Hari sudah beringsut temaram. Ia makin resah dan lelah. Nekat meski uang sudah tidak seberapa menjelang hari raya, gadis muda itu melambaikan taksi di depannya.
Toh THR akan segera ditransfer. Ia hanya mau pulang segera ke rumah. Ada nenek dan kakeknya di sana menunggu.
“Mereka pasti cemas kalau aku pulang lewat beduk Maghrib,”batin Ella.
Hampir putus asa, Ella lambaikan lagi tangannya. Lemah tetapi tidak gemulai. Ia sudah dehidrasi berat seharian di dalam ruangan berpendingin. Bibirnya pecah-pecah. Tenggorokannya tercekat saking keringnya.
Taksi itu berkelebat melewatinya. Ada orang di jok belakangnya.
“Sial!”makinya dalam hati,” Ah, padahal kan aku sedang puasa…”
Ella memasrahkan diri. Ia masih melambaikan tangan tetapi tidak seambisius sebelumnya untuk mendapatkan taksi kosong.
Saat ia sudah pasrah jika sewaktu-waktu pingsan di trotoar, sebuah taksi meluncur mendekatinya. “Alhamdulillah,”ucapnya sembari sempat bertanya apakah itu bisa menebus makian sebelumnya. Entahlah, itu kan urusan Tuhan, pikirnya lagi.
Ella membuka pintu taksi dengan perlahan, berharap bisa bertemu dengan sopir yang baik dan jelas identitasnya. Ia siap membanting pintu jika taksi itu tidak dikemudikan sopir dengan tanda pengenal yang dipajang di dasbor depan. Di ibukota, begitulah menurutnya seorang wanita mencegah kejadian yang tidak diinginkan. Meskipun ini bulan puasa, katanya dalam hati.
Begitulah ia dididik selama ini oleh kedua kakek neneknya. Keduanya sudah meninggal dalam kondisi mengenaskan 8 tahun lalu dalam kecelakaan mobil. Maka dari itulah ia kini tinggal dengan kakek dan neneknya, orang tua mendiang ibunya. Sementara itu, orang tua bapaknya sudah tak bisa diketahui keberadaannya. Mereka lenyap saat tsunami menelan bibir pantai Aceh.
“Mau ke mana, mbak?”tanya si sopir. Pria itu masih muda. Wajahnya keras dan tegas, cocok untuk berpetualang di jalanan Jakarta. Di kepalanya, bertengger sebuah kopiah putih. Kopiah itu mengingatkannya pada kopiah sang kakek, yang terus saja membuatnya rindu ke rumah di waktu senja. Kakek bisa memasak makanan enak. Nenek juga. Tetapi karena kakek adalah seorang laki-laki itulah yang menurut Ella membuat makanannya makin enak. Terasa tidak biasa.
Butuh waktu sejenak bagi Ella untuk menjawab. “Oh iya, aku mau ke Kelapa Gading, pak,”tukasnya singkat. Ia bahkan merasa terlalu malas membuka mulut. Energinya sudah hampir nol.
Argo dihidupkan, dan mulailah perjalanan taksi menjelang senja itu.
Lalu lintas makin tidak bersahabat. Toh taksi itu terus melaju meski kecepatannya tak teratur. Kadang melaju kencang, tetapi lebih sering melambat.
Ella tak peduli. Pandangannya menerawang melalui jendela taksi. Tak lupa ia mencatat nomor taksi dan nama sopirnya lalu mengunggahnya ke Twitter. “Buat jaga-jaga,”pikirnya. Ia selalu terbayang-bayang dengan kecelakaan setahun lalu itu. Taksi yang dinaiki kedua orang tuanya ditabrak trailer di sebuah ruas jalan nan sepi. Hingga kini belum diketahui pelakunya.
Perasaan nelangsa itu urung menyedotnya lebih dalam lagi dengan pecahnya keheningan dalam kabin taksi.
“Tahu nggak mbak tadi siapa yang baru naik taksi saya?”sopir taksi itu berusaha membunuh kebosanannya.
“….Hmm…Siapa pak?”Ella sungguh sedang tidak bersemangat mendengarkan apapun tetapi ia memaksa diri bersikap sopan, seolah antusias dengan upaya ramah sang sopir taksi.
“Reporter-reporter!!!”
“Oh ya?”
“Iya mbak. Mereka tuh cerita. Dapet Rp500.000 sehari kalau mau ngikutin pak Jono.”
“Lumayan yah pak…”
“Yah bukan lumayan lagi! Kalau saya dapet segitu juga sudah nggak jadi sopir taksi.”
Ella tercekat. Uang sebesar itu mungkin ia bisa habiskan sekali belanja pakaian di Uniqlo atau produk kosmetik favorit di The Body Shop. Namun, untuk seorang sopir taksi bernama Solikhun, Rp500.000 sudah berarti banyak.
“Itu saja ngikutinnya nggak sehari kok, mbak. Cuma 3-4 jam! Gimana nggak enak?!”Sopir taksi itu berceloteh. “Kalau saya mending berhenti jadi sopir, tinggal pegang ekornya pak Jono udah. Dapet duit terus…”
Ella menghela napas. Pak Jono lagi, pak Jono lagi. Ia sudah amat bosan dengan semua kampanye pak Jono. Di mana-mana ada berita pak Jono, yang terus bersitegang dengan lawannya pak Broto. Ella merasa terkepung dan jenuh dengan berita-berita politik. Ia menjauhkan diri dari siaran televisi yang mengumbar pemberitaan pertarungan kekuasaan keduanya. Pun di peramban ponselnya tak ada satu pun situs daring yang ia kunjungi untuk mendapatkan informasi terkini dari kampanye pak Jono dan pak Broto.
Solikhun penggemar Iman Aris, seorang politisi senior yang ia anggap sosok ideal pemimpin negeri. Terpelajar dan berani serta tahu benar kehendak rakyat. Tak ayal saat Iman Rais pensiun dari jabatan politiknya di partai yang ia dirikan, Solikhun yang sebelumnya 5 tahun bergabung dan berpartisipasi di dalam partai itu ikut keluar.
Itulah mengapa ia menolak memilih dalam pemilihan presiden baru kali ini. Ia hanya mau memilih Iman. Titik. Tidak ada kompromi. Sehidup semati bersama tokoh idolanya itu.
Sebetulnya Ella memahami perasaan Solikhun. “Saya dulu juga memilihnya, pak,”timpal gadis itu. Pendek saja ia menjawab. Ia tidak mau dianggap cerewet.
Lagi-lagi Solikhun menyebut angka 500 ribu tetapi kali ini ia menyebut angka itu untuk menggembarkan besaran imbalan yang diberikan partai yang didirikan oleh Iman padanya karena sudah berhasil memenangkan simpati sebagian besar orang di kampungnya. Alhasil, TPS di tempatnya menjadi basis pemenangan partai Iman. “Saya bisa mendekati orang-orang di kampung saya waktu itu makanya dapat imbalan.” Ingin rasanya Ella bertanya:”Mengapa mengaku menjadi agen perubahan negeri padahal sama saja melakukan politik uang?!” Namun, suaranya tertahan di dalam. Ia tahu ia sedang puasa. Jangan berdebat, batinnya menenangkan diri. Pandangan matanya kembali menerawang ke luar jendela.(*/)