
SEBAGAI generasi awal millennial, saya merasakan masa-masa kebangkitan internet 1.0 di akhir tahun 1990-an. Ya meski itu masih sebatas angan tapi kala itu saya sudah bersentuhan dengan komputer, belajar Microsoft Windows edisi lama, penggunaan Microsoft Words dan Excel. Disket juga sempat saya pakai untuk menyimpan data. Sebuah kenangan yang sangat menegaskan garis batas usia dan generasi.
Mulailah saat saya kuliah, internet makin merebak dalam kehidupan manusia Indonesia. Teknologi seluler memungkinkan hal ini terjadi. Teknologi EDGE memungkinkan saya mengunduh nada dering polifonik yang setingkat lebih tinggi dan bergengsi daripada nada dering monofonik. Bahkan mulai ada nada dering MP3 juga. Dan ini terus terang membuat saya keranjingan. Itulah pertama kalinya lagu-lagu kesayangan bisa didengar tanpa harus membawa pesawat radio yang berat ke mana-mana, memakai kaset dan walkman yang ditenagai baterai yang harus beli lagi kalau habis energinya. Pokoknya jauh dari kepraktisan mendengarkan musik sekarang. Belum lagi keterbatasan kapasitas penyimpanan di ponsel yang cuma 40-50 MB!! Gila kan, mana cukup buat 10 lagu MP3. Paling cuma 4-5 dengan bitrate sepantasnya. Tapi sekarang satu kartu memori bisa memuat ratusan lagu sampai kuping berdengung mendengar seharian. Alangkah drastisnya perubahan teknologi kita.
Akhir-akhir ini saya juga ‘dipaksa’ untuk mengenal sebuah produk teknologi baru lagi. Namanya NFT. Kepanjangannya Non-Fungible Tokens, yang akarnya dari Bitcoin, sebuah mata uang kripto yang merajai dunia sekarang.
Istilah ini sendiri pertama kali saya ketahui dari bio seorang techpreneur di Twitter. Kalau tidak salah ingat itu bio Elon Musk.
NFT sebenarnya bisa apa saja sesuai dengan keinginan manusia pembuatnya. Komunitas NFT sudah berkembang secara ‘bawah tanah’ sejak lama. Kenapa saya katakan ‘bawah tanah’ karena kalangan terbatas saja yang berada di dalamnya. Mereka ini para geek dan nerd yang paham bagaimana teknologi baru ini bekerja.
Gelombang Kripto terjadi mulanya saat Bitcoin muncul tahun 2009, disusul Litecoin tahun 2011 dan Dogecoin tahun 2013. Lalu muncul lebih banyak mata uang kripto lain.
Dari sini muncul keinginan dari para pengembangnya untuk membuat benda-benda digital yang bisa dikoleksi dan bisa diperjualbelikan dengan mata uang kripto ini. Begitulah setiap inovasi bermula. Dari pikiran iseng manusia-manusia yang kurang kerjaan dan merasa dunia ini sudah membosankan dan perlu sesuatu yang baru.
NFT pertama yang muncul mungkin ialah CryptoKitties, yang ada di Ethereum tahun 2017. Dari sana meledaklah proyek-proyek NFT.
APA ITU NFT?
NFT bisa diartikan sebagai catatan digital yang aman secara kriptografis karena bisa memverifikasi kepemilikan atau akses menuju sebuah karya seni digital. Bayangkan NFT ini sebagai sebuah plat mobil bisa memverifikasi kepemilikan kendaraan tersebut. Tanpa plat itu, meski mobilnya di garasi Anda pun, mobil itu bukan milik Anda.
Nah apa saja sih yang bisa dijual bersama NFT ini?
Kalau dari jawaban seorang teman yang menggeluti ini sih bisa apapun. Dari file gambar jpeg sederhana, video, lagu, suara lain, podcast, bahkan pindaian file yang menurut kita penting semacam ijazah sampai hal-hal yang tak penting dan konyol seperti gambar sederhana yang bisa dibuat anak balita. Haha.
CERITA YANG UTAMA
Dan ternyata harus ada storytelling yang harus dipakai di balik NFT ini juga agar bisa laku. Mirip karya seni di dunia nyata kok. Seringlah kita temui lukisan yang sepertinya saking abstraknya sampai kita tidak paham karena memang sekilas mirip karya yang dibuat asal-asalan. Tapi begitu dijelaskan cerita di balik itu, atau ideologi atau pemikiran di balik karya yang kelihatan simpel dan konyol itu, kita jadi paham mengapa karya ini dinilai begitu tinggi. Ya argumen kadang bisa masuk akal dan kadang ada yang terkesan mengada-ada. Tapi begitulah keragaman dan kemajemukannya.
Storytelling ini mesti dituangkan di titel, deskripsi NFT yang dijual ke pasar. Ada tag-tag yang mesti diberikan pada NFT agar punya makna dan kategori. Dengan demikian para kolektor bisa dengan mudah menemukan NFT yang unik.

Lihat saja pendiri Twitter Jack Dorsey yang menjual twit pertamanya sebagai NFT lalu berhasil dijual senilai Rp41 miliar. Tentu ini sekilas terkesan konyol dan tak masuk akal. Bagaimana twit ‘receh’ begini ditukar dengan uang sebesar itu? Tapi kisah di belakang hal receh itu harus dipertimbangkan. Inilah yang saya maksud dengan kekuatan storytelling.
Yang unik dari NFT ini adalah ada hak royalti sebagai produsen dan hak kepemilikan. Hak sebagai produsen akan terus melekat pada karya NFT meski ia sudah dijual sekalipun. Dan mereka yang membeli dari produsen dan dari pembeli sebelumnya cuma bisa memiliki hak kepemilikan. Hak sebagai produsen tak hilang meski NFT itu diperjualbelikan ke dan dari banyak tangan. Jadi, para produsen NFT bisa terus menangguk untung. Inilah kenapa anak-anak muda begitu tergiur masuk dunia NFT ini. Ya sebab bisa membuat karya apapun sebisa mereka dan seunik mereka lalu menjualnya dan untungnya dari royalti (yang besarannya sekitar 15%) bisa berakumulasi kalau dijual ke banyak orang. (*/)

PENGGUNAAN STORYTELLING
Kita bisa ambil contoh Wild Lion Society NFT Project ini. Mereka wajib menyusun sebuah tulisan yang mirip proposal dan berisi detail-detail penting proyek mereka agar kolektor mau membeli karya NFT yang mereka hasilkan.
Di sini mereka memberikan rincian tanggal peluncuran NFT milik mereka melalui kanal Discord (sebuah platform komunikasi digital baru), bagaimana ide NFT ini muncul, keunikannya, tim di baliknya, harga dan alasan mengapa harga tersebut layak dan pantas, dan gimmick-gimmick lain yang membuat orang lain merasa tertarik dan terlibat aktif sebagai anggota komunitas. (*/)