
KARENA saya penulis, orang yang saya pertama ketahui melakukan olahraga ketahanan alias “endurance sports” ialah Haruki Murakami. Dalam memoar larinya yang berjudul “What I Talk About When I Talk About Running“, ia berkisah bahwa di usia 33 tahun ia sadar bahwa pola hidup kurang sehat (tidur dini hari, menulis seharian tanpa banyak bergerak) membuatnya tak akan bisa hidup lama. Dan karena kesehatan raga bobrok, ia bertanya bagaimana ia bisa menulis? Pekerjaan apapun yang ingin kita lakukan butuh kesehatan jasmani (dan rohani tentu). Dari sana, ia merombak pola hidupnya dan memulai berolahraga dengan berlari di dekat tempat tinggalnya. Makin lama, ia makin mahir berlari dan makin kuat. Begitu jogging sudah menjadi rutinitas harian, ia memberanikan diri ikut lomba marathon. Dan begitu ia sudah merasa membutuhkan tantangan lagi, ia ikut triathlon. Di situ, Murakami harus belajar berenang dengan teknik yang benar agar lebih efisien dalam menempuh jarak. Karena ternyata teknik berenang asal-asalan membuat kita lebih cepat lelah dan lebih lama mencapai garis akhir.
Dalam pengamatan saya sendiri, ada beberapa kenalan saya yang semula menekuni yoga kemudian mulai merambah ke olahraga ketahanan semacam ini. Mereka rela berlatih berbulan-bulan demi mempersiapkan diri dalam menjalani perlombaan di luar kota. Mereka rela merogoh kocek dalam untuk membeli tiket transportasi dan berangkat dini hari dengan bus atau pesawat (karena biasanya area lomba di kawasan terpencil dan berudara bersih di luar Jakarta, atau bahkan luar negara ini) lalu menginap di hotel yang tak murah dan bukannya bersantai-santai di saat libur atau cuti, mereka malah sengaja ‘menyiksa diri’, berlari sampai jantung hendak copot, muka merah padam, keringat bercucuran.
Tak aneh jika kita mencap olahraga ketahanan semacam triathlon dan marathon ini sebagai olahraga yang menguras segala sumber daya yang dimiliki seseorang. Saya saja kaget begitu tahu bahwa hanya untuk mengikuti marathon, yang kelihatannya hanya sekadar lari jarak jauh begitu, membutuhkan setidaknya anggaran 1.600 dollar AS! Siapa sangka, bukan? Jadi kalau Anda pikir ini olahraga murahan, Anda salah besar. Lain cerita kalau Anda pakai kaos olahraga seadanya, celana pendek santai dan sepatu kets saja untuk berlari di sekitar kompleks rumah. Manfaat kesehatannya ada memang tapi kebanggaan dan prestise? Nol besar.
Lari marathon dalam pengamatan saya terhadap teman-teman saya yang menggandrunginya setidaknya mengharuskan Anda membeli sepasang sepatu lari yang ‘layak’. Bukan sekadar sepatu kets 500 ribuan. Belum lagi Anda harus membeli outfit atau pakaian lari yang standar dan bermerek. Celana pendek dan kaos lari yang minim agar tak membuat repot saat bergerak. Belum lagi pembelian ‘gear’ seperti topi lari, botol minum, dan yang tak kalah penting produk smartwatch atau activity tracker yang harganya bisa jutaan rupiah!
Untuk bisa memiliki anggaran sebanyak ini dan waktu luang untuk bisa berlatih secara rutin memang diperlukan sumber daya yang tidak sedikit. Di samping itu, faktor gizi juga menjadi hal penting lainnya. Untuk bisa berlatih sekeras ini, seseorang yang masih berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari seperti sandang, (cicilan) papan, dan pangan tentunya tidak akan terpikir untuk sampai ke sana. Untuk hidup sehari-hari saja susah, bagaimana bisa sampai punya uang dan waktu untuk latihan marathon atau triathlon?

Mengikuti olahraga keras seperti ini mungkin tidak terpikirkan oleh sebagian besar orang. Apa sih manfaatnya?
Tapi mari kita telaah dari sudut pandang psikologis. Kita manusia modern sehari-hari bekerja dengan begitu banyak tuntutan eksternal yang tinggi dan parameternya kadang berubah-ubah dan dinamis (baca: tidak jelas). Kita harus memuaskan keinginan bos, konsumen, kolega, klien, pasangan dan sebagainya. Namun, saat kita lari marathon dan menjalani triathlon, kita hanya dituntut untuk menyelesaikan satu tugas yang targetnya jelas. Garis akhirnya juga jelas dan konkret. Dan ini sangat MELEGAKAN. Plus sangat menyehatkan juga karena tubuh kita diajak bergerak, bangkit dari kursi yang diduduki setidaknya selama 8 jam sehari (bahkan lebih!).
Maka, saya sangat paham mengapa Murakami, penulis idola saya ini, sangat menikmati marathon dan triathlon. Ia tidak cuma menikmati endorfin yang dikeluarkan tubuh pasca berolahraga intens tapi juga bisa melepaskan ketegangan dari rutinitasnya menulis. Duduk, berpikir keras, dan mengejar ‘target’ kesempurnaan yang dalam dunia sastra sangatlah subjektif. Bagus tidaknya sebuah karya sastra tidak bisa diukur secara nyata dan jelas. Itu juga sangat bergantung pada penilaian dan penghakiman dari dunia luar (pembaca, kritikus sastra, dan sebagainya). (*/)