PERNAH saya ditanya mengapa budaya menulis dan membaca di masyarakat Indonesia masih rendah padahal bangsa lain sepertinya melaju pesat.
Saya jawab dengan hasil refleksi dan pengamatan saya sendiri bahwa budaya komunikasi manusia Indonesia adalah budaya lisan, oral, ngomong, ghibah. Bukan budaya yang menulis, surat-menyurat, korespondensi, dan sejenisnya. Sebelum budaya membaca tertanam dalam, bangsa kita sudah kemasukan televisi, radio, dan sekarang Internet dan media sosial. Bye!
Maka dari itu sampai sekarang ada saja orang yang masih lebih nyaman menggunakan voice notes daripada mengetik jawaban mereka di aplikasi chat. Saya kenal beberapa orang seperti ini. Mereka biasanya sangat menyukai berbicara. Jago banget lah kalau disuruh menjelaskan, mempersuasi, mengobrol dari A sampai Z.
Tapi kadangkala kita bisa menemukan karya-karya tulis bangsa kita yang sebenarnya dari tradisi oral itu hanya saja dibukukan jadi kita masih bisa menikmati sampai sekarang.
Salah satu karya tulis yang langka ini ialah sebuah karya syair berjudul “Lampung Karam” ditulis Muhammad Saleh di 131 tahun lalu tatkala Gunung Krakatau meletus di Selat Sunda dan menjadi legenda karena kekuatannya yang begitu hebat dan dampaknya pada seluruh permukaan planet ini pada saat itu.
Ditulis dalam bahasa Arab-Melayu di Temasek (Singapura dulu kala), syair Saleh tadi mengandung pelajaran hidup dan catatan historis yang mirip jurnal/ diari mengenai kehidupan dan perilaku manusia selama peristiwa alam yang legendaris tersebut.
Tapi sayangnya syair yang terdiri dari 100 bait ini bisa diangkat lagi bukan karena disimpan anak bangsa di negara ini tapi disimpan Belanda di perpustakaan Universitas Leiden. Seorang dosen bernama Suryadi Sunuri menemukannya tahun 2005.
Dalam syair “Lampung Karam”, Saleh menceritakan bagaimana para warga sekitar Selat Sunda di Lampung berlari menyelamatkan diri begitu Krakatau mengamuk. Mereka harus nelangsa saat mengungsi karena ada pemilik rumah yang merasa keberatan menampung orang asing. Diceritakan juga kisah pengungsi yang memakai sebuah piring yang retak sampai kuah sayurnya tumpah. Sebagian pengungsi ada yang harus rela tinggal sementara di gua-gua karang, di bawah rumah panggung orang lain, tidur saling bertumpuk sebab keterbatasan ruang berlindung. (*/)
Leave a Reply