Pandemic Diary: Roda Sepeda Buktikan Nyatanya Konflik Kelas Karl Marx

SEPANJANG pandemi ini sudah tak terhitung banyaknya pesepeda yang seliwar-seliwer di jalan protokol ibukota.

Jam 6-7 saya kerap menyaksikan para pesepeda borjuis ini giat mengayuh pedal. Semangat banget sampai ada yang teriak-teriak kayak lupa ini bukan di dalam rumahnya. Jalan, seperti fasilitas umum lain, juga ada aturan dan tata kramanya sendiri.

Jadi saat kemarin ada pesepeda motor berplat AA yang menunjukkan jari tengah ke rombongan pesepeda elit ini di jalur arteri ibukota, sontak mereka yang pernah jengkel dengan ulah pesepeda elit pun mendukung tanpa banyak cing cong. Mereka seakan mendapatkan validasi akan kegeraman yang mereka rasakan. “Tuh bener kan yang kesel nggak gue doang!,” langsung pada ngegas.

Tapi ada juga yang berpihak ke pesepeda elit yang merasa dizalimi. Ada pesepeda elit yang mengejek: “Ah itu paling lagi bokek. Belom gajian, bla bla bla.”

Perang screenshot pun dimulai. Tangkapan layar komentar dan chat. Pokoknya jadi posenggg.

Konflik kelas ala Marxisme pun jadi berpindah ke jalanan Jakarta. Ya sebenernya udah dari dulu sih tapi sekarang di masa pandemi saat masalah ekonomi goleklah alias golongan ekonomi lemah makin menjadi-jadi.

Sebagai bagian dari grup proletar, saya juga mengimbau para bozque yang pagi gandrung sama sepeda-sepeda berbodi karbon ringan, please jangan mencederai hati rakyat jelantah yang sudah remuk akibat problem finansial ini lah.

Takutnya nanti kalian kena karma. Serius ituh.

Published by

akhlis

Writer & yogi

8 thoughts on “Pandemic Diary: Roda Sepeda Buktikan Nyatanya Konflik Kelas Karl Marx”

  1. Bergerombol dan berjalan menengah, padahal jalannya lelet dan itu bukan jalan khusus sepeda. Akhirnya orang-orang mengalah. Sungguh menguji kesabaran.

  2. Sebenarnya yang salah itu bukan bersepeda kan ya? Melainkan menghambat pengendara kendaraan bermotor. Bagaimana jika pesepedaya menggunakan sepeda butut? Saya jadi kepikiran, bagaimanakah sebenarnya aturan penggunaan sepeda di jalan raya menurut peraturan perundang-undangan?

    1. Betul. Tata krama sebagai pengguna jalan saja yang kurang pas menurut saya ya. Tapi ada sebagian pesepeda ini yang beragumen bahwa sepeda mahal begitu ya nggak bisa dikayuh pelan di jalur sepeda yang sempit dan nggak rata (you know, bekas galian kabel optik Telkom lah, atau PLN lah). Harus di tengah jalan dan kecepatan tinggi. Nah, di situlah yang bikin orang lain puyeng. Perang ego ini sih.

      1. Ya gimana masak udah mahal mahal mau ngayuhnya kalah sama sepeda murahan yang berat?😆 Ya nggak mau lah

      2. Kalau para pejuang bike to work pastinya mentalitasnya beda. Mereka berani sepeda sendirian jadi lebih tertib. Yang sepedaan karena tren selama pandemi ya begini mentalitasnya. Sebenarnya nggak semua kayak gini sih. Sangat disayangkan jadi mencoreng citra pesepeda.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.