SIAPA yang sudah bosan dengan film dan konten apapun dari negara-negara mesin pengekspor konten semacam Amerika Serikat, Inggris, Korsel, Jepang, China?
Beberapa dekade terakhir ini rasanya mayoritas sajian untuk otak kita adalah konten yang diproduksi negara-negara Anglosaxon (yang ngomongnya pake bahasa Inggris muluk) dan negara-negara Asia Timur (China, Jepang, Korsel) yang kreativitasnya dalam bidang satu ini memang membagongkan seluruh dunia.
Tapi pernahkah kita berpikir: “Owh ada yang nggak kalah bagus loh di luar semesta Korea, China, Jepang dan Amerika serta Inggris ini!”
Maksud saya, ayolah, jangan cuma makan menu itu-itu melulu. Lakukan sedikit riset dan perjuangan untuk menemukan konten-konten yang tidak ada dalam daftar rekomendasi Netflix.
Mengkonsumsi konten demi agar bisa memiliki bahan pembicaraan dengan teman-teman sepergaulan memang ada untungnya (terutama buat yang FOMO parah) tapi keseragaman konsumsi konten yang dikonsumsi itu juga membuat kita menjadi mirip kura-kura dalam tempurung. Daya pikir kritis menurun, wawasan juga segitu-gitu aja. Bubble atau gelembung yang diciptakan setelah menonton konten yang seragam dengan formula yang itu-itu saja rasanya sangat mengungkung. Pengap saja sih rasanya.
Dari sejumlah tontonan non-Asia Timur dan Anglosaxon yang saya mulai cari di Netflix, saya menemukan ini. Bukan film atau seri sih tapi lumayan membuat terhibur dan membuka mata.
“Ari Eldjárn: Pardon My Icelandic“
Menonton aksi komika Ari Eldjárn dari Islandia ini membuat saya sadar betapa beruntung dan tidak beruntungnya menjadi sebuah bangsa yang populasinya melimpah ruah kayak Indonesia.
Dalam sebuah pertunjukannya, Ari membeberkan kompleksitas pengalamannya sebagai seorang warga Islandia di tengah masyarakat Eropa yang penuh dengan dominasinya masing-masing.
Di dalam candaan-candaannya, Ari mengungkap sindrom “inferiority complex” yang diderita bangsanya terutama yang bisa dirasakan tatkala ia bergaul dengan orang Eropa lainnya atau setidaknya dengan sesama bangsa Skandinavia.
Saat ia tinggal di Inggris dan menyaksikan pertandingan sepakbola antarnegara, tentu ada sesi pemutaran lagu nasional. Ari berkelakar di saat banyak lagu kebangsaan bertema kebanggaan menjadi sebuah bangsa yang kuat, tak terkalahkan, justru lagu nasional Islandia sama sekali jauh dari kesan sangar dan gahar yang lazimnya dicerminkan dalam lagu-lagu kebangsaan negara.
Lagu kebangsaan Islandia berjudul “Lofsöngur” atau “Ó Guð vors lands” yang liriknya digubah Matthías Jochumsson dan digubah Sveinbjörn Sveinbjörnsson. DI tahun 1944, negara itu mengadopsi lagu ini sebagai lagu kebangsaan mereka.
Isi liriknya begini:
Our country’s God! Our country’s God!
We worship Thy name in its wonder sublime.
The suns of the heavens are set in Thy crown
By Thy legions, the ages of time!
With Thee is each day as a thousand years,
Each thousand of years, but a day,
Eternity’s flow’r, with its homage of tears,
That reverently passes away.
Iceland’s thousand years,
Iceland’s thousand years!
Eternity’s flow’r, with its homage of tears,
That reverently passes away.Our God, our God, we bow to Thee,
Our spirits most fervent we place in thy care.
Lord, God of our fathers from age unto age,
We are breathing our holiest prayer.
We pray and we thank Thee a thousand years
For safely protected we stand;
We pray and we bring Thee our homage of tears
Our destiny rest in Thy hand.
Iceland’s thousand years,
Iceland’s thousand years!
The hoarfrost of morning which tinted those years,
Thy sun rising high, shall command!Our country’s God! Our country’s God!
Our life is a feeble and quivering reed;
We perish, deprived of Thy spirit and light
To redeem and uphold in our need.
Inspire us at morn with Thy courage and love,
And lead through the days of our strife!
At evening send peace from Thy heaven above,
And safeguard our nation through life.
Iceland’s thousand years,
Iceland’s thousand years!
O, prosper our people, diminish our tears
And guide, in Thy wisdom, through life!
Di sini liriknya lebih berisi pada tema pasifis dan objek-objek yang menenteramkan jiwa seperti bunga, doa, keabadian, pengabdian pada Tuhan. Tak ada nasionalisme yang membuncah atau patriotisme yang meluap-luap. Apalagi tekad baja untuk mempertahankan negara dan bangsa sebagaimana yang kita miliki.
Indonesia tanah airku/ Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri/ Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku/ Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru/ Indonesia bersatu
Hiduplah tanahku/ Hiduplah negrikuBangsaku Rakyatku semuanya/ Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya/ Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya Merdeka Merdeka Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya Merdeka Merdeka Hiduplah Indonesia Raya
Indonesia Raya Merdeka Merdeka Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya Merdeka Merdeka Hiduplah Indonesia Raya
Di sini ada penyebutan “tumpah darah” yang menekankan bahwa ini semua bukan gratisan. Kita berjuang mati-matian untuk mendapatkan kemerdekaan. Sebuah hal yang sama sekali tak disinggung di lagu kebangsaan Islandia padahal kalau kita mau bisa lho mengangkat keindahan alam kita ini. Bayangkan berapa banyak flora dan fauna yang indah dan bisa dibanggakan.
Karena Islandia cuma negara kecil dengan populasi 350.000 jiwa, Ari mengatakan inferiority complex itu biasanya mereka tutupi dengan tameng “per kapita”. Apapun bisa dibuat lebih perkasa saat frasa “per kapita” diberikan di belakangnya. Secara teori mereka memang bisa dibilang lebih makmur dan maju dibandingkan bangsa kita yang populasinya ‘pecah’ luar biasa tak terkendali.
Karena populasi yang kecil banget dan peran dalam geopolitik dunia yang relatif kecil, orang-orang Islandia sampai nggak begitu peduli apakah negaranya masuk berita untuk publisitas positif atau negatif tapi asal sudah dimasukkan berita saja sudah bangga. Eksistensi mereka seakan sudah diakui. Mau dibicarakan soal yang baik atau buruk bukan masalah besar buat mereka. Serius. Tak pernah dibicarakan adalah sebuah pengakuan bahwa kamu tak ada. Dan itu sangat mengerikan buat negara yang sudah berjuang melawan inferiority complex. Indonesia masih sangat beruntun dibandingkan Islandia, karena setidaknya kita masih punya sumber daya alam, keindahan banyak sudutnya, luasnya yang tak terperi, belum lagi masalahnya yang skalanya masif, kolossal dan tak pernah berhenti. Bagaimana bisa dunia mengalihkan perhatian dari kita? Indonesia mirip seorang gadis yang mencari jatidiri, mabuk-mabukan, suka bolos, coba-coba ganja dan sabu-sabu, sering dipanggil guru BP tapi juga punya kecerdasan sedikit banyak di kelas dan saat berdebat dengan guru dan ortunya dan pintar bersolek saat akan berkencan jika ia mau. Ia primadona banget, cuma agak ceroboh dan slengean aja. Islandia lebih mirip seorang anak laki-laki yang tubuhnya kecil dan lemah dan suka duduk di pojok kelas lalu diketahui seorang gay pula. Ia di ujung spektrum “aneh dan ganjil”. Ia tak bisa menjadi populer dengan cara yang lazim. Ia harus menemukan jalannya sendiri untuk bisa dikenal atas kelebihannya.
Meski jumlah populasinya sangat kecil, bukan berarti luas wilayah Islandia secuil kayak Singapura atau Vatikan. Islandia luasnya 102.775 km persegi, yang melebihi Irlandia dan hanya lebih kecil dari Inggris Raya (Great Britain). Jadi ia pulau kedua terbesar di Eropa lho.
Inferiority complex yang diderita bangsa Islandia ini bisa tecermin saat Ari bertandang ke Denmark. Ia mencoba berbicara dalam bahasa Denmark tapi gagal dipahami dan malah disuruh berbahasa Inggris saja. Kemudian Ari menyaksikan sendiri bagaimana orang Denmark malah lebih menghargai orang yang berakses Inggris. Ia merasa orang yang berakses Inggris lebih dihormati di Denmark daripada orang Islandia. Mungkin karena Islandia adalah dulunya pulau yang dikuasai Denmark. Dan Inggris dianggap lebih superior dalam hal kebudayaan.
Gunung adalah aset kebanggaan Islandia, tapi jangan salah, gunung juga yang membuat mereka dibenci penduduk Eropa lainnya. Dengan topografi yang dipenuhi gunung berapi yang ganas dan aktif, Islandia kerap dijadikan bulan-bulanan saat banyak penerbangan terpaksa ditunda karena kepulan abu di angkasa Eropa. “Emangnya kita bikin abu itu berterbangan?” protes Ari saat menemukan seorang pria yang berkata dirinya membenci Islandia di sebuah bandara karena penerbangannya dibatalkan akibar hujan abu.
Tapi gunung juga yang membikin negara itu kesusahan membangun infrastruktur transportasinya. Bayangkan untuk membangun jalur kereta api yang efisien saja, Islandia mesti menyiapkan dana miliaran krone demi membor pegunungan yang banyak sekali di wilayahnya. Sangat membuat frustrasi kan?
Susah dan lamanya membuat jaringan kereta api ini membuat Islandia diolok-olok orang Eropa lain yang negara-negaranya relatif rata, tanpa gunung-gunung yang menjulang tinggi. Denmark, Belanda, Inggris, Jerman… semuanya punya jaringan kereta api yang terkena efisien dan bagus. Tapi Islandia tidak, dan mereka berjuang keras untuk mewujudkannya. Negara-negara tadi lansekapnya cenderung rata sehingga mudah dimodifikasi untuk jaringan transportasi, apalagi Denmark yang ketinggiannya tak melebihi permukaan laut dan juga memiliki bukit sebagai ‘gunung tertinggi’. Dan Ari mengolok-olok bukit itu sebagai balas dendam atas olok-olok orang Eropa daratan atas ketertinggalan Islandia di bidang transportasi tadi. (*/)