Hi guys!
Welcome back to my podcast after a while yaaa. Haha.
Sebelumnya gw lebih banyak bahas soal tidur sebagai perbaikan kualitas hidup.
Nah, gw kayaknya masih mau fokus ke masalah itu karena seperti kita ketahui di masa pandemi dan isolasi mandiri ini, gw sering dengar keluhan ada orang yang insomnia.
Bukannya di rumah bisa tidur semau kita?
Ya iya sih kalau kita nggak ada tanggungan kerjaan.
Buat yang kerja dari rumah, tidur cukup juga masih bisa jadI masalah lho meskipun mereka tidak harus bangun lebih pagi buat commute atau melakukan perjalanan ke tempat kerja.
Di masa pandemi ini mereka yang kerja dari rumah juga nyatanya masih ada yang merasa kurang tidur.
Kenapa?
Ya karena pekerjaan mereka masih bisa membayangi di mana saja di suddut rumah. Padahal rumah selama ini kita anggap sebagai sebuah istana yang memungkinkan kita istirahat, jauh dari hiruk pikuk kerjaan.
Eh, tapi di masa pandemi, rumah kita malahan jadi neraka dunia karena urusan kerjaan juga masuk ke dalamnya.
Dan bagi mereka yang sudah punya rumah tangga dan tanggungan anak, urusannya bakal lebih pelik lagi karena bayangkan saja harus mengurusi pekerjaan lalu tanggung jawab sebagai orang tua atau pasangan secara bersamaan.
Fiuh!
Buat mereka yang nggak ada kerjaan di rumah, masalah juga bukan berarti tidak ada.
Bisa jadi mereka yang tidak bekerja ini adalah korban PHK, atau perumahan, atau cuti tanpa dibayar oleh perusahaan mereka.
Mereka yang tidak ada kegiatan di rumah juga mungkin adalah pekerja lapangan yang bisanya kerja saat di luar rumah, misalnya supervisor proyek. Mana bisa kalau tidak ke tempat proyeknya langsung? Masak mau Cuma video call sama pekerja? Kan nggak bisa juga.
Belum lagi masalah terhentinya pemasukan buat mereka yang nggak ada kerjaan ini.
Klop, makin streslah. Akhirnya tidur juga tidak bisa.
Terbayang-bayang kan? Bagaimana dengan masa depanku?
Jadi singkatnya, yang masih bisa kerja, stres juga karena kerjaan terus membanjiri. Dan mungkin bertanya, sampai kapan bisa terus bekerja? Apakah jangan jangan aku akan di-PHK juga? Atau akankah ada pemotongan gaji?
Yang sudah tidak bisa kerja juga resah, tidak bisa tidur malam dengan nyenyak sebab masalah hilangnya sumber nafkah sudah di depan mata.
Besok saya, anak istri mau makan apa?
SALAH KAPRAH KERJA SAMPAI LELAH SELAMA PANDEMI
Oke pagi ini gw baca kalimat yang cukup menghenyak di instagram @theatlantic. Begini bunyinya:
“Have you been feeling pressured to use the pandemic as time to work longer and be more productive?
Are you more exhausted than before?”
Terjemahan bebasnya begini:
“Apakah selama ini kamu ditekan (atau tertekan) untuk memanfaatkan pandemi sebagai waktu untuk bekerja lebih lama dan lebih produktif daripada sebelumnya?
Apakah kamu lebih capek daripada sebelumnya?”
Kalimat-kalimat ini sangat relevan buat kita yang masih bisa bekerja di masa pandemi ini.
Ya gw juga denger bahwa ada sebagian yang berpendapat:” Udah deh nggak usah banyak ngeluh dengan kerjaan elu. Lihat orang lain sudah banyak yang mati nggak bisa makan, kelaparan, di-PHK, jadi kalau kami masih bisa kerja, bersyukurlah…”
Sekilas kalimat ini memang maksudnya baik ya.
Mengingatkan kita untuk bersyukur.
Oke, mari kita bersyukur.
Lalu what’s next?
Bagaimana dengan kelelahan kita?
Apakah perlu dipendam saja, disangkal dengan mantra “alhamdulillah, gw masih bsa kerja hari ini. Gw nggak boleh ngeluh. Gw harusnya bahagia.”
Kayak penyangkalan banget ya.
Dan itu sebetulnya nggak begitu sehat juga buat kesehatan mental kita.
Jadi kayak bingung.
“Loh kan memang merasa capek tapi kok nggak boleh bilang capek?”
Mungkin kayak gitu protes diri kita kalau ditekan untuk diam dan bersyukur.
Tapi kemudian gw merasa tersentil dengan kalimat Tricia Hersey yang mengusung #RestMovement, sebuah gerakan sosial untuk mendorong orang-orang yang bekerja sampai burnout untuk mengendurkan jiwa dan raga mereka sedikit lah selama pandemi ini.
Begini kata Tricia:
“We are brainwashed by grind culture. Productivity is a scam and it’s something that is socialized in us in Western Culture.”
Haha, sebenarnya gw agak nggak sepakat dengan bagian “western culture” karena kenyataannya budaya timur termasuk indonesia juga. Masih ingat kan peribahasa “rajin pangkal kaya”. Sebagian orang kerja rajin banget tapi toh mereka nggak kaya-kaya kan?
Grind culture atau budaya kerja keras sampai tujuan tercapai itu sebetulnya bukan monopoli Barat saja kok. Di Timur kita juga mengenalnya. Terutama di budaya Asia Timur ya. Di budaya Indonesia sendiri mungkin ada tapi menurut gw ga terlalu sefanatik masyarakat di Asia Timur.
Di satu sisi grind culture atau hustle culture ini bagus karena masyarakatnya jadi sangat terpacu untuk bekerja, produktif, menghasilkan. Lihat saja bangsa China, Korea, Jepang. Semangat kerja mereka gila-gilaan kan? Pun bangsa Amerika. Dan tunggu, kayaknya budaya kerja keras sampai mati ini memang sudah menjamur di seluruh dunia karena ya, dominasi dan hegemoni bangsa-bangsa tadi itu sangat kental di seluruh dunia. Makanya kita yang bangsa-bangsa lain merasa: “Wah, hebat banget ya, semangat kerjanya tinggi. Rajin banget dan profesional.”
Di Indonesia sendiri, gw merasakan grind culture ini makin kental. Apalagi dengan adanya semboyan “kerja kerja kerja” itu ya. Kerja terus? Kapan istirahatnya? Manusia kan bisa sakit. Bisa gila kalau terus menerus kerja.
Di sisi lain,masyarakat jadi kayak kehilangan semangat menikmati hidup karena hidup adalah kerja dan kerja adalah hidup. Jadi begitu pekerjaan mereka hilang atau gagal, hidup juga rasanya runtuh. Kiamat!
Padahal ya nggak segitunya juga, bukannya menggampangkan juga ya.
Tapi gw percaya semua masalah ada jalan keluar selama kita masih mau berusaha dan berdoa.
TUBUHMU PUNYA HAK REHAT
Kutipan dari Tricia Hersey berikutnya yang relevan dengan kondisi kita sekarang adalah:
“Capitalism wants you to believe that your body is a machine and it doesn’t belong to you. We’re saying no, your body is not a machine. It belongs to you. You can rest now and you have a divine right.”
Mungkin ini terasa sangat menggetarkan bagi mereka yang sekarang lagi punya pekerjaan yang menuntut untuk lebih produktif selama 24 jam 7 hari seminggu. Sudah kayak menggadaikan jiwa untuk kerja.
Dulu masa revolusi industri di Inggris orang bekerja sampai belasan jam sehari di pabrik. Kemudian diperjuangkanlah agar bisa bekerja 8 jam sehari dan 5 hari seminggu. Nah sekarang itu sudah tercapai tapi kemudian teknologi informasi membuat kita terus terkoneksi dan kita pun kembali ke masa kelam itu lagi, mau atau tidak kita mengakui. Buat buruh kasar, justru lebih mudah untuk memisahkan kerjaan dan kehidupan pribadi dan keluarga tapi buat buruh intelektual dan kerah putih tidak! Justru buruh kerah putih yang makin tidak terlindungi sekarang ini. Kantor bukan lagi ruang fisik tapi ruang mental yang bisa menyusup ke kamar tidur lewat satu pesan di WhatsApp, satu email di kotak masuk.
ATUR WAKTUMU
Jadi kembali ke pemikiran Tricia Hersey tadi, di masa pandemi ini mungkin kita memang harus bersyukur masih bisa bekerja di rumah. Tapi jangan lupa manajemen waktu kita agar tetap bisa beristirahat dengan baik dan optimal. Karena di rumah terus selama masa isolasi mandiri ini juga bisa melelahkan secara psikis dan emosional dan mental. Kalau kelelahan fisik sih mungkin tidak begitu terasa karena malah kita lebih sedikit bergerak.
Saat jam kerja, mari kita bekerja. Dan saat jam kerja usai dan tidak ada pekerjaan yang sangat amat darurat, akan lebih baik kita tak perlu bekerja sampai mati-matian hingga lembur dan mengorbankan waktu istirahat dan kesehatan mental kita.
Podcast ini mungkin juga relevan dengan semangat May Day 1 Mei nanti. Selamat untuk para pekerja di rumah yang juga bergulat dengan risiko dan kelelahan mereka sendiri, yang berbeda dari pekerja medis dan lapangan. Jadi bukannya pekerja di rumah tidak alami stres. Mereka juga mengalami stres tapi jenisnya cuma berbeda dari yang bekerja di luar rumah. Jadi ‘privilege’ bekerja di rumah itu juga sebetulnya ada ongkos yang harus dibayar, yakni dengan kesehatan mental.
Happy May Day!