DALAM sebuah pertemuan keluarga yang terjadi beberapa tahun lalu, salah satu adik mendiang kakek saya menceritakan panjang lebar pada semua yang hadir mengenai perjuangannya membuat akta kelahiran.
Perjuangannya itu sudah dimulai sejak lama. Karena orang tuanya zaman Belanda dulu tentu masih buta huruf dan tidak paham pentingnya dokumen kependudukan semacam itu, akhirnya ia pun hidup tanpa akta kelahiran sampai tua begini.
“Sebenarnya saya itu sudah akan membuat akta kelahiran,” katanya.
Ceritanya, ia sudah ‘menodong’ seorang kakaknya agar bisa menjadi penjamin untuk membuat akta kelahiran.
Sayangnya, kakaknya itu sendiri juga sudah uzur. Tandatangan saja tidak bisa. Karena faktor usia, tangannya tremor dan mata juga sudah kabur.
“Tapi aku masih bisa kasih cap jempol,” kata kakaknya.
Ia juga memfoto KTP si kakak sebagai bukti.
Sayangnya, si kakak sudah dipanggil duluan dan akhirnya pembuatan akta kelahiran itu tertunda lagi.
Kini ia mencoba lagi membuat dengan menggunakan dokumen milik saudaranya yang lain.
Lalu ia mengaku mengapa di usia yang sudah senja begitu ia masih nekat ngotot mengurus akta kelahiran. Mau masuk sekolah juga tidak. Kuliah juga bukan. Menikah apalagi.
Begini ia mengaku: “Ya kalau saya punya akta kelahiran kan saya bisa mengurus paspor. Jadi saya bisa keluar negeri.”
Di situ saya terhenyak sih.
Bukannya mendapatkan pelayanan dukcapil begini adalah hak asasi warga negara ya?
Kenapa sampai tua saja kok belum punya akta kelahiran?
Ada yang nggak beres sih rasanya kalau mendengar begitu.
Apa ya kendalanya?
Entahlah.
Tapi memang urusan birokrasi di tanah air tidak bisa dianggap mulus dan praktis.
Sangat berbelit-belit!
Dari sulitnya mengurus akta kelahiran kakek-kakek seperti ini, kita tahu bahwa kesulitan memenuhi banyak persyaratan dalam fase kehidupan juga akan membebani orang-orang tanpa dokumen begini.
Tanpa akta kelahiran, tak bakal bisa punya paspor. Otomatis kesempatan melancong ke negara lain pupus. Kalau pun bisa diurus, mungkin harus ‘nyogok’.
Jangan bicara revolusi mental di era pasca reformasi begini karena kita semua tahu itu omong kosong belaka. Negara ini sudah mundur meski di aspek lain memang ada kemajuan juga sih.
Dari situlah, kita bisa paham mengapa keluar negeri itu dicap mewah dan tak terjangkau buat kebanyakan orang Indonesia.
Ya karena selain hambatan finansial (keluar negeri harus menunjukkan saldo rekening sekian puluh juta rupiah yang diendapkan), pastinya kendala dukcapil semacam ini menjadi yang paling utama dan pertama.
Orang-orang yang punya akses terhadap layanan dukcapil biasanya yang relatif sudah lebih mapan dan lebih sejahtera. Kalaupun ada yang di bawah garis kemiskinan sudah ada dokumen dukcapilnya itu berarti mereka beruntung.
Kalau sudah begini rasanya sangat terusik.
Kapan sih negara ini bisa punya birokrasi yang seefisien negara-negara lain?
Saya pengen juga punya KTP elektronik yang benar-benar dan sejati. Bukan KTP elektronik ala ala kayak sekarang.
Kalau Anda bagaimana? Apa masih bisa menolerir semua birokrasi yang berbelit-belit dan nggak jelas ini? (*/)
Selalu bertanya hal yang sama. Sampai capek ngomong luar negeri itu tak selalu keren kok, stop mengagung2kan luar negeri.
Mungkin karena belum tahu aja kali ya. Haha
Iya mungkin, karena kalau dilihat di foto dan media sosial yang indah2 aja.