Sekilas kita terkagum dengan perkembangan Jakarta yang makin pesat. Salah satu perkembangan terbarunya ialah beroperasinya MRT Jakarta yang bisa dikatakan sebagai suatu mahakarya yang sudah lama dibutuhkan warga ibukota tapi baru terwujud sekarang.
Hanya saja kekaguman saya itu menguap saat saya mengutarakan perkembangan proyek MRT jauh jauh hari sebelum dibuka untuk umum kepada seorang tetangga kos yang orang Korsel totok.
Antusiasme dan kebanggaan saya luntur tatkala ia mengatakan begini: “Saya dulu juga di Seoul sudah pernah terlibat pengerjaan MRT Seoul. Sudah 40 tahun lebih yang lalu.”
Jadi dengan kata lain, Jakarta dibandingkan Seoul sudah ketinggalan 40 tahun lebih.
Tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?
Saya memang terbilang terlambat juga mencicipi MRT Jakarta ini. Gegap gempita orang menjajal menaikinya sudah memenuhi media sosial dan konvensional sejak beberapa bulan terakhir.
Bukannya saya tak peduli. Tapi jalur MRT ini jarang sekali saya lewati saat kesibukan di hari kerja dan akhir pekan juga.
Masuk ke dalam memang terkesan modern. Akses cukup diperoleh dengan menebus Rp9000 dalam bentuk uang elektronik. Kalau hanya bawa tunai, kita bisa dapatkan kartu akses di loket yang tersedia.
Saya menempuh jarak kira kira 10 km dari stasiun Cipete Raya ke Bendungan Hilir alias Benhil dalam waktu tak lebih dari 15 menit. Sangat efisien.
Ketepatan waktunya juga bagus. Di atas peron ada papan elektronik yang menunjukkan waktu tiba MRT di jurusan yang akan dituju. Saya hendak ke utara sehingga saya pilih arah ke Bundaran HI.
Stasiun juga terawat dan bersih sekali. Sangat membuai indra. Tidak ada pengalaman buruk di sini. Dijamin.
Sayangnya, rute ini teramat pendek dan masih kurang berdaya dalam mengurangi kemacetan Jakarta yang ‘legendaris’, setidaknya demikian kata seorang kenalan ekspatriat.
Untuk berbenah, Jakarta memang sudah jauh terlambat. Dampak dari mismanajemen dari pemerintahan sebelumnya harus dibayar mahal oleh kita yang tinggal di Jakarta sekarang.
Dan kehadiran MRT mungkin bisa sedikit mengobati penyakit kemacetan itu. Tapi mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Dan Jakarta sudah telanjur sakit parah dan tua. (*/)
Leave a Reply