
DUA gadis muda sedang berpelukan di ranjang. Si pemilik ranjang terbangun tiba-tiba karena mimpi buruk di tengah malam. Nama gadis itu Sarah. Sebagai seorang penyintas Holocaust, gadis Yahudi kelahiran Hungaria itu mengalami trauma yang sangat mendalam dan membuatnya sering mendapat serangan panik dan tremor terutama di tangan kanannya.
Lili, sahabatnya yang menjadi protagonis dalam film adaptasi novel Péter Gárdos “Fever at Dawn” (2015) ini, mencoba menenangkannya sebisanya. Lili menyanyikannya lagu “Malam Kudus” yang ia kenal lewat sesi peribadatan di gereja Protestan yang ia masuki. Meski ia Yahudi, Lili sudah muak dengan identitasnya sebagai Yahudi dan berencana berganti agama ke Kristen Protestan agar bisa hidup lebih damai, tak dikejar-kejar Nazi. Dan ia sudah berkomplot bersama pacar jarak jauhnya yang juga penyintas Holocaust, Miklós, untuk bersama-sama berganti agama lalu menikah dalam tata cara Protestan.
Dialog mereka kemudian berlanjut dengan keinginan Sarah untuk meninggalkan kamp rehabilitasi yang mereka tinggali saat itu di Swedia untuk menuju ke tanah yang menurut Taurat dijanjikan untuk bangsa Yahudi, tanah Palestina.
“Setelah aku bisa melalui ini semua, aku mau ke Palestina,” kata Sarah dengan bibir masih bergetar.
Ya Palestina. Saat itu masih tahun 1945, belum ada Israel.
Sebuah baris dialog yang masih sangat relevan dengan masa kini, karena detik ini kita masih juga bergelut dengan pertikaian Yahudi vs Palestina. Tak kunjung ada solusi nyata dari tahun ke tahun.
Terlepas dari beragam persepsi orang bahwa ini adalah konflik agama (Yahudi versus Islam), atau murni persengketaan antara Yahudi sebagai penjajah dan bangsa Palestina sebagai pihak terjajah yang tanah airnya diserang dan direbut, satu fakta pasti ialah Holocaust yang dilaksanakan Hitler dan pengikutnya semakin mendorong orang-orang Yahudi yang selamat untuk membentuk koloni di tanah Palestina.
Dan ‘berkat’ Holocaust, kita sebagai manusia juga menjadi melek bahwa kebencian yang terlalu dalam bisa dimanfaatkan pihak lain yang memiliki agenda tersendiri. Dengan kata lain, kita diperalat!
Artikel ini mengungkapkan ada puluhan ribu muslim yang dengan sukarela menjadi tentara Nazi. Hitler dengan cerdik memanfaatkan kita umat muslim sebagai pendukung cuma-cuma.
Untuk merebut simpati umat muslim yang dimusuhi Uni Soviet kala itu, bahkan Hitler memerintahkan perbaikan masjid, musholla dan madrasah. Hitler menyuruh semua tentaranya memperlakukan umat muslim dengan baik karena muslim adalah ‘musuh alami’ para Yahudi.
Saya tidak menyuruh Anda untuk berpihak pada Israel dan Yahudi beraliran ultra nasionalis di balik negara itu, tetapi saya juga tidak menyuruh Anda mengelu-elukan Hitler dan Nazisme cuma karena mereka berani membunuh Yahudi dalam skala yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.
Saya hanya mengajak Anda untuk merenungi kalimat mitikus Rumi berikut:
“Selamatkan Hatimu dari gelapnya kebencian.”
Anda bisa menonton film ini gratis di: