SUATU malam saya mengobrol santai dengan seorang teman. Ia saya kenal sebagai pribadi yang dewasa, cerdas dan bijak. Tidak ada kesan bahwa ia memiliki kecenderungan untuk berpihak pada sebuah faksi atau kelompok politik dan kami juga tak pernah mengobrol soal itu sebelumnya.
Tapi entah kenapa saat itu ia tiba-tiba menyinggung soal istilah “kadrun” alias kadal gurun. Istilah ini seperti kita tahu merupakan sebuah sebutan peyoratif atau merendahkan bagi mereka yang dianggap “mabok agama”. Mereka ini sering dicap terlalu relijius, sok keArab-araban, kurang suka kemajemukan, keras, tak berkompromi pada mereka yang meyakini dan memeluk agama lain.
Dan untuk mengingatkan, istilah kadrun ini muncul dalam kosakata kita tatkala peperangan bertema politik identitas yang skalanya sudah mirip Bharatayuda versi digital antara Anies vs Ahok dan Jokowi vs Prabowo itu mencapai klimaksnya.
Saya sendiri tak pernah menggunakan istilah peyoratif semacam itu untuk melabeli orang karena jujur saya tak ambil pusing soal konflik politik yang berlangsung. Itu semua sudah diagendakan dan direncanakan demi sebuah ambisi kekuasaan jadi saya sebagai rakyat kecil cuma menonton lah. Tak mau begitu larut karena kalau sampai membela mati-matian juga tak ada untungnya.
Dan karena konflik politik identitas yang membelah bangsa ini, sampai sekarang konflik kadrun vs kecebong seakan sudah mustahil dihapus dari benak orang Indonesia.
Karena konflik itu jugalah, agama dicap sebagai sesuatu yang ‘memabukkan’ karena jika dipahami secara sempit, ia bisa menggiring kita menjadi manusia yang beringas dan sanggup bertindak apapun dengan mengatasnamakan ajaran agama dan Tuhan.
Tapi dari sindiran agama sebagai candu itu sebetulnya bangsa ini bisa bertahan di masa pandemi ini berkat agama juga lho.
The Economist pernah membahas soal bagaimana manusia-manusia yang tinggal di negara-negara berkembang (baca: miskin) bisa bertahan selama pandemi berkat optimisme yang ditanamkan dari nilai-nilai agama.
Dan untuk hal satu ini, bangsa kita jagonya. Angka kasus positif memang pernah gila-gilaan Juli-Agustus lalu tapi optimisme itu bahkan tak pernah surut. Kita terus bergerak. Masjid-masjid penuh. Tak ada yang namanya jaga jarak atau protokol kesehatan ketat.
Lalu yang membuat saya makin yakin lagi dengan kekuatan aset spiritual bangsa ini adalah sebuah penelitian yang dipublikasikan James Cook University tahun 2018 lalu. Di situ peneliti menemukan bahwa manusia-manusia yang relijius tetap bisa bahagia dengan meyakini sepenuh hati bahwa ada hikmah atau makna yang lebih dalam dari apapun yang terjadi dalam hidup mereka. Dan pandangan semacam ini sudah lazim kita temukan dalam ajaran agama-agama di Indonesia.
Dalam riset itu, ditemukan bahwa orang-orang yang mengapresiasi kejadian-kejadian kecil dalam keseharian mereka bisa merasakan emosi-emosi positif lebih baik daripada yang tak percaya Tuhan dan agama.
Misalnya mereka yang relijius merasa bisa lebih berterima kasih dan menghargai waktu yang dihabiskan bersama teman, keluarga. Dengan kata lain, mereka memberikan makna yang lebih tinggi pada detail-detail kecil dalam hidup.
Jadi bagi Anda yang merasa bahwa hidup ini kosong dan tak bermakna, cobalah mendekatkan diri pada Tuhan melalui ajaran agama yang relevan dengan Anda.
Tapi bagaimana kalau Anda cuma ingin meyakini adanya Tuhan dan tak mau terlalu larut dalam ritual dan formalitas beragama? Bisa saja Anda menekuni spiritualisme saja. Di sini Anda masih bisa menemukan esensi keilahian itu tanpa harus mengikuti ritual atau dogma agama tertentu. (*/)
Unpopular opinion. Agama malah bikin saya hidup ga tenang karena tuntutan ini itu, dan hidup dalam ketakutan. Ga boleh melakukan x karena bakal masuk neraka. Gaboleh melakukan Y karena masuk neraka. Tuhan dr agama yg saya kenal dari kecil hanya mengajarkan ketakutan, alih2 kasih sayang.
Setelah melepaskan diri dari agama, barulah saya merasa bebas dan bahagia. Bisa mencintai siapapun tanpa harus lihat dulu agamanya apa. Bisa berteman dengan siapa pun tanpa harus lihat orientasi seksualnya sesuai agama atau tidak. Memperlakukan manusia sebagai manusia, bukan melabeli dia ahli surga atau pendosa 🙂
Halo salam kenal Chron. Makasih udah berbagi opini di sini. Menurut saya memang manusia membutuhkan sebuah pemahaman bahwa ada sesuatu yang berkuasa lebih dari dirinya dan alam semesta ini agar ia bisa tetap tenang di kondisi-kondisi yang di luar kendalinya. Itu bisa berarti melalui jalan agama atau spiritual. Kalau tidak masalah dengan label-label dan dogma, kita bisa pilih agama tapi jika risih, masih ada spiritualisme yang lebih netral. IMHO…