HALLYU bukanlah istilah yang muncul begitu saja secara alami dari media atau kalangan pekerja seni Korsel.
Terminologi itu dibuat oleh pemerintah Korsel, tepatnya oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mereka.
Jadi jika Anda selama ini beranggapan semua tren yang berhubungan dengan Korean Wave yang dunia alami saat ini hanya karena suatu fenomena alamiah belaka, Anda salah besar.
Ini semua adalah upaya rekayasa yang kontinu dan sistematis oleh pemerintah Korsel sejak pertengahan tahun 1990-an.
Asal Istilah
Istilah “hallyu” dibuat oleh kementerian tersebut saat mereka akan merencanakan, memproduksi, dan mendistribusikan CD musik untuk mempublikasikan musik pop Korea ke negara-negara tetangga mereka di Asia Timur di akhir dekade 1990-an.
Tahun 1999 CD musim berjudul “Korean Pop Music” dijual pemerintah ke luar negeri. Di China, CD tadi dijual dengan label “Hallyu – Song from Korea“.
Istilah ini langsung dipakai orang secara luas di China berkat adopsi istilah itu oleh media China begitu produk budaya itu masuk ke pasaran.
Meskipun pada awalnya istilah ini cuma diterapkan pada musik, dalam perkembangannya produk ini juga menjalar ke produk-produk budaya Korsel lainnya misalnya serial TV.
Anehnya justru serial TV yang meledak lebih dulu daripada musik pop Korea.
Saya sendiri di Indonesia di awal tahun 2000-an menjadi saksi masuknya Korean Wave dengan ditayangkannya serial “Winter Sonata” dan “Full House” yang menjadikan nama Song Hye-kyo melejit.

Jauh sebelum “Full House”, ternyata sudah ada drakor yang mencetak sukses di luar negara produsennya sendiri yakni “What Is Love All about“.
Memang drakor ini baru diputar di negara serumpun Korsel, China, pada tahun 1997 tapi masuknya drakor ini menandai sebuah era baru dominasi Korsel di industri hiburan negara tirai bambu yang sebesar itu.
Stasiun televisi domestik China CCTV menayangkan ulang lagi drakor tadi di slot waktu yang banyak ditonton orang karena banyaknya permintaan dalam bentuk telepon dan surat dari para penonton China.
“Saya mau drakor itu diputer ulang ya. Titik!” seperti itu nada panggilan dan surat mereka.
Sejak tahun 1997-1998 (saat krisis moneter Asia justru sedang parah-parahnya), popularitas drakor melejit di China. Di saat bersamaan, Korsel juga tidak luput dari hantaman badai krisis moneter yang legendaris itu.
Satu negara serumpun yang tak terhindarkan dari Korean Wave gelombang perdana ialah Taiwan. Di sini, drakor yang mendapat perhatian masyarakat ialah “The Autumn Story” yang diputar tahun 2001. Ratingnya sangat tinggi dibandingkan program-program TV kabel sejenis.
Kemudian muncullah drakor “Winter Sonata” yang saya ingat juga masuk Indonesia dan menjadi fenomena tersendiri. Tak dinyana serial ini juga mendapatkan tempat di hati penonton Jepang sampai NHK menayangkan ulang dua episode serial ini dalam sehari. Dahsyattt!
Di Indonesia sendiri, “Winter Sonata” sudah digadang-gadang bakal populer juga dan benar juga. Serial itu juga meledak di sini dan saya sempat menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Saat itu stasiun TV SCTV menayangkannya pada Agustus tahun 2002.
Jadi dibandingkan Jepang, sebenarnya Indonesia lebih dulu. Wow! Mungkin cuma di aspek ini kita tidak terlalu minder dibandingkan Jepang. Haha.
Sejak itu gelombang semakin tak terbendung.

Wabah Budaya
Demam Korea makin meluas ke Asia Tenggara. Vietnam, Filipina, Thailand, dan Malaysia akhirnya kena juga di akhir 1990-an dan awal 2000-an.
Begitu demam “Winter Sonata” usai, “Jewel in the Palace” yang dibintangi Lee Young-ae menyusul dan meledak juga di China, Taiwan, Hong Kong, serta negara-negara Asia Tenggara di pertengahan 2000-an.
Meski selama itu, gelombang Korea ini baru menyentuh Asia Timur dan Tenggara, lama-lama ia menjangkau Asia Barat alias Timur Tengah pad pertengahan dekade 2000-an.
“Jewel in the Palace” yang menceritakan kisah hidup Seo Jang-geum yang penuh lika-liku hingga bisa mencapai status tinggi di masyarakat Korea yang sangat feodal dan kolot sebagai seorang tabib perempuan tersohor itu kemudian dijual hak tayangnya ke lebih dari 120 negara di dunia. Ya sama saja artinya drama ini sudah dinikmati manusia di 5 benua di muka bumi. Sinting memang invasi budaya drama ini.
Saya sendiri saat itu juga tergila-gila dengan drama satu ini. Lee Young-ae menyuguhkan akting dan wajah yang sama-sama tanpa cacat. Kulit wajahnya begitu bening sampai seperti pualam. Dan hingga kini sepertinya tampilan fisiknya juga tak berubah banyak berkat perawatan kulit yang bermutu tinggi.
Berkat meledaknya serial “Full House“, konser musik si aktor utama Rain juga tercatat sukses besar. Konser di Madison Square Garden tahun 2006 dan di Tokyo Dome tahun 2007 sungguh membuatnya kaya raya.

Meski bukan aktor dan rupa serta fisiknya tergolong biasa saja, penyanyi solo rap pria Psy bisa melejit dengan “Gangnam Style” meskipun selanjutnya ia seolah tenggelam sekarang. Hit selanjutnya tak terdengar.
Di puncak ketenarannya, video klip Psy di YouTube termasuk video yang paling banyak ditonton.
Salah satu trik sukses Korean Wave memang gelombang ledakan yang susul-menyusul. Usai satu mereda, tak lama berselang yang lain muncul. Dan ini terus diupayakan bisa dijaga secara kontinu dan berkesinambungan. Hebat banget ini sih.
Salah satu yang perlu diperhatikan ialah selain peran pemerintahnya yang sangat proaktif dan penuh inisiatif untuk memulai dan memelihara Korean Wave ini agar terus berada di puncak, peran pers Korsel sendiri terbilang sungguh ciamik.
Pers Korsel selalu punya cara untuk memperluas cakupan Korean Wave. Berkat mereka, publik dicuci otaknya untuk menerima gagasan bahwa Korean Wave tidak cuma soal musik dan drama saja.
Tapi juga sampai ke dunia kuliner, misalnya. Pers mendengungkan kesuksesan restoran Korea di China yang dianggap fenomena Korean Wave juga. Begitu juga saat mobil-mobil produksi Korsel makin banyak dijual ke Asia Tenggara.
Dunia pengajaran bahasa asing juga tak terhindar dari gelombang ini. Di Mongolia, tercatat ada lonjakan jumlah peminat pelajaran bahasa Korea di awal 2000-an. Di Indonesia, saya sendiri belajar bahasa Korea saat itu dengan bimbingan seorang penutur asli yang tinggal di Semarang dan bersedia mengajar di kampus saya dahulu. Kursus bahasa Korea ini berbayar dan diadakan seminggu sekali dengan fokus pada pengenalan kosakata dasar dan tata bahasa sederhana serta ekspresi-ekspresi paling penting dalam percakapan harian. Dan saya cukup antusias dalam belajar dengan harapan bisa sedikit memahami percakapan dalam drama korea kesukaan saya, “Full House“. Betul, sampai sejauh itulah kegilaan dan kegandrungan saya saat itu!
Terlepas dari wacana yang terus dipupuk media Korsel, publik di negara itu juga sudah makin paham. Berita-berita Hallyu dikumandangkan dengan rasa bangga dan suka ria dengan nasionalisme ala Korea. Tidak ada yang nyinyir apalagi sinis dan analitis soal Korean Wave di dalam negeri mereka. Apakah ada yang memojokkan upaya pemerintah dan para pekerja seni dan hiburan? Katanya sih tidak ada. Jadi dengan kata lain, setiap warga Korsel juga suportif soal ini.
Bagi publik domestik, Korean Wave disajikan oleh pers sebagai bukti bahwa tingkat kompetitif Korsel di kancah internasional sudah tidak bisa dianggap sepele dan daya jualnya sudah sangat tinggi berkat kekuatan emosional yang besar sekali di benak para konsumen luar negeri. Dan benar sekali sih, itu yang saya rasakan. Saya beli barang-barang Korsel kadang bukan karena butuh tapi juga ada dorongan emosional yang memang tidak bisa dimasukkan logika. Ya karena suka saja. Tidak ada alasan kuat yang masuk akal. Dan hebatnya ini juga merasuk ke ranah penelitian akademis tentang Korean Wave.
Sekali lagi, peran pemerintah yang besar tidak cuma saat di awal Korean Wave diciptakan. Mereka secara konsisten mengawal gelombang demi gelombang ini melalui berbagai macam cara yang sulit dideteksi orang awam seperti kita. Ada yang menduga mereka menggunakan berbagai kanal komunikasi dan jejaring yang kompleks serta menggerakkan seluruh wacana, dialog dan jejaring tersebut untuk menjaga Korean Wave tetap pada koridor yang ditetapkan.
Untuk menjaga stabilitas Korean Wave, masing-masing subjek menyebarkan wacana dengan sudut pandang nasionalisme budaya dan menyingkirkan sudut pandang lainnya. Pemerintah Korsel tinggal memberi tugas pada masing-masing elemen dan mengucurkan anggaran yang diperlukan agar agenda tercapai dengan baik. Pemerintah rela mengucurkan dana banyak demi mempertahankan hegemoni budaya populer yang sudah dirintis sejak 2 dekade lalu itu.

Bagaimana Korean Wave Bisa Dipertahankan
Semua kegilaan ini berawal dari pemerintahan presiden Korsel tahun 1993 hingga 1998. Presiden Kim Young-sam menggagas pembangunan jejaring budaya setelah termotivasi oleh sebuah laporan mengenai pendapatan ekspor film terkenal garapan Steven Spielberg “Jurassic Park” yang konon bisa disetarakan dengan nilai ekspor 1,5 juta unit mobil Hyundai dari negeri ginseng itu.
Presiden Kim sontak terbelalak dan ngiler dengan prospek keuntungan yang bisa dinikmati bangsanya jika memiliki produk budaya yang bisa diekspor seperti film tadi.
Dimulailah sebuah upaya untuk merintis sebuah kebijakan yang serius dan intensif demi menciptakan sumber pendapatan negara yang lebih tinggi lewat sektor budaya.
Presiden Kim mendelegasikan tugas penting ini pada Biro Industri Budaya yang bernaung di bawah Kementerian Kebudayaan Korsel kala itu. Biro ini sebelumnya cuma bekerja untuk melindungi artefak-artefak budaya tradisional dan mempromosikan seni Korea.
Pemerintahan Kim berkomitmen penuh untuk menggelontorkan investasi yang tak sedikit pada industri seni dan budaya. Mereka mulai menggalang dana investasi untuk memproduksi film, musik pop, dan program siaran TV yang semenarik mungkin. Perusahan-perusahaan elektronik raksasa Korsel seperti Samsung, Hyundai dan Daewoo ditarik pemerintah untuk menanamkan investasi juga.
Tahun 1995 menjadi saksi diluncurkannya TV kabel dan seketika ini menjadi sumber harapan bagi pemerintah Korsel yang ingin melejitkan produk budaya mereka. Kanal TV kabel ini bisa digunakan sebagai saluran promosi produk budaya Korsel.
Optimisme pemerintah disambut kalangan penyanyi dan pemain drama yang mulai menarik perhatian pemirsa di China yang menjadi tetangga Korsel.
Upaya Presiden Kim Young-sam tak berhenti sampai di situ. Di pemerintahan penerusnya Kim Dae-jung (1998-2003), upaya yang sama dilanjutkan lagi meski negara itu juga babak belur dihajar krisis moneter 1998.

Di dalam kondisi ekonomi yang kurang menggembirakan, pemerintah berpikir bahwa ketenaran musik pop Korsel bisa digunakan sebagai katrol dan mesin pemulih ekonomi Korsel yang anjlok.
Di titik inilah pemerintah Korsel mulai mempertimbangkan industri budaya sebagai fondasi utama ekonomi nasional. Anggaran pun dinaikkan hingga 500 kali lipat di masa presiden ini dan keputusan itu didukung dengan undang-undang pula. Jadi Korsel habis-habisan membuat Korean Wave sebagai sandaran ekonomi mereka memang sejak lama.
Tahun 1998, Korsel membolehkan budaya pop Jepang masuk setelah sebelumnya melarangnya. Tujuan utama dibukanya kran impor budaya itu ialah untuk menguji ketangguhan industri budaya dalam negeri mereka sendiri dahulu sebelum mengepakkan sayap ke pasar asing.
Dan seiring dengan dibukanya pintu impor, mereka juga mengekspor K-pop ke Jepang yang meski negara sahabat tapi juga mirip Indonesia dan Malaysia, kerap bersitegang gara-gara perselisihan teritori dan sejarah yang kelam. Kalau Anda tahu, sejumlah perempuan Korea dijadikan budak seks juga seperti yang dialami oleh sejumlah perempuan Indonesia di masa penjajahan Jepang dulu.
Pemerintah Korsel terus menyempurnakan apa yang telah mereka rintis. Mereka mengubah industri yang dipimpin negara menjadi sebuah sistem manajemen tersendiri.
Di industri perfilman, para pekerja film makin serius dengan mendirikan Dewan Film Korea (KOFIC) dengan tujuan melindungi industri film mereka sendiri dari serangan Hollywood dan meningkatkan kapasitas ekspor Korea dengan meningkatkan keragaman film dan memperluas jangkauan film mereka ke pasaran dunia.

Di tahun 1999, pemerintah juga memperluas fokus ke industri game dan siaran. Mereka membentuk Korea Game Industry Agency dan Korea Broadcasting Visual Industry Agency (yang kemudian dilebur jadi KOCCA). Keduanya mengundang organisasi masyarakat sipil dan industri yang berkaitan sebagai anggota yang akan menerapkan kebijakan yang sudah ditetapkan pemerintah.
Agenda dan kebijakan pemerintah ini diteruskan ke pemerintahan Presiden Roh Moo-hyun (2003–2008). Saat itu drama seri Korsel sudah menjamur di Asia tapi belum mencapai era puncaknya.
Pemerintah menciptakan skema insentif yang kuat bagi mereka yang bersedia membantu upaya pemerintah dalam mendorong perkembangan industri dan bisnis budaya yang sangat masif ini.
Invasi ke Dunia Akademis
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Korsel mendirikan sebuah agensi baru bernama KOFICE dan meminta KOCCA yang berdiri tahun 2001 untuk mendorong terjadinya Korean Wave di dunia untuk membuka kantor-kantor baru di negara-negara Asia untuk meluncurkan studi terhadap fenomena Korean Wave. Jadi mereka memang merencanakan ini secara rinci.
Sejumlah pihak terkait seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sains, Kementerian Perencanaan Masa Depan dan Teknologi Komunikasi dan Informasi, dan badan pemerintahan lainnya di bidang pariwisata dan perdagangan bersatu padu mendukung Korean Wave.

Pemerintahan selanjutnya yang dipimpin Presiden Lee Myung-bak (2008-2013) mencanangkan target mereka untuk mengembangkan Korsel sebagai negara dengan kekuatan industri konten.
Kebijakan Lee itu diiringi dengan perubahan nama kebijakan, dari “industri budaya” menjadi “industri konten budaya”. Wow! Dan tentunya ada bedanya ya isinya. Bukan sekadar perubahan nama tapi esensinya sama saja seperti yang sering dilakukan pemerintah di negara X itu. Haha.
Lee merancang rencana promosi ini dan menitahkan 11 kementerian di bawahnya mendukung rencana tersebut agar menjadi nyata segera.
Meski menerapkan sistem demokrasi dan terkesan tidak setoriter kembaran utaranya, Korsel sebetulnya sebuah negara dengan sejarah militer otoriter dahulunya di dekade 1960-an dan 1970-an.
K-pop, Korean Wave 2.0
Di periode kepresidenan Lee, Korean Wave memasuki babak baru. Drakor memang sudah mendunia dan makin menurun pamornya (meski tidak di Indonesia terutama di masa pandemi). Di babak baru ini, pemerintah berencana mengekspor musik pop Korea sebagai komoditas untuk menciptakan Korean Wave baru yang dibantu oleh pers Korsel yang membabibuta menyebarkannya sebagai “Hallyu 2.0” atau “New Hallyu“.
Pemerintah berambisi mengekspor K-pop sampai di luar Asia. Dan rencana akbar itu dibekingi oleh unsur-unsur industri media, industri konten, kalangan akademisi, dan kelompok awam. Harus diakui belum ada sih negara manapun yang upaya ekspor budayanya bisa menyamai tingkat komitmen dan kekompakan sebagaimana yang bisa ditemui dalam fenomena Korean Wave ini.
Jadi tidak heran sekarang K-pop bisa masuk ke telinga orang Eropa, Amerika Latin, dan negara-negara yang jauh dari Korsel seperti negara-negara Afrika.
Hanya saja, sayangnya sudut pandang Korean Wave ini makin meluas justru makin menyempit sudut pandangnya menjadi cuma soal nasionalisme Korea di bidang ekonomi dan budaya.

Korean Wave sebagai Ekonomi Kreatif
Pemerintahan Presiden Park Geun-hye yang mulai berjalan tahun 2013 mencanangkan visinya yakni “Ekonomi Kreatif”. Meski terdengar bagus, istilah ini memang ambigu. Cakupannya luas sekali, bisa dari teknologi informasi dan komunikasi, budaya, dan bidang lainnya.
Bisa jadi ini sebuah revolusi karena Korsel sebenarnya berbasis industri manufaktur tapi kemudian pelan-pelan juga merambah industri yang produknya bukan alat-alat berat atau produk elektronik melulu.
Presiden Park menandaskan Korean Wave sebagai salah satu alat untuk mencapai visinya tadi. Pemerintahannya mendukung semua bisnis yang berkaitan dengan budaya pop dan teknologi informasi dan komunikasi. Dan masyarakat juga menghormati para pelaku bisnis jenis ini.

Pelajaran buat RI
Lalu apa yang bisa Indonesia pelajari dari ini semua?
Banyak ya. Tapi yang terpenting ialah adanya strategi nasional yang terarah dan berkesinambungan. Halah!
Lihat saja pemerintah Korsel yang sejak 1993 sampai detik ini masih konsisten di jalur industri budaya ini. Memang ada perubahan tapi tidak serta-merta radikal dan perubahan itu justru menyempurnakan yang sudah ada sebelumnya atau membuat kebijakan yang sebelumnya sudah ada tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Jadi di sinilah pentingnya mengendalikan ego pemimpin, rezim dan sektoral serta lebih fokus pada kepentingan bangsa secara keseluruhan. Bukan sosok presiden tertentu. Ini berbeda dari Indonesia yang seolah memandang kesuksesan seorang presiden sebagai jasanya semata. Helooo, itu kan kerja keras semua elemen bangsa. Jangan diakui sendirian lah hasilnya.
Tiap pemerintahan dan presiden di Korsel tampaknya memiliki visi besar yang sama. Kebijakan industri budaya yang kemudian berubah dari berorientasi perlindungan menjadi berfokus pada promosi. Dan perpanjangan tangan pemerintah dalam industri budaya dan konten ini makin kentara saja.
Efek negatif dari campur tangan pemerintah ini tentu saja ada. Korean Wave menjadi tidak organik dalam berkembang dan seolah cuma sebagai alat promosi ekonomi dan membangun brand buat bangsa Korsel.
Ini berbeda dari pertukaran budaya yang seimbang. Dalam Korean Wave yang didorong pemerintah Korsel, negara ini seolah memonopoli interaksi budaya yang terjadi. Ia menjadi pemimpin terus dan tak mengindahkan budaya lain yang ada di dunia.
Kalau Anda generasi lama seperti saya, Anda pasti pernah dengar ada program bernama “Titian Muhibah” yang saban tahun dilaksanakan Pemerintah RI zaman Orba dengan 2 negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura. Nah, di Titian Muhibah ini kita bisa saksikan interaksi budaya yang seimbang.
Di era sekarang, Indonesia seolah tidak diberikan kesempatan oleh Korsel untuk unjuk budaya di pasar Korsel juga. Dan pemerintah RI juga tidak kelihatan ada upaya yang kuat dan komitmen yang nyata untuk membawa produk budaya RI ke Korsel.
Tak ayal, sebagian masyarakat Indonesia juga muak dengan demam yang tak usai ini. Mungkin ini adalah komentar yang bisa mewakili rasa eneg itu:
Ingatlah bahwa ini bukan ujaran kebencian kepada Kpopers, ya. Aku fans BLACKPINK, tapi aku peduli dengan kepentingan non Kpopers. Jujur saja aku benar-benar bosan dengan maraknya artis Korea yang diundang ke Indonesia. Dari BTS, TWICE, hingga grup lain yang aku lupa namanya, dan sekarang BLACKPINK??? ya Tuhan trend ini sudah terjadi selama DUA TAHUN!!! Selama dua tahun terakhir ini pihak stasiun TV terus saja menguntungkan Kpop stan, padahal nggak semua orang suka Kpop! Bagaimana dengan nasib non Kpopers terutama pecinta musik Barat? Kalaupun ada artis Barat yang datang ke Tanah Air itu pasti pihak lain (yang tidak berkaitan dengan stasiun TV manapun) yang mengundang jadi tidak akan disiarkan di TV, sedangkan artis Korea selalu pihak TV yang mengundang. Aku nggak main-main ya, aku sampai melewatkan event Tokopedia yang terbaru, padahal mereka telah mengundang satu-satunya girlband yang aku sukai, itu karena aku benar-benar jengkel. Harapanku kedepannya semoga pihak pertelevisian Indonesia mengundang artis Barat seperti Ariana Grande, Billie Eilish, Little Mix, Dua Lipa, atau yang lainnya deh. Sudah cukup dengan event berbau Korea-Koreaan, sudah saatnya pihak TV memuaskan hati non Kpopers. Kalian Kpopers jangan kesal ya! (dikutip dari sebuah komentar untuk artikel “Fenomena Korean Wave di Indonesia”)
Yang menyedihkan sih bagaimana mereka yang muak ini bahkan sudah tidak ingat lagi dengan budaya bangsanya sendiri.
Karena ketidakseimbangan yang mencolok mata ini, rasanya memang tak berlebihan jika saya mengatakan bangsa Indonesia sedang ‘dijajah’ dalam aspek budaya oleh Korsel.
Kenapa?
Karena bangsa kita tak berdaya dan tak bisa mengimbangi dengan kekuatan dan sumber daya industri kreatifnya sendiri.
Hal lain yang bisa dipelajari ialah bagaimana Korsel dengan lihai membangun jejaringnya untuk menyukseskan Korean Wave ini. Mereka mau bersusah payah mendirikan berbagai macam agen dan biro dan hebatnya semua agen itu bekerja secara selaras dalam arahan konduktor dalam suguhan ‘orkestra’ yang mencengangkan dan membius banyak negara ini.
Yang lagi-lagi memukau ialah bagaimana kompaknya warga Korsel dan kalangan akademisi, pekerja seni hiburan dalam mendukung program besar pemerintah mereka. Tidak ada kata NO. Tidak ada bantahan. Semuanya seiya sekata untuk berkontribusi sesuai bidang masing-masing. Karena semuanya paham ini untuk kebaikan bersama dan tidak ada satu pihak yang disanjung berlebihan untuk hasil kerja keras bersama tadi.
Bahkan elemen swasta seperti agensi entertainmen yang mencetak bintang-bintang semacam Girls’ Generation dan BTS itu juga dirangkul pemerintah dengan meminta mereka menyebarluaskan wacana dan perbincangan soal nasionalisme budaya Korsel ini dalam balutan musik Kpop yang enak didengarkan.
Agensi-agensi ini bekerja bersama pemerintah untuk memberikan asupan berita bagi pers Korsel yang ujungnya nanti menyukseskan agenda Korean Wave pemerintah. Jadi gosip-gosip yang beredar di media sosial dan website seperti Soompi.com itu bukan semata-mata bersifat organik dan alami.
Agensi-agensi tadi memanfaatkan ketenaran global untuk merekrut para penampil asing (seperti kita ketahui selebriti-selebriti Korsel sudah mulai mengajak kerjasama seniman asing Barat bahkan sudah masuk ke dunia perfilman Hollywood dan menunjukkan kekuatannya di AS yang notabenen jadi pusat perbincangan budaya global).
Di Indonesia, mana bisa seperti ini?
Ada kompetisi yang berlebihan dan ego sektoral antardepartemen, antarpemerintahan daerah, antarkepala daerah, dan itu sudah mengakar kuat. Jadi kelihatannya sih guyub dan rukun, tapi kalau sudah urusan politik dan kekuasaan, urusan masing-masing lah! Egoisnya sampai ubun-ubun! Haha. (*/)
Rujukan:
“The Korean Wave: Evolution, Fandom, and Transnationality“. Edited by
Tae-Jin Yoon and Dal Yong Jin. 2017. Lexington Books
KOCCA.. dulu gw pernah ngobrol ni sama salah satu ‘volunteer’nya.. jadi udah tau lama K-wave ini adalah racikan pemerintahnya yang sistematis, terstruktur, dan masif – di segala lini 😀 keren sih
thanks udah mampir baca…