Mereka yang Memburu Bintang

Ekonomi berbagi (sharing economy) yang awalnya terlihat indah, adil, dan menyenangkan, lama-lama menampakkan boroknya juga.

Kemarin lusa saat saya menunggangi sebuah tumpangan dwiroda menuju ke tempat bernaung, saya dikagetkan dengan keluhan sang pengemudi.

Saya sudah pesimis. Sebab sebelumnya saya sudah salah menumpang kendaraan!

Ya, jadi begini ceritanya: saya sudah tak tahan menunggu. Begitu ada sebuah sepeda motor dengan pengemudi berhelm hijau mendekat, saya otomatis melambai, mengangguk, naik dan melesat bersamanya sembari melambaikan tangan pada semua orang di halte tempat saya menunggu:”Bye, sobat-sobat misqueennnn!”

Kembali ke pokok pembahasan. Jadi saya sudah mapan di jok sepeda motor itu. Hingga di tengah jalan, saya dikejutkan dengan pernyataan si pengendara ojek daring:”Loh ada pesan dari penumpangnya!”

Saya tersentak.

“Duh, ini bukan pengemudi yang saya pesan ya?”

“Lho, tadi kata bapak ke (masukkan nama tempat di kolong langit ibukota)?” sergah saya.

“Lha tadi saya juga udah nanya. Namanya situ (masukkan nama seorang manusia yang pendek dan bersifat uniseks) nggak?”

Langsung ia berhenti dan menurunkan saya.

Saya duduk di pinggir jalan dengan rasa nelangsa.

Dasar penumpang buntung!

Lalu saya bertukar pesan dengan pengemudi yang saya pesan dan ternyata ia masih di suatu titik di dekat tempat saya tadi dijemput. Lalu lintas begitu padat tetapi setidaknya tidak hujan, saya pikir. Setidaknya 10-15 menit saya duduk di tepi jalan dengan perasaan tak sabar. Saya cemas ia tersesat dan kami tak bisa bertemu.

Untung ia segera menemukan saya. Wajahnya berbinar. Saya pun.

Saya sudah cemas dari tadi, apakah ia akan membatalkan order saya secara sepihak? Karena zaman sekarang, pengendara ojek bisa membatalkan order juga jika mereka merasa terlalu jauh atau repot atau macet untuk menjemput dan mengantar si penumpang ke tujuan.

Sementara saya cenderung tak suka membatalkan jika sudah sekali dapat. Lebih baik saya tunggu sampai benar sampai di titik penjemputan.

Begitu saya bicara dengannya, saya minta maaf sudah menambah drama pada proses penjemputan karena salah naik ojek.

Ia sendiri menjelaskan alasannya gigih menjemput saya.

“Sudah dua kali dibatalkan penumpang, pak. Makanya jangan sampai dibatalkan lagi hari ini,” ia berkeluh-kesah.

Perusahaan pemberi kerja akan memberi hukuman berupa pemberhentian sementara selama 3 hari untuk pengemudi mereka yang tercatat dibatalkan ordernya.

“Kalau dibatalkan lagi, bintang saya bisa turun, habis. Celaka saya!” ungkapnya dengan nada agak memelas. Rupanya ia mengais nafkah 100 persen dengan mengojek. Tidak menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan.

Kasihan memang. Apalagi jika sudah mantan bujangan, dengan tanggungan istri dan keluarga. Selain diri sendiri, ada beberapa mulut lain yang menganga meminta suapan makanan. Habislah penghidupan jika ia dicekal.

Lanjutnya,”Repot kalau customer batalin pak. Bintang bisa turun. Nggak bisa ‘narik’ tiga hari. Dulu mungkin kalau customer batalin, performa nggak kena dampak tapi sekarang sama aja.”

Perusahaan-perusahaan ojek daring memang sekarang diketahui makin ketat menyeleksi kandidat pengemudi. Yang sudah masuk jadi pengemudi pun belum tentu aman karena jika dilaporkan telah melanggar aturan lalin (misalnya mengebut, menerobos lampu lalin, tidak membawa helm, dsb) oleh polisi maka ia akan langsung diputus hubungan kerja. Tanpa basa-basi pokoknya. Dan tanpa pesangon karena mereka cuma mitra, bukan karyawan formal. Jadi, intinya jangan macam-macam! Ikut aturan kami atau enyah dari sini. Ya tapi masuk akal juga karena perusahaan-perusahaan itu kini juga menyediakan asuransi jiwa bagi si pengemudi. Besarannya lumayan juga. Dulu kalau celaka di jalan, ya sudah. Tidak ada pertanggungjawaban dari pemberi kerja informal itu.

Untuk mencegah turunnya jumlah bintang yang berakibat pada penurunan penilaian performa (yang menghambat pengambilan bonus juga), mereka yang menjadi pengemudi mitra mesti rajin, patuh dan tertib di jalan.

“Dan kalau sudah tahu di peta pengemudi posisinya jauh, langsung aja dibatalin sebelum satu menit sejak dapat, pak. Kalau lebih dari semenit lalu dibatalin, driver yang kena penalti,” pengemudi itu kembali merinci.

Kenapa bisa terlalu jauh? Nah, itu juga misteri. Kadang aplikasi mencocokkan pengemudi dengan penumpang yang lokasi penjemputannya relatif jauh dari posisinya. Dan kalaupun terlihat dekat, harus putar-putar sebab tahu sendiri bagaimana pengaturan lalin ibukota, bisa menjauhkan yang dekat, dan lebih menjauhkan yang sudah jauh. Makanya, tidak efisien. Boros bahan bakar fosil, psikis dan mental karena terlalu lama di jalan.

Lalu bagaimana solusinya?

Mungkin pihak pembuat aplikasi abisa merancang perbaikan dalam sistem mereka agar pengemudi bisa ditemukan dengan penumpang yang terdekat dengan mereka. Agar penumpang tak menunggu lama. Agar pengemudi tak capek berputar-putar di jalan. Dan agar jumlah kasus pembatalan yang seharusnya tidak terjadi bisa dicegah sebisa mungkin. (*/)

Verstuurd vanaf mijn iPhone



Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: