
SAAT ini saya sedang bergelut dengan pekerjaan editor. Tiap hari saya tenggelam dalam draft yang dikirimkan via surel.
Ada beberapa penulis pemula yang memang saya amati memiliki gaya menulis yang sudah lumayan jelas. Meski saya yakin itu belum otentik tapi setidaknya saya amati ia berusaha untuk mengikuti gaya menulis para pengarang yang sukses. Tidak semaunya sendiri.
Tapi apakah gaya menulis yang berpeluang membuat seorang penulis fiksi menjadi sukses atau karyanya digemari pembaca?
Peneliti dari Stony Brook Department of Computer Science, Yejin Choi, mengemukakan sebuah temuan yang cukup membantu para editor fiksi.
Choi meneliti kaitan antara gaya menulis dan karya sastra dari berbagai genre yang sukses di pasar.
Ia menggunakan analisis statistik bernama “statistical stylometry” yang berguna untuk membedah gaya sastrawi dari satu orang penulis atau satu genre tertentu dengan yang lain. Stylometry ini memiliki tingkat akurasi sampai 84%, klaim Choi.
Tim peneliti Choi mengukur kesuksesan sebuah karya sastra dengan membandingkan angka penjualan di Amazon, banyaknya penghargaan seperti Pulitzer, dan naskah film juga diteliti dengan mengukur skor di imdb.com.
Lalu apa sih ciri-ciri karya fiksi yang potensial menjadi karya yang laris manis di pasar? Dan kiat-kiat apa yang bisa kita ambil dari temuan ilmiah ini?
MEMAKAI LEBIH BANYAK KATA PENGHUBUNG
Kata-kata penghubung antargagasan seperti “dan”, “tapi”, serta “atau” ditemukan lebih banyak di buku-buku fiksi yang meledak di pasar.
Frekuensi penggunaan preposisi atau kata depan, kata benda, kata ganti orang, determiner (kata sandang) dan kata sifat yang lebih banyak juga memberikan peluang sebuah karya fiksi menjadi lebih laris.
Sebaliknya, karya yang jeblok dan tak banyak diminati pembaca adalah karya yang lebih banyak dipenuhi dengan kata kerja (verba), kata keterangan (adverbia), dan kata-kata asing.
HINDARI TEMA KLISE
Selain itu, karya-karya fiksi yang tak diminati biasanya bertema klise. Temanya biasanya romansa, percintaan, yang plotnya mudah ditebak. Lokasi atau latar tempat juga sangat tipikal (bisa jadi Jakarta kalau dalam khasanah penulisan kita). Juga ada lebih banyak kata-kata dengan asosiasi ekstrim dan negatif di dalamnya.
GUNAKAN KATA-KATA TENTANG PROSES BERPIKIR
Kalau Anda mau karya fiksi Anda lebih laris, hindari menggunakan kata-kata yang secara terang-terangan menggambarkan tindakan dan emosi. Misalnya kata “menghendaki”, “mengambil”, “berjanji”, “menangis”, “bergembira”).
Logikanya, pembaca tidak mau disuguhi deskripsi yang terlalu gamblang, seolah mereka diperlakukan seperti anak kecil yang tidak bisa menyimpulkan sesuatu sendiri dan harus ‘disuapi’ atau ‘dicekoki’.
Sementara itu, karya-karya fiksi yang ‘bestselling‘ cenderung memakai kata-kata yang lebih menggambarkan proses berpikir misalnya “mengenali”, “mengingat”. Bisa juga dipakai kata-kata kerja yang berfungsi untuk menunjukkan kutipan kalimat, contohnya “mengatakan”, “mengucapkan”. (*/)