Jadi siang itu kami menuju ke kantor Pajak terdekat. Lengas sekali udara siang itu. Mendung merundung tapi tidak sejuk dan tidak pula hujan.
Saya masuk dengan kepercayaan diri yang dibuat-buat, untuk menutupi ketakutan saya bahwa urusan tahunan perpajakan ini tidak akan berbuntut panjang.
“Semoga langsung kelar sejam aja,” batin saya begitu pintu terbuka.
Kantor Pajak satu ini cuma segelindingan arah utara dari tempat kerja sehingga saya mau tidak mau menyerahkannya sebelum bulan berganti April, yang mana bisa berarti saya dikenai denda. Tidak!!!
Berbekal pengalaman bertahun-tahun lalu yang kurang mengenakkan soal pelaporan SPT ini, saya pun merasa stres. Entah kenapa. Ada rasa tidak percaya dengan segala birokrasi Indonesia.
Tetapi dengan segala reformasi yang dilancarkan Menteri Keuangan sekarang, saya menaruh banyak harapan agar proses ini menjadi lebih nyaman dan cepat. Itu artinya, saya tak mau mengantre lama; saya malas mengisi formulir yang rumit dan susah dipahami; saya mau otomatisasi dan kepraktisan.
Karena belum memiliki E-Fin, saya diarahkan ke loket di lantai dasar untuk mendaftar. Cuma semenit mengisi formulir lalu keluar nomornya yang bisa segera diaktivasi via email dan bisa melaporkan SPT di lantai 4.
Saya bergembira bisa mendapatkan E-Fin karena untuk selanjutnya saya tak akan perlu lagi ke kantor pajak seperti ini.Cukup duduk manis di kantor atau di mana saja, ketik dan klik sana sini dan urusan beres.
Begitu masuk ruangan pelaporan SPT secara elektronik, saya menemukan beberapa meja yang dipenuhi orang dengan komputer yang terpasang.
Karena saya baru saja membuat E-Fin, saya harus aktifkan dengan mengirim konfirmasi via email dan baru bisa menggunakannya sebagai alat untuk melaporkan SPT saya tahun 2018.
Sampai titik ini terasa mudah. Saya masih belum lega.
Di setiap meja ada petugas pemandu. Teman-teman saya mengisi dengan panduan mereka, sementara saya agak sial karena didampingi petugas wanita yang lebih banyak memandangi layar ponselnya daripada siap sedia memandu saya dalam proses ini. Dan bukan cuma itu, saya ditinggalkan beberapa menit dan terpaksa mengira-ngira pengisiannya formulir elektronik itu sendiri.
“Duh gimana nihh?!!” keluh saya. Ya, sudahlah, saya isi sebisanya.
Begitu saya sampai di lembar terakhir, ia masuk dan duduk di sebelah saya lagi dan barulah saya pastikan saya bisa mengakhiri proses ini dengan damai. Saya cari tombol KIRIM di bawah. Dan ternyata harus ada proses verifikasi lagi yang dikirim ke email. Bentuknya nomor token yang dikirim secara real time, dan saya yang sudah tak sabar, menunggu token itu. Tapi semenit dua menit berlalu sampai 10 menit berlalu dan si petugas keluar masuk lagi, token itu tak kunjung muncul di kotak masuk surel saya. Sial benar!
“Lho kok bisa gitu? Tadi gimana ngisinya?” keluh si petugas.
“Lhah, mana saya tahu juga? Siapa suruh tadi saya ditinggal-tinggal?” gumam saya dalam hati.
“Itu alamat emailnya bener kan? Yang tadi dibuat daftar? Yakin?? Kok nggak masuk??” si petugas memberondong saya dengan pertanyaan yang bernada memojokkan.
Sampai saya periksa kotak spam dalam akun surel saya, dan tak kunjung ada email baru jua!
Saking stresnya, ia mencermati lagi peringatan di halaman terakhir dan melacak mundur lembar formulir elektronik yang sudah saya isi.
“Nah, ini kolom harta nggak diisi!” ia berkomentar.
Mampus!
“Udah dikira-kira aja berapa tabungannya,” ucapnya dengan nada tak sabar, mengira bahwa saya akan benar-benar berusaha mengingat angka saldo dalam rekening bank saya.
Saya, yang tak kalah tak sabarnya dengan dia, kemudian mengetikkan dengan secepat yang saya bisa.
“Nah, baru klik itu,” ia mengarahkan.
Grhh..
Saya klik tombol yang ia maksud untuk mengirimkan token ke email saya dan voila! Token itu muncul di email saya dan secara resmi sumber stres tahunan ini berakhir manis!
Sebagai penutup, saya harus memilih “Puas” dan “Tidak Puas” di laman yang memuat pertanyaan tentang mutu layanan.
“Puas ya…,” petugas itu setengah menginstruksikan dengan nada penuh komando.
Saya menelan ludah dan mengklik PUAS segera.
Sementara itu, di luar ruangan teman-teman saya sudah menikmati kopi gratis. “Kok lama? Aku aja bentar, tadi diisiin mbaknya pula. Jadi cepet deh,” teman saya berkata.
Saya diam, mengambil napas panjang.
“Sana ambil kue,” suruhnya.
“OGAH,” ucap saya.
Episode SPT (Sumber Prustrasi Tahunan) kali ini dengan demikian saya pungkasi. (*/)