menandakan ketidakkecewaan saya atas sikapnya. Saya tetap mau memboncengnya.
Namun, apresiasi dan kekaguman itu meluntur begitu pengemudi ini mengirimkan deretan kata berikutnya:”Cancel aja pak. Saya sudah nggak mood.”
(((N.G.G.A.K. M.O.O.D)))
Entah kenapa saya terkejut karena saya tak menyangka perbendaharaan kata seorang sopir gojek mencakup kata “mood”. Saya tidak menyepelekan arti pekerjaan mengemudi ojek. Cuma, baru kali ini saya ditolak dengan alasan ‘nggak mood’. Alasan menolak bekerja karena ‘nggak mood’ ternyata berlaku pula di luar dunia seni kreatif termasuk tulis menulis seperti yang saya tekuni. Sering saya dan teman-teman sesama penulis dan narablog berdalih ‘nggak mood’ memperbarui blog karena butuh ilham. Saya juga paham. Tetapi pernahkah Anda menemukan pengemudi ojek dengan tegas menolak tawaran pekerjaan dengan alasan ‘nggak mood’? Kalau saya sih, baru kali ini.
Terus terang, di halte itu tanpa sadar saat saya membaca balasannya, mulut saya menganga.
Sekonyong-konyong, pengemudi ini sukses membuat saya merasa menjadi seperti orang paling ugal-ugalan yang tidak peduli keselamatan diri dan orang di sekitar. (*/)
This blogpost was sent from my BlackBerry 10 smartphone.
Leave a Reply