
Pernah saya menerima hadiah televisi, saya terima tetapi saya berikan pada anggota keluarga. Bukan karena sok gaya. Cuma buat apa? Semua berita bisa diakses lebih cepat melalui internet. Dan saya juga ingin menghindari menonton berita dan konten televisi yang destruktif bagi pikiran dan jiwa.
Sebagai pelaku industri konten, saya tahu sedikit banyak betapa murahnya konten sekarang diproduksi. Hampir semua situs berita bahkan media cetak dan televisi menjelma sebagai pabrik konten yang terus berlomba dalam meraup laba. Idealisme tersisih.
Dari pengalaman saya memproduksi konten daring dan buku, jelas memproduksi konten daring seperti artikel blog seperti yang Anda baca sekarang adalah amat murah. Tinggal pakai modal waktu, gawai, koneksi internet dan klik ‘publish’.
Membuat buku, sebaliknya, sangat panjang dan melelahkan prosesnya. Satu buku saja bisa hampir setahun mengerjakannya sampai tuntas benar, dari perumusan ide awal, penggodokan, penyusunan anggaran dan tetek bengek, wawancara, transkripsi, penyuntingan, fact checking, percetakan, penerbitan, sampai promosi dan penjualan. Itu garis besarnya saja. Belum hal-hal lain yang lebih rinci.
Menjelang perhelatan politik seperti sekarang, saya juga makin malas baca berita atau mengunjungi situs berita daring. Semuanya punya kepentingan. Bahkan yang terlihat idealis dulunya sekalipun sudah mulai ditunggangi. Kesal memang rasanya.
Kadang-kadang alih-alih membaca berita murahan dengan judul clickbait, saya membaca komentar-komentar di bawahnya. Ada yang berkata,”Berita nggak mutu. Gini aja jadi berita!” Yang lain menimpali:”Ya kan konten ginian yang didemenin masyarakat.” Konteksnya adalah video anak muda yang mempreteli kendaraan roda dua pacarnya di depan polisi gara-gara tak punya surat-surat. Uniknya ada netizen waras yang berkomentar,”Bukan demen, tapi banyakan kontennya emang ga mutu.” Lalu yang satunya menyampaikan pendapat:”Ya kalau nggak mutu jangan diklik. Itu satu-satunya cara supaya situs-situs itu nggak bikin konten nggak mutu.”
Saya sepakat.
Tapi netizen edan lain berkata,”Ya namanya manusia, penasaran lah liat judul aneh, merangsang, sinting!”
Jawaban itu menyiratkan ketakutan yang bernama FOMO, Fear of Missing Out. Ketakutan jika dianggap ketinggalan, begitu lugasnya. Takut dianggap dungu saat ditanya rekan kerja saat berbicara soal topik terbaru atau video viral terkini atau foto terkeren selebgram di saat berlibur.
Saya suka dengan kutipan dari fs.blog ini:
“Apa yang kau baca di dunia maya saat ini tidak ada gunanya. Semua itu tidak berguna bagi hidupmu. Tidak juga bisa membantumu membuat keputusan yang lebih baik. Tak juga akan membantumu memahami dunia. Tidak pula membantumu mengembangkan hubungan yang mendalam dan bermakna dengan orang-orang di sekitarmu. Yang cuma bisa terjadi ialah perubahan suasana hati dan mungkin perilaku.”
Saya menganalogikan mengonsumsi berita saat ini sebagai seorang penikmat nasi padang yang tanpa sadar dikurung di restoran padang. Ia terus melahap nasi padang siang malam sampai tidak tahu ada jenis makanan lain yang tak kalah lezat di dunia ini. Ia merasa sudah menjelajahi dunia kuliner hanya dengan mencicipi semua yang ada di daftar menu restoran.
Satu-satunya cara bisa keluar dari lingkaran setan ini ialah dengan membaca buku-buku yang ditulis oleh mereka yang terbukti memberikan kontribusi pada peradaban. Bukan artikel-artikel clickbait atau konten media sosial yang viral bukan main itu. Atau lakukan hal-hal yang signifikan bagi perkembangan diri kita di dunia nyata.
Karena kualitas hidup kita ditentukan sedikit banyak oleh cara kita menghabiskan waktu luang. (*/)
Sent from my BlackBerry 10 smartphone.