
CAPEK dengan pandemi tapi nggak bisa ngapa-ngapain juga? Memakilah sampai kamu puas.
Buat Anda yang berpikiran sama dengan profesor di atas, saya tidak menyalahkan.
Tapi mari kita berpikir dari perspektif lain: memaki adalah penyaluran rasa kesal dan frustrasi yang paling mudah, murah dan tak memberikan dampak fisik (setidaknya).
Solusi saya bagi orang seperti profesor di atas ialah memblokir tweet yang mengandung kata-kata kotor yang tidak ia sukai. Mungkin seperti “sialan”, “bangke”, atau “kntl”.
Oke itu sih urusan dia ya.
Mari kita urusi urusan maki-maki ini.
Jadi gini, ada studi soal dampak memaki ini pada kesehatan. Dengan memaki seseorang bisa menahan sakit lebih lama.
Wow!
Peneliti-peneliti Keele University’s School of Psychology menemukan adanya efek penurunan sakit pada mereka yang memaki.
Berkata kotor biasanya memiliki efek yang melebih-lebihkan atau ‘lebay’ soal intensitas rasa sakit yang dirasakan seseorang.
Memaki membuat kita jadi lebih bisa menahan sakit yang tak tertahankan.
Subjek penelitian dihadapkan pada uji mandi es dan mereka dipersilakan memaki sepuasnya saat merendam diri di bak mandi es ini.
Hasilnya: mereka yang tahan lebih lama saat mandi es ialah subjek yang melepaskan kesakitan itu dengan memaki-maki.
Di saat pandemi begini, saat orang tak tahu lagi harus bertahan hidup dengan cara apa, terutama mereka yang ada di lapisan ekonomi bawah sudah frustrasi dengan kinerja pemerintah yang juga sama bingungnya, di sini saya paham betul bahwa memaki adalah solusi supaya tetap waras meski ya tidak akan menyelesaikan masalah atau menguatkan argumen, seperti kata profesor itu. Karena itu bukan wewenang rakyat kecil yang sedang memaki-maki ini. Rakyat kecil cuma bisa menunggu dan melihat sementara mencoba untuk bertahan hidup.
Dilarang keluar rumah tapi pemerintah memberikan bantuan terlambat (atau malah nggak sampai sama sekali). Diserukan ayo vaksin tapi distribusi vaksin juga lambatnya minta ampun dan prosedurnya melelahkan. Anak mau sekolah online tapi kok kuota habis dan gawai rusak karena panas (kalau itu masih ada duit untuk beli hp pintar juga). Please deh, gimana nggak pengen maki-maki?
Nah, lain halnya kalau ada pejabat yang memaki pejabat lain seperti kasus Kemal Arsjad yang mengatakan mau meludahi Anies Baswedan (sumber: detik.com). Apakah itu karena ada dendam pribadi atau sentimen personal? Karena saya yakin, ia bukan seorang penjual asongan yang tak bisa makan atau anaknya sakit saat PSBB diberlakukan secara ketat di Jakarta.
Jadi tolonglah Anda yang berpikir bahwa memaki bukanlah strategi menghadapi pandemi yang beradab, coba ajarkan rakyat kecil itu bagaimana melepas tekanan jiwa dan frustrasi itu dengan lebih baik dan beradab.
Jangan cuma mengernyit mencap orang-orang kecil yang memaki sebagai manusia tak tahu adab dan aturan. Mereka hanya menjerit minta pertolongan karena sudah terjepit sedemikian rupa.
Kalau memang kita belum bisa menolong, ya sudah cukup maklumi saja lah. Jangan disikapi dengan sinis. Berempatilah sedikit.
Jika Anda sudah tak ada anastesi untuk meringankan pasien yang sedang dioperasi, layakkah Anda menyuruhnya tutup mulut dan mengatakan: “Apakah makian Anda akan membuat Anda sembuh atau operasi ini jadi sukses?”
Begitu juga dengan orang-orang kecil yang sedang terbebani pandemi ini. Mereka juga sama dengan pasien yang sedang dibedah badannya tanpa obat bius sama sekali karena rumah sakitnya sudah kehabisan stok. Jadi saran saya: diamlah jika Anda tak merasakan hebatnya sakit yang ia sedang tanggung. (*/)
Leave a Reply