Ageisme Era Baru: Xenials, Geriatric Millenials, Serahhh Dah!

Sempat saya membaca artikel di Medium.com yang ditulis seseorang bernama Erica Dhawan. Intinya ia mengklaim bahwa kelompok millenial tua yang lahir di awal tahun 1980-an itu paling cocok untuk menjadi pemimpin di perusahaan dan startup saat ini yang berjuang untuk beradaptasi dalam dunia Kewajaran Baru (New Normal).

Respon kami yang masuk dalam kelompok ‘istimewa’ ini pun meruak. Ada yang menentang penggunaan frase “geriatric millenials” ini karena ada konotasi miring.

Kami dianggap tua.

Semprul!

Ya memang kami lebih tua dibandingkan kelompok millenial lain tapi mbok ya jangan terlalu ditonjolkan gitu lho!

Buat Anda yang masih buta soal pengelompokan ini, berikut kategorisasinya yang jelas supaya nggak capek menerka-nerka:

  • 1925-1945: The Silent Generation (ya nggak silent gimana wong memang banyak yang sudah almarhum kan ya)
  • 1946-1964: Baby Boomers (kebanyakan kakek nenek zaman sekarang)
  • 1965-1980: Generation X (kebanyakan om-om zaman sekarang)
  • 1977-1983: Xennials (kebanyakan papa-mama muda zaman sekarang)
  • 1981-1996: Millennials (alias Generation Y)
  • 1993-1998: Zennials
  • 1997-2012: Generation Z
  • 2013-present: Generation Alpha

Istilah “geriatric millenials” atau “xennials” ini memang memberi efek nano-nano. Meski dirasa menghina, juga ada sih rasa bangga.

Bangga karena kami ini nggak sekatrok generation X soal penggunaan teknologi informasi. Kami memang tua tapi masih dengan lincah mengikuti perkembangan zaman dan tren terkini.

Kami nggak segaptek orang-orang tua kami yang Boomers itu. Kami masih bisa memakai mesin ketik dengan baik tapi juga menghargai praktisnya teknologi.

Kami memang mirip amfibi, bisa hidup di dua alam: alam nyata dan maya, anehnya dengan sama baik dan mulusnya.

Saat kecil kami masih menikmati syahdunya bermain permainan tradisional. Kami bukan anak-anak yang mager kayak anak sekarang. Kami berlari, kami menyusuri sungai, sawah, bermain congklak, petak umpet.

Tapi kami juga yang pertama mengadopsi penggunaan email di keluarga kami. Kami yang pertama bisa menggunakan aplikasi-aplikasi digital dengan lihai dan piawai. Kami mengajari orang tua dan adik-adik kami bagaimana menyalakan dan mematikan laptop, mengatur ulang ponsel pintar, mengetik SMS, bla bla bla.

Sayangnya, bersamaan dengan pengotak-ngotakan begini, datang juga overgeneralisasi dan stereotyping, yang nantinya memunculkan banyak pertanyaan bernada: “Kamu generasi Xennial tapi kok [sebutkan kelakuan atau sifat yang berlawanan dengan tipikal generasi Xennial]?”

Halah capek jawabnya…

Gini aja deh.

Pakai saja istilah-istilah itu untuk perbincangan dan pertukaran ide, wacana dan mengisi obrolan akademis yang muluk-muluk dan ‘tinggi-tinggi’ di webinar-webinar Zoom dengan judul yang seolah pintar dan intelek tapi please, jangan dipakai terus-terusan sampai overdosis di kehidupan nyata.

It’s just too much!

Dan kenyataannya di lapangan juga penggunaan istilah-istilah begini membuat banyak diskriminasi terjadi.

Ya kalau memang bagus dan cocok untuk posisinya ya nggak usah lah permasalahkan tahun kelahiran, umur. Kalau mau hire, ya hire aja. Jangan kebanyakan cing cong. Yang penting zaman sekarang mah performa. Ya nggak sih?

Memang kalau kerjaan sesuai umurnya dan stereotip usianya bakal menjamin kita nggak dipecat kalau nggak becus kerjanya? Nggak juga kan, bro sist?

Jadi ya udahlah nggak usah terlalu dipermasalahkan. Kalau ada kandidat yang kayaknya memenuhi syarat tapi secara usia melebihi atau kurang dari usia yang diasumsikan ideal ya udah, nggak usah terlalu dipermasalahkan. Kasih kesempatan aja untuk membuktikan bahwa asumsi masyarakat itu salah. Titik! (*/)



Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: