Sensasi ‘Gatal’ Saat Berkomunikasi dengan Surat di Zaman Digital

Ngapain nulis surat kalau sudah ada WhatsApp? (Photo by MART PRODUCTION on Pexels.com)

MELARANG penggunaan ponsel mungkin sudah jamak di tengah kalangan pendidikan terutama saat proses belajar mengajar di kelas secara tatap muka berlangsung. Tapi bagaimana dong kalau sekolahnya pondok pesantren yang tak mengizinkan siswa menggunakan gawai apapun (bahkan laptop yang bisa dipakai untuk mempermudah belajar) selama menuntut ilmu di sana? Ya selama 3 tahun penuh!

Begitulah yang dialami anak seorang saudara yang sedang belajar keras untuk menjadi penghapal Qur’an di sebuah tempat di provinsi tetangga sana.

Lalu bagaimana komunikasi bisa tetap dijalin? Para guru sih masih memegang gawai tapi tetap saja mereka cuma memberikan kabar via foto kelas atau kabar teks yang terlalu singkat dan kurang memuaskan.

Alhasil, si anak ini kembali ke metode korespondensi model baheula: menulis surat. Di saat anak-anak seusianya main TikTok sampai puas, menggunakan laptop untuk belajar sampai mata pedas dan kepala pening karena Zoom seharian, ia malah menggunakan jari-jarinya untuk menulis dengan tangan. Karena bahkan tidak ada mesin ketik atau laptop di sana.

Kekolotan metode belajar ini memang selintas menjengkelkan terutama bagi mereka yang berpikiran maju. Tapi saya sendiri malah sebetulnya sepakat sih dengan cara yang radikal begini untuk meniadakan gawai di kehidupan anak-anak. Dan saya pikir otak belia mereka nggak bakalan tertinggal. Bakal bisa mengejar ketinggalan lagi kok asal mau belajar.

Anak-anak zaman sekarang yang sudah kecanduan TikTok atau media sosial sebenarnya bisa diterapi dengan cara ini. Masalahnya: orang tua mereka sanggup memberi contoh nggak? Haha! Karena sebenarnya yang lebih butuh diterapi juga orang tua yang sudah terlalu melekat dengan pekerjaan mereka.

Di sini saya jadi ingin merunut ke belakang, menelisik tradisi orang menulis surat.

Masyarakat modern menganggap menulis surat sebagai sebuah tradisi masa lampau. Eksotis dan sangat berbudaya. Hanya saja sudah bukan untuk mereka yang hidup di masa kini.

Berkirim surat di masa kini juga sudah dianggap sebagai tata cara komunikasi ala korporat dan birokrat. Ini tak berlebihan karena terakhir saya mengirim surat via kantor pos terdekat, petugas menanyai saya: “Ini surat pribadi atau dinas?”

Saya terpana. Jadi itu ya stigma pengirim surat sekarang? Semuanya pasti untuk urusan pekerjaan, urusan formal, kirim-mengirim dokumen belaka. Korespondensi pribadi dengan surat seakan sudah dicap hal aneh. Buat apa? Wong sudah ada banyak aplikasi chat di ponsel. Bisa kirim teks, foto, video, kok masih mau kirim surat? Begitu saya ditertawakan si petugas dalam hatinya.

MENULIS SURAT, SEBUAH SENI

Menulis surat yang dimaksud di sini ialah menulis surat secara manual, bukan dengan mengetik di komputer, apalagi tinggal menyalin dengan mesin fotokopi dan mengirimkannya ke pos. Memang masyarakat modern masih menggunakan bentuk surat menyurat fisik tetapi lebih banyak pada urusan bisnis dan birokrasi. Untuk korespondensi pribadi, rasanya penggunaan surat yang ditulis dengan tangan sudah jarang sekali dijumpai. Kemudahan teknologi sudah menyingkirkan semua dorongan menulis surat panjang, begitu banyak orang berpikir.

Namun, sebenarnya tidak demikian. Mengapa masyarakat modern sudah kehilangan seni menulis surat bukanlah karena faktor kemajuan teknologi informasi. Sebab jauh sebelum surat elektronik (email) ditemukan dan dipakai sesering sekarang ini, seni menulis surat sudah perlahan ‘mati’ sejak dekade 1920-an di Barat. 

Penyebab punahnya seni menulis surat secara historis jika kita telisik lebih dalam lagi bukanlah surel tetapi ketidakmampuan manusia secara alami untuk menulis surat dalam bentuk panjang dengan tangan mereka sendiri. 

Ini bukan soal maju tidaknya sebuah peradaban, pendidikan, melek huruf, budaya menulis sebuah masyarakat, dan sebagainya. Penyebabnya sederhana saja: karena menulis surat membutuhkan pendidikan khusus. 

Menulis surat bukanlah sebuah ketrampilan dan bakat alam yang turun begitu saja dari langit. Ia juga bukan bakat yang diturunkan secara genetis dari orang tua ke anak-anak dan cucunya. 

Pendidikan khusus yang membuat seorang manusia piawai menulis surat ini sudah ada sejak zaman Romawi Kuno. Pendidikan ala Romawi saat itu ialah yang menekankan tata bahasa, kosakata, menulis, logika dan sebagainya. Jenjang pendidikan dasar ini disebut trivium, yang bisa diselesaikan dalam waktu 4-5 tahun. Tujuannya ialah mengasah kemampuan berpikir siswa dalam berbagai bidang kehidupan.

Dalam metode pendidikan Romawi, murid diperintahkan belajar tata bahasa Latin dengan menyalin karya-karya agung sastrawan saat itu seperti Cicero. Seiring dengan itu, setelah cukup pandai, murid akan mulai menyusun kalimat sendiri, menulis esai, berpidato dalam bahasa Latin, dan jika sudah mumpuni, berdebat dengan para cendekiawan dalam bahasa Latin. Jadi mereka belajar habis-habisan untuk meniru dahulu, baru kemudian diajak berpikir kritis atas pemikiran-pemikiran yang disajikan pendahulu.

Setelah trivium, orang Romawi masuk ke jenjang quadrivium yang memberikan mereka pendidikan mengenai geometri, aljabar, harmoni (musik), astronomi. Pendidikan ini rampung dalam waktu dua tahun.

Begitu lulus quadrivium, para remaja Romawi Kuno bisa memilih subjek yang disukai masing-masing individu. Dan sebagaimana jenjang pendidikan masa kini, makin ke atas, makin sedikit orangnya.

BAGAIMANA DENGAN KITA?

Lain dari bangsa-bangsa Eropa yang punya tradisi menulis yang mengakar kuat, bangsa kita rasanya punya akar lebih kuat dalam hal tradisi lisan.

Bangsa kita baru mau menulis sesuatu jika ia sudah dianggap sakral atau suci sehingga patut dilestarikan agar generasi penerus selalu bisa menengok kembali untuk ditelaah saat nanti para tetua sudah kembali ke tanah.

Tengok saja misalnya salah satu karya tulis paling monumental milik bangsa kita: “La Galigo”. Karya ini termasuk ke dalam golongan epik karena panjangnya melebihi Mahabharata yang terkenal di seluruh dunia itu. La Galigo terdiri dari 362 ribu bait. Sebagai perbandingan Mahabharata dan Ramayana kurang lebih hanya 150 ribu bait, sementara itu, epos Barat Ulysses cuma 70 ribu bait. Jadi kreativitas nenek moyang kita sebenarnya nggak kalah dari bangsa Arya di India dahulu kala itu.

BACA SELENGKAPNYA:3 DEKADE NURHAYATI RAHMAN LUNASI ‘UTANG’ LA GALIGO”

Bangsa kita belum begitu lama terpapar pada budaya membaca dan menulis di abad ke-20 saat Balai Pustaka didirikan Pemerintah Kolonial Belanda. Eh, sudah disibukkan kita dengan revolusi fisik yang heboh dan berdarah-darah.

Begitu kondisi sudah mulai tenang, kita dihantam lagi dengan badai politik 1965. Ekonomi kocar-kacir dan otomatis literasi juga terpengaruh. Bagaimana mau baca buku dan duduk menulis kalau mau makan saja susah?

Dan setelah Soeharto berkuasa, masuklah televisi. Ini sedikit banyak menggerogoti tradisi membaca yang baru berkecambah. Sederhananya, buat apa baca buku? Nonton TV aja lebih enak. Usaha otak kita lebih sedikit untuk mencerna pesan di dalamnya. Ada suara dan gambar bergerak yang memperjelas semuanya. Tak perlu lagi membayangkan dalam benak kita seperti apa wajah si karakter cerita yang kita sukai itu.

Karena langka sekali kesempatan diperkenalkan pada bacaan-bacaan yang bentuknya tulisan narasi panjang, banyak anak muda yang beralih ke media penyebaran pengetahuan lainnya. Buku memang masih tak bisa digeser atau dihapus sama sekali tapi kini ia bukan satu-satunya media belajar bagi masyarakat kita.

Sebab tak ada referensi bagaimana menulis panjang, akhirnya kita lebih merasa nyaman menulis pendek seperti dalam SMS, chat, dan email.

Dan kalau anak-anak sekarang disuruh menjabarkan perasaan atau opini mereka dalam bentuk esai atau tulisan panjang, mereka juga berjuang sangat keras, kalau tidak kewalahan.

Bahkan menulis buku atau novel sekarang juga makin instan juga. Di paltform Wattpad, pengarang bisa menerbitkan satu bab demi satu bab novelnya. Dan ia langsung bisa mendapatkan respon dari pembaca fanatiknya. Ini tak pernah bisa dinikmati pengarang-pengarang era sebelumnya. Ini sebuah revolusi dalam dunia menulis dan kepengarangan. Tapi seperti halnya semua perubahan, ini juga bak pisau yang bermata dua. Satunya bisa menusuk lawan, yang satunya melukai diri sendiri.

Dalam SMS, chat, email, kita seakan dikondisikan untuk terbiasa menulis pendek, seperlunya dan mendapatkan ‘instant gratification’, sebuah pemuasan yang seketika. Kita bisa dapat pujian, atau cacian, dalam hitungan detik atau menit. Memang tak selalu enak, tapi setidaknya tidak ada penantian yang panjang dan menghabiskan kesabaran. Bayangkan pengarang-pengarang era lama yang harus menulis dengan tangan, lalu mengetik, memberikan naskah ke editor mereka, dan barulah dicetak jadi buku dan baru bisa sampai ke tangan pembaca setelah didistribusikan. Rantai pengerjaannya sangatlah panjang dan lama dan bertele-tele. Di platform menulis modern (entah itu blog seperti ini, atau Wattpad), semua itu dipangkas. Kini pengarang bisa langsung bertemu pembaca dengan perantara sebuah platform pihak ketiga yang menghemat energi dan waktu dengan begitu fantastis.

Jadi inilah yang saya maksudkan sensasi gatal. Menunggu respon, menunggu tanggapan pembaca. Tak peduli itu puja-puji atau caci maki, yang penting langsung tahu. Jadi tidak melalui banyak malam tanpa tidur karena penasaran setengah hidup mengenai reaksi pembaca pada karya yang sudah terbit. Apakah gagal (flop) atau sukses (best-selling).

Seperti saya yang setengah hidup menunggu balasan surat. Ini belum dibalas, atau suratnya ‘nyasar’, atau lupa dibalas, atau…? (*/)



Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: