Saat seseorang mengatakan “capek”, “lelah”, biasanya ia mengacu pada aspek fisik atau tubuh kasar seorang manusia. Dan kelelahan ini biasanya terjadi pada mereka yang bekerja di tempat yang jauh dari rumah atau lokasi ia tinggal.

Apalagi di Jakarta yang sudah dicap legendaris oleh orang-orang asing soal kemacetannya. Di Jakarta, lumrah menjumpai orang-orang yang tinggal di pinggiran Jakarta dan daerah penyangga untuk bangun pagi dan bergegas ke kantor mereka di tengah Jakarta sejak subuh.
Saya sendiri tidak tinggal di pinggir Jakarta atau daerah penyangga seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan sebagainya. Tetapi saya toh masih merasa harus bangun pagi dan berangkat kerja sedini mungkin karena lalu lintas terasa lebih ramah di pagi hari pukul 6 daripada saat pukul 8-9. Sesak dan panas!
Di saat-saat muak dengan lalu lintas ibukota inilah, sebagian orang memimpikan keindahan bekerja di rumah. Bagi saya yang sebelumnya juga pernah bekerja di rumah sebelum pandemi ini, bekerja di rumah memang memiliki banyak kelebihan.
Hanya saja sebagian besar orang melupakan atau memang belum tahu kekurangannya. Pertama, disiplin diri. Kalau Anda tipe orang yang memiliki tingkat disiplin diri yang tinggi, bekerja di rumah atau di mana saja memang bukan masalah. Tetapi tidak semua orang demikian. Ada sejumlah orang yang sangat mudah menuruti keinginannya (baca: kompulsif). Jadi, saat ada keinginan merebahkan diri dan memelototi Instagram sepanjang hari, maka ia akan melakukannya tanpa pikir panjang. Dan baru kemudian menyesal. Tidak heran orang-orang seperti ini merasa 24 jam selalu kurang karena manajemen waktu mereka agak amburadul.
Betul, bekerja di rumah juga ternyata masih bisa merasa lelah. Demikian kata seorang teman. Saya sendiri sangsi apakah kerja di rumah memang betul melelahkan. Tetapi bukankah itu tergantung pada banyak faktor seperti beban kerja yang ditanggung?
Bekerja di rumah juga ternyata berisiko mengalami “burnout” alias kelelahan yang amat sangat. Gejala burnout sendiri ialah depresi, kelelahan emosional dan perasaan kewalahan atau tidak berdaya menghadapi masalah yang ada. Dan ini bisa dipicu oleh konflik antara kepentingan rumah tangga dan profesi yang susah dibedakan dan saling berkelindan saat seseorang bekerja di rumah.
Ini bukan cuma asumsi saya tetapi hasil studi yang diterbitkan di Journal of Occupational and Environmental Medicine, yakni sebuah media cetak resmi dari the American College of Occupational and Environmental Medicine (ACOEM). Peneliti mengamati kondisi hampir 4500 orang kembar. Di sini diamati dua jenis gangguan yang dialami seseorang saat bekerja di rumah. Saat kehidupan pribadi ikut masuk ke dalam pekerjaan, biasanya konflik akan muncul dan berkembang.
Bagi perempuan, ternyata risiko burnout lebih tinggi daripada pria. Sementara itu, konflik antara kepentingan kerja dan rumah tangga sama dialami oleh semua jenis kelamin.
Kondisi ini seharusnya disadari oleh para atasan/ manajemen top yang memberikan delegasi tugas yang lebih banyak di masa kerja di rumah seperti sekarang. Akan lebih bijak bila mereka mengambil langkah yang diperlukan untuk membantu para pekerja mengurangi gangguan dan masalah yang timbul di rumah akibat kebijakan WFH atau “work from home”.
Namun, di saat yang sama para pekerja yang bekerja dari rumah juga dituntut perlu untuk memberlakukan disiplin yang tinggi dalam mengatur urusan kantor saat bekerja di rumah. Apalagi saat mereka tidak ada pilihan lain selain bekerja di dalam rumah saat ini bersama anggota keluarga lain.
Menurut saya sendiri, bekerja di rumah memang menuntut stamina tersendiri. Bukan stamina fisik tetapi mental dan psikologis. Bagi mereka para pria pekerja baik yang sudah berkeluarga atau masih lajang, dampaknya lebih minimal dibandingkan bekerja di kantor.
Namun, saya melihat para perempuan terutama yang sudah menjadi ibu dan juga bekerja penuh waktu, memiliki konsekuensi yang lebih berat. Apalagi di masa pandemi ini mereka juga dituntut untuk menjaga kesehatan keluarga. Saya menyaksikan sendiri seorang teman yang menjadi ibu berjanji untuk memasak sendiri di rumah karena menurutnya makanan akan menjadi lebih aman dikonsumsi daripada membeli makanan dari luar rumah melalui jasa pemesanan makanan daring/ aplikasi. Dan komitmennya itu juga didukung oleh keluarga yang berusaha berpola hidup sehat di masa genting seperti ini.
Bagaimana dengan Anda sendiri? Apakah bekerja di rumah itu lebih enak atau tidak? (*/)
Leave a Reply