PERNAH nggak kalian nonton sesuatu dan pekerjaan si tokoh utama atau tokoh protagonisnya sama persis dengan pekerjaan yang kamu lakoni sehari-hari?
Pastinya kita jadi lebih sadar dengan detail-detail yang remeh tapi penting dalam profesi kita yang sedang digambarkan di situ. Detail-detail ini mungkin terlewatkan bagi banyak orang awam yang ada di luar dunia profesi tersebut tapi buat mereka ‘orang dalam’ pasti tahu sedikit banyak. Kalau tokoh itu pekerjaannya digambarkan agak kurang akurat, kita kadang protes dalam hati: “Kok gitu sih?”
Setelah beberapa kali menonton serial-serial yang bertema dunia penerbitan dan media di Netflix beberapa pekan ini, saya sendiri menemukan sejumlah sosok editor yang bikin gemas karena … agak lebay dan well, ya ini kan memang tontonan yang mesti dibuat sedramatik mungkin. Kalau biasa-biasa saja ya mana ada yang mau menonton?! Haha.
Tapi kadang merasa tersindir karena memang ada deskripsinya yang akurat. Nah, seperti apa tuh yang akurat dan menohok?

Karakter editor pertama yang saya temukan di gudang kontennya Netflix adalah Jacqueline Carlyle, sang editor in-chief majalah perempuan Scarlet di serial “The Bold Type”. Kebetulan di sini protagonis utamanya adalah seorang penulis junior bernama Jean Sloan yang berada di bawah bimbingan si Jacqueline. Karena Jacqueline ini seorang pekerja media yang sudah malang melintang, Jane memandangnya sebagai seorang panutan, ikon, dan sosok inspiratif.
Penggambaran sosok Jacqueline sebagai editor di sini sungguh kuat. Salut banget sih buat Sarah Watson yang menggagas serial ini. Di sini, Jac tuh sosok editor idaman banget. Dia punya pengalaman segudang, kenalan banyak, keluarga yang harmonis (padahal dia gila kerja), dan yang terpenting dedikasi dan kematangan pribadi yang diperlukan untuk bisa menahkodai redaksi majalah yang sedang bertransformasi dari media lama (cetak) ke media baru (digital).
Sebagai seorang editor, dia selalu punya kalimat-kalimat yang cetar sebagai wejangan, pengusir kegundahan saat anak-anak buahnya lagi ragu dengan diri mereka sendiri, overthinking, atau harus mengambil keputusan penting dalam kerjaan atau kehidupan pribadi. Mereka udah kayak anak-anak Jac sendiri. Akting Melora Hardyn yang memerankan Jac sungguh mantap, setidaknya di mata saya sebagai penonton. Bener-bener Jac menjadi standar sih tentang bagaimana seorang editor seharusnya.
Tapi yang agak membuat aneh adalah kedekatan Jac yang sampai melebihi batas sih. Sampai masalah keretakan rumah tangga dengan suaminya saja bisa dia bahas dengan Joan yang notabene bawahannya pada saat mereka di kantor. Ya aneh aja sih, kalau kita bandingkan dengan kultur kerja di Indonesia yang mengharuskan atasan untuk menjaga kewibawaan di depan bawahan. Nggak kebayang sih kalau kita sebagai atasan dengan terbuka bisa membahas masalah pribadi dan keluarga dengan bawahan seleluasa itu. Atau apakah karena Jac dan Jane adalah sama-sama wanita? Entahlah, bisa saja ada faktor sisterhood yang memang konon sangat kuat.

Sosok kedua yang saya temukan adalah editor blog Eggwoke bernama Olivia di serial “Special” yang protagonisnya ialah Ryan Hayes yang diperankan Ryan O’Connel. Aktor ini memang benar-benar menderita cerebral palsy dan ia sepertinya menggunakan pengalaman-pengalaman pribadinya sebagai seorang pria muda gay dan memiliki kondisi khusus yang abu-abu (dibilang cacat tidak, dibilang normal juga tidak).
Olivia adalah perempuan yang sangat…ugh, narsisistik, arogan, kasar secara verbal, sarkastis, dan culas. Ia mempekerjakan Ryan sebagai tenaga magang secara tak manusiawi. Lalu mengolok-olok kepincangannya, dan merisaknya di depan orang lain di tempat kerja. Dan Olivia tak pernah merasa bersalah atas itu. Ia gambaran atasan atau editor yang suka menyiksa batin dan pikiran para bawahan dengan kata-kata yang menusuk dan tajam layaknya silet anyar. Bahkan ia memanggil Ryan sebagai “diva” hanya karena ia dianggapnya cari perhatian dengan kondisi cerebral palsy-nya itu. Untung saja serial ini genrenya komedi jadi perilaku karakter Olivia ini bisa disikapi dengan senyuman meski kecut.
Tapi kalau ada di kehidupan nyata, Olivia ini mungkin ada sih. Meski memang harus diakui Olivia adalah versi ekstrim dari sosok-sosok editor yang mulutnya tajam di lapangan. Ugh, tapi inilah yang membuat saya ngeri juga sih: kebanyakan editor sepertinya memang bermulut tajam dalam kehidupan sehari-hari mereka. Entah kenapa, apakah mereka terlalu pandai dan piawai dalam memilih kata yang paling mengena di hati??
Untungnya Ryan yang nrimo ini punya teman Kim, yang berdarah India dan bersikap tegas di depan Olivia untuk membela Ryan yang kerap dijadikan bulan-bulanan. Untuk ini, penggambaran Kim juga lumayan akurat sih. Seperti tipikal orang India, Kim juga suka menentang hal-hal yang menurutnya kurang adil dan memuaskan. Ia berani-beraninya minta naik gaji ke Olivia padahal dua bulan sebelumnya sudah dinaikkan gajinya. Alasannya? Karena terjerat utang kartu kredit akibat belanja baju bermerek. Duh! Tapi tentu saja Olivia menampik dingin.

Lalu sosok editor ketiga adalah Matt Braden, editor yang menjalankan surat kabar lokal bernama “Tambury Gazette” di kota kecil bernama Tambury di serial “After Life”. Matt adalah saudara ipar Tony, sang protagonis yang baru saja kehilangan istrinya Lisa akibat kanker payudara. Tony bekerja sebagai penulis artikel feature di surat kabar gratis itu. Pribadinya ceria dan suka bercanda mendadak menjadi muram dan suicidal begitu Lisa meninggal tragis.
Di sini, Matt digambarkan sebagai seorang pimred/ editor yang lemah dalam mengambil keputusan. Ia terlalu peduli pada kesulitan yang dihadapi Tony secara pribadi. Mungkin saja karena perannya bercampur antara saudara ipar dan atasan Tony di kantor.
Tak terhitung upaya Matt untuk membuat Tony lebih bersemangat menjalani sisa hidupnya tanpa Lisa. Dan bahkan di sini Matt begitu peduli pada Tony sampai dirinya harus rela rumah tangganya retak.
Sebagai seorang editor, Matt sungguh menyedihkan karena seharusnya ia karakter yang kuat. Bukan lembek dan mudah diteror. Kebetulan karena masalah rumah tangga itu, ia harus menemui seorang terapis/ psikiater yang nggak becus, punya mentalitas toksik, suka berteman dengan orang-orang yang berkata kotor, bahkan bertingkah konyol di bar. Pokoknya terapis ini bukan tipe terapis ideal. Tapi anehnya Matt mempercayai nasihat-nasihatnya. Dan meski diteror dan diintimidasi, Matt malah terdorong ke sisi buruk maskulinisme.
Dan yang menyedihkan, Matt ini digambarkan tak punya inisiatif untuk menyelematkan surat kabar itu saat pemiliknya memutuskan ingin menjualnya karena tak ada laba dari situ. Justru Tony yang nekat menemui si pemilik dan bernegosiasi dengannya agar menunda penutupan itu. Mengecewakan sih. Karena sebagai seorang pucuk pimpinan sebuah media, editor adalah nahkoda. Jadi tidak seharusnya mudah terombang-ambing. Baik boleh, peduli orang lain boleh tapi bukan berarti menjadi tidak tegas dan tak berprinsip.
Satu lagi yang saya ingin protes dari penggambaran editor adalah meski sekarang sudah jamak menggunakan email dan piranti lunak pengolah kata tapi penulis-penulis di serial-serial ini masih menyerahkan draft mereka dalam bentuk cetakan di kertas. Haha! Paham sih kalau memang mengedit di layar laptop itu sering selip membetulkan typo tapi mana semangat go green-nya?!! (*/)
Leave a Reply