Pandemic Diary: Vaksinasi Bikin Keki

Jaga jarak hanya konsep semata

VAKSINASI memang digadang-gadang sebagai penggulung pandemi. Tapi dengan tingkat efikasi yang masih rendah plus mutasi virus yang memunculkan varian anyar yang seakan tiada habisnya, vaksinasi seolah cuma harapan semu.

Bahkan vaksinasi malah bisa jadi sumber kerumunan yang memicu penularan yang lebih luas lagi.

Tak percaya?

Lihat saja ini semua.

Klaster vaksinasi potensial

Sebenarnya mau memberi apresiasi tapi saya juga tak mau menutup mata bahwa ada yang harus diperbaiki.

Saya tak percaya bahwa vaksinasi bisa dilakukan dengan taat protokol kesehatan yang ketat. Dan memang begitulah adanya.

Tidak udahlah bicara soal masyarakat di Indonesia ujung berung. Di sini yang cuma sejam dari Jakarta saja sudah rendah edukasinya soal jaga jarak.

Kendor akibat bosan menunggu

Saya mendaftar vaksinasi di dekat rumah dan di kantor kecamatan ini kerumunan terjadi.

Saya datang 30 menit sebelum dibuka dan sudah panjang lho antreannya.

Kemudian yang menyebalkan adalah semua tak bisa jaga jarak. Petugas pun tidak paham konsep itu dan cuma koar-koar tanpa ambil tindakan tegas.

Proses pendaftaran juga primitif. Pakai fotokopi. Entah sampai kapan cara begini masih dipakai. Abad ke 21 dan Revolusi Industri 4.0 dan kita masih pakai fotokopi untuk birokrasi ke mana-mana. Saya mengutuk kekolotan bangsa ini soal itu. Adiksi fotokopi ini sungguh menjengkelkan. Sungguh!

Kenapa tak pakai registrasi via whatsapp? Dan kenapa tak disampaikan berapa kuotanya?

Di tengah mengantre, kami diberitahu: “Maaf bapak ibu yang tidak bisa menunggu lama, bisa besok ke sini lagi.”

Alangkah baiknya diumumkan sehari vaksinasi jumlah maksimal berapa orang sehingga bisa dicegah antrean yang tak perlu. Sungguh saya tak habis pikir!!!

Ibu-ibu penyerobot

Vaksinasi juga menguak sifat asli bangsa ini yang tak suka mengantre. Semua maunya didahulukan. Kesal rasanya dengan sikap barbar begitu.

Seperti ibu ibu ini. Dia mengantre di belakang saya dan karena saya berupaya jaga jarak dengan orang di depan, dia pikir itu celah untuk menyela antrean.

Makin murkanya saya lagi ialah saat mengantre gegara saya jaga jarak dari petugas, ia selalu mendahulukan yang merapat ke arahnya. Iya itu petugas resmi vaksinasi. Paham tidak sih soal jaga jarak?

Jajan di lokasi vaksinasi

Sembari menunggu antrean, muncullah pedagang oportunis dari kelapa muda sampai pecel. Tentu saja saat menawarkan dagangan dan melayani pembeli, masker turun. Haha.

Petugas vaksinasi tapi kok ikut jajan, ngobrol dan buka masker?

Yang membikin saya tambah geli geli kepengen nabok ialah saat seorang petugas pendaftaran rehat dan membeli es kelapa muda lalu menurunkan masker, minum dan mengobrol. Haha.

Kerumunan begini memang sudah susah diatur. Petugas tak berdaya. Bisanya koar-koar pakai TOA. Tak digubris.

Keluhan utama saya adalah tata cara dan alur vaksinasi yang tak jelas. Di sini jalur arus masuk dan keluar jadi satu dengan orang yang mengantre. Jadi amburadul sekali. Petugas selalu bilang jaga jarak dan jangan berkerumun tapi bagaimana bisa jika tidak dijelaskan alur yang jelas?!

Persyaratan juga membingungkan. Ada warga datang dengan bawa salinan KK saja dan tak diperbolehkan tanpa ada salinan KTP. Padahal di pengumuman ada garis miring yang artinya ya bisa pilih salah satu salinan.

Nggak heranlah kalau ternyata memang terbawah dan terparah di peringkat ketahanan terhadap covid.
Speechless…😬

Di titik ini, saya ingin menjerit: “Kenapa sih Tuhan aku dilahirkan di sini?!!!”

Di hari kedua pasca vaksinasi perdana, saya tak merasakan demam atau pegal berlebihan di lengan kiri bekas tusukan jarum suntik.

Baru saya perhatikan memang muncul tanda lebam seperti habis dipukul.

Anehnya saya sendiri masih terus berolahraga tadi padahal kata teman, baiknya habis vaksinasi istirahat. Tapi bagaimana ya? Kalau kebanyakan istirahat juga badan jadi lesu.

Yang membuat saya tak habis pikir ialah saat menjelajahi akun Instagram pemerintah kecamatan tadi. Lho kok yang diunggah foto-foto saat antrean belum membludak dan menggila? Haha.

Sebelum antrean membludagh…
Jelas ini bukan antrean pukul 8 yang saya saksikan tadi..
Terlihat terkendali tapi cuma ilusi..

Saya tidak berkata pemerintah kecamatan tadi mencoba menipu publik tapi saya hanya ingin mengatakan bahwa mereka memilih untuk menunjukkan versi kebenaran atau fakta yang menguntungkan mereka.

Dan dari sisi saya sebagai warga sasaran vaksin, saya juga berhak menjelaskan apa yang saya alami dan apa yang bisa diperbaiki lagi dari itu semua. (*/)



2 responses to “Pandemic Diary: Vaksinasi Bikin Keki”

  1. […] [Baca pengalaman vaksinasi pertama saya: “Vaksinasi Bikin Keki”] […]

  2. […] juga akhirnya bisa menikmati vaksinasi pada Agustus 2021. Pelaksanaan vaksinasi memang jauh dari ekspektasi tapi apa mau dikata. Beginilah kedisiplinan […]

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: