Di abad ke-21 semuanya berubah. Akses pendidikan seperti pintu gerbang yang terbuka lebar bagi semua orang. Pendidikan juga menjadi alat mobilitas sosial vertikal yang legal di banyak masyarakat. Maksudnya, orang tak peduli latar belakangnya kalau menuntut ilmu dengan baik pasti akan mendapat tempat di masyarakat. Yang miskin kalau mau belajar rajin pasti bisa lebih kaya melalui pendidikan yang dia punya. Hidupnya lebih sejahtera dan harapan hidupnya lebih panjang. Ya karena konon pendidikan tinggi tak cuma memberikan kecerdasan tapi ia juga membekali dengan kearifan, daya pikir dan kemampuan beradaptasi yang lebih baik dengan dunia yang terus berubah ini.
Tapi entah kenapa semakin hari terjadi pergeseran pola pikir yang memandang pendidikan sebagai hanya alat untuk meraih posisi dan kekuasaan di masyarakat. Pendidikan tinggi bukan lagi dicapai untuk tujuan mulia seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat atau meratakan akses menuju ‘kolam’ pengetahuan bagi mereka yang ‘haus’.
Saat ini muncul semacam tren yang seolah menunjukkan pada kita bahwa pendidikan tinggi bisa dibeli. Untuk masuk ke perguruan tinggi yang berkualitas, kita bisa ‘membeli’ bangku dengan segepok duit.
Di sini saya ingin mengangkat 2 film yang membuka mata kita terhadap fenomena global ini. Betul, tren memprihatinkan ini tak cuma terjadi di Indonesia kok. Bahkan di negara-negara yang konon dicap lebih maju baik Barat dan Timur, hal yang sama juga ada dengan intensitas berbeda-beda. Untuk memberi gambaran tentang tren ini di dunia Barat saya pilih satu film dokumenter dan satu yang mewakili dunia Timur saya akan ambil sebuah serial drama Korea.
PENDIDIKAN SEBAGAI KOMODITAS DAGANG DAN SIMBOL STATUS
Film dokumenter pertama yang menyoroti fenomena turunnya kredibilitas perguruan tinggi ini adalah “Operation Varsity Blues: The College Admissions Scandal” (2021) yang tayang di Netflix.
Kalau Anda pernah mengikuti berita tahun 2019, pernah ada kasus terkuaknya skandal penerimaan mahasiswa baru di kampus-kampus terkemuka AS yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang berprofesi sebagai pesohor, eksekutif top perusahaan, orang kaya, dan sebagainya.
Sosok yang kemudian ditemukan sebagai biang keladi ialah Rick Singer, yang melabeli dirinya sebagai seorang “konsultan independen”. Di sini istilah ini memakai tanda petik karena memang apa yang dilakukan oleh si Singer ini tak cuma memberi konsultasi soal pendidikan. Tapi masih banyak pekerjaan ‘plus plus’ yang dilakukannya agar para klien menjadi puas 1000%.
Di zaman sekarang, saat semua bisa dilakukan dengan alat komunikasi digital yang serba efisien dan cepat, rasanya memang bodoh untuk beralih ke dunia analog. Tapi yang tak banyak orang sadari ialah saat kita berkomunikasi secara analog alias tatap muka, kita lebih aman dari peretasan dan penyadapan. Untungnya, Singer ini tak berpikir sampai ke situ dan karena itulah penyelidikan FBI bisa berjalan lebih lancar jaya.
Rick Singer mulanya cuma konsultan pendidikan biasa. Ia menjalani profesinya secara legal. Tak macam-macam. Namun, di tengah perjalanan ia makin paham bahwa ada tuntutan dari masyarakat terutama kelas atas untuk bisa memasukkan anak-anak mereka ke kampus-kampus bergengsi di AS dengan menghalalkan berbagai cara. Karena kita tahu, anak orang kaya belum tentu lebih pintar dan berbakat dari anak orang yang lebih proletar. Dan untuk menutupi kekurangan, anak-anak kaya ini dibantu orang tua mereka yang punya duit dan kekuasaan untuk masuk dengan bantuan Singer.
Secara legal, pekerjaan seorang konsultan pendidikan di AS ialah membantu persiapan tes SAT dan membantu anak menemukan kampus yang tepat untuk minat dan bakat mereka.
Singer mendirikan perusahaan layanan beasiswa atletik dan akademik “Future Stars” dengan ia sendiri sebagai presidennya. Lokasi Future Stars ada di Sacramento, California. Kelak perusahaan ini menjelma sebagai Singer Group yang mencap dirinya sebagai perusahaan konseling pendidikan dan bimbingan hidup makin ‘menggurita’.
Sebagai seorang pribadi, Singer dikenal sebagai guru les biasa. Ia dingin, jarang senyum, serius, dengan selera pakaian yang biasa saja. Untuk memberi kesan serius dengan profesinya sebagai pelatih akademik, ia memakai pakaian pelatih basket saat bekerja membimmbing anak-anak yang orang tuanya memilih jasanya.
Untuk bisa menjaring klien jetset, tentu tak bisa cuma mengandalkan marketing pola lama seperti word of mouth. Ia mencari kesempatan untuk presentasi di depan anggota klub country yang dihadiri orang-orang kaya raya yang memiliki anak usia sekolah. Dan di presentasinya, tentu ia tak bisa bersikap rendah hati. Ia menjanjikan hal-hal bombastis dan kadang kebohongan jika diperlukan untuk menarik para calon klien yang menggiurkan.
Dan Singer sanggup untuk berbuat apa saja demi keberhasilan anak-anak di bawah bimbingannya dalam mendapatkan kampus idaman. Tak jarang ia memalsukan data untuk mendaftar demi bisa memasukkan anak bimbingannya ke universitas pilihan. Kecurangan ini bahkan memalsukan jenis ras. Karena kampus-kampus ada kebijakan proporsi rasial, ada slot khusus untuk mereka yang bukan ras Kaukasia (kulit putih). Sehingga mereka yang mengaku ras Asia, Hispanik, kulit hitam bisa mendapatkan kesempatan masuk.
Diperkirakan ada sogokan 25 juta dollar yang dikumpulkan Singer dari ortu murid kaya untuk disalurkan ke para pelatih olahraga (untuk peminat beasiswa atletik) dan administrator universitas.
Kekeliruan dalam memandang perguruan tinggi, bukan sebagai wadah untuk meningkatkan kualitas manusia tapi malah menjadi alat mendapatkan prestise (yang berasal dari kata dalam bahasa Perancis yang artinya “tipu daya”) menjadi akar permasalahannya.
Masalah makin rumit saat pertumbuhan penduduk makin tinggi. Jumlah anak muda yang bersaing makin banyak. Meski sudah pintar kalau jumlah kursi yang tersedia tak bertambah juga percuma. Perbandingan pendaftar dan yang diterima makin menciut dari tahun ke tahun.
Sementara itu, universitas-universitas ini juga makin tersedot dalam kompetisi ranking “Best Universities” yang diperbarui dari tahun ke tahun dan seolah menjadi satu-satunya standar penentuan mutu pendidikan di sebuah universitas. Padahal ya belum tentu bisa mencerminkan standar kampus itu secara utuh dan objektif. Inilah yang namanya ilusi/ tipu daya.
Fakta lain yang menarik juga adalah bahwa olahraga kini juga dipakai sebagai alat untuk masuk ke perguruan tinggi. Namun, olahraga ini bukan olahraga yang lazim. Olahraga yang dimaksud adalah yang identik dengan kaum elit misalnya dayung, anggar, menunggang kuda yang tak bakal bisa dilakoni orang-orang dengan latar belakang kurang mampu atau di luar lingkaran elit kulit putih. Anak-anak kaya juga bisa dibantu untuk menonjol dan lebih dipertimbangkan dengan pemberian donasi berjuta-juta dollar kepada pembinaan olahraga tadi di kampus yang menjadi tujuan. Menantu Donald Trump Jared Kushner misalnya sebenarnya cuma anak berkecerdasan rata-rata tapi karena ayahnya bisa berkomitmen donasi 25 juta dollar ke kampus Harvard ya dia diterima.
Sejumlah pelatih olahraga di kampus Ivy League yang terjerat skandal ini bersama Singer di antaranya John Vandemoer pelatih tim layar di Stanford University, Donna Heinel direktur atletik senior, Jovan Vavic pelatih polo air di USC.
Tingkat stres di antara para calon mahasiswa juga makin mengkhawatirkan. Banyak yang merasa hidupnya hancur hanya karena gagal masuk ke universitas unggulan (‘Ivy League’). Padahal masih banyak universitas lain yang bisa dituju tapi karena kalah pamor, universitas-universitas tadi tak banyak dilirik.
Konspirasi Singer terendus pihak berwajib tatkala seseorang yang ditahan karena kasus sekuritas malah menyebut nama Rudy Meredith, seorang pelatih di Yale University, yang disebutnya meminta disuap. Dari Meredith, disebutlah nama Singer dan berawal dari sini pelan-pelan semuanya terbongkar.
Dalam pengawasan pihak berwajib, Singer diminta berkomunikasi terus dengan para CEO, selebriti yang menjadi kliennya dan terus mencatat percakapan mereka sebagai bukti persidangan.
Sebanyak 50 orang yang terdiri dari pesohor, pelatih olahraga dan CEO terseret dalam skandal nasional memalukan ini. Termasuk di antaranya Lori Loughlin dan Felicity Huffman.
Yang disayangkan adalah begitu skandal ini terungkap, masyarakat malah makin memaklumi bahwa memang harga dan pengorbanan yang harus dibayar untuk bisa masuk kampus Ivy League memang tak bisa ditebus sembarangan orang bahkan mereka yang kaya dan terkenal sekalipun.
Dan inilah yang terjadi, karena kalau Anda cek di website pemeringkat universitas sedunia usnews.com, peringkat Stanford University, Harvard University, Yale University dan universitas yang namanya muncul di kasus ini tetap bertengger di peringkat atas.
Yang perlu dibongkar lagi ialah persepsi masyarakat bahwa masa depan ditentukan oleh asal kampus seseorang, bahwa cuma lulusan kampus berperingkat top 10 atau top sekian di dunia yang bakal sukses dalam hidup.
Yang terlupakan adalah bahwa pendidikan bisa dicapai di mana saja, di kampus mana saja, tak perlu kampus top menurut lembaga tertentu. Sekali lagi, masih banyak yang tertipu prestise yang cuma ilusi belaka.
ASIA TAK BEDA
Di Asia, budaya menuhankan prestasi akademis juga tidak kalah dari Barat. Di negara-negara Asia yang dikenal sangat mengejar mutu SDM yang tinggi, pendidikan sudah seperti kebutuhan pokok. Ada bagusnya memang karena pendidikan bisa memperbaiki kesejahteraan rakyat tapi saat terlalu ekstrim, sebagian masyarakat menyalahgunakan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan dan tentunya gengsi alias prestise yang cuma ilusi. Dan akibatnya kesehatan mental anak-anak jadi korban juga.
Fenomena ini diangkat di drama “Sky Castle” yang ingin menyorot kegilaan orang Korea soal pendidikan tinggi yang bisa memberi mereka akses menuju ke kehidupan yang lebih ‘segala-galanya’ bagi anak-anak mereka. Tapi karena ini sudah menggejala di banyak negara Asia (tak cuma Korea), rasanya orang-orang tua Asia perlu juga menontonnya agar tidak menganggap pendidikan sebagai alat semata untuk keuntungan diri atau cuma sebagai pengatrol status ekonomi dan sosial keluarga.
Di “Sky Castle”, kita bisa menyaksikan pertarungan 4 keluarga demi prestise dan kebanggaan keluarga mereka masing-masing melalui prestasi akademis anak-anaknya. Diceritakan ada 4 ibu rumah tangganya yang menjadi titik pusat perhatian: Han Seo Jin (Yum Jung Ah), Lee Soo Im (Lee Tae Ran), No Seung Hye (Yoon Se Ah), dan Jin Jin Hee (Oh Na Ra). Ya patut dimaklumi, karena ibu-ibu seolah punya kewajiban mendidik anak-anak mereka sampai sukses. Sementara suami-suami menyibukkan diri mencari nafkah. Sistem patriarki yang kita juga bisa kita temui di tengah masyarakat Indonesia.
Masalah muncul saat masing-masing keluarga mencoba menggunakan anak-anak dan pencapaian akademis mereka di sekolah sebagai alat untuk mengatrol atau setidaknya mempertahankan status sosial ekonomi dan prestise di tengah kalangan terdidik, kaya dan sukses ini.
Muncullah sosok Kim Joo Young, seorang konsultan akademis yang berani menjamin anak-anak bimbingannya bisa siap masuk ke perguruan tinggi bergengsi idaman (orang tua) mereka. Profesi Kim ini mirip apa yang dilakoni Rick Singer juga. Layanan yang ia berikan cuma bisa diakses orang kaya dan terpandang yang ingin anak-anak mereka masuk ke perguruan tinggi bergengsi dengan menghalalkan segala cara.
Kim dibayar tinggi oleh para orang tua ini dan diamanati untuk melakukan segala cara demi mencapai tujuan akhir: mengantar anak-anak kaya ini lolos ujian masuk perguruan tinggi bergengsi di negara mereka. Sayangnya, cara-cara Kim membuat anak-anak itu rentan terhadap masalah psikologis dan mental juga.
Di sini kita bisa perhatikan bahwa saat kompetisi dalam kehidupan masyarakat makin sengit, pendidikan tinggi digunakan sebagai salah satu cara ampuh untuk tetap berada di atas manusia-manusia lainnya.
KEMBALI KE PENDIDIKAN TINGGI YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA
Rasanya tidak berlebihan kalau kita harus kembali ke fitrah pendidikan yang hakiki. Yang lebih tinggi dan agung daripada sekadar keuntungan pribadi atau keluarga dan golongan atau demi tujuan jangka pendek.
Kalau mengutip pemikiran mulia para pemikir, tujuan-tujuan pendidikan yang ideal ialah sebagai berikut:
“[…] the cultivation of curiosity and the disposition to inquire; the fostering of creativity; the production of knowledge and of knowledgeable students; the enhancement of understanding; the promotion of moral thinking, feeling, and action; the enlargement of the imagination; the fostering of growth, development, and self-realization; the fulfillment of potential; the cultivation of “liberally educated” persons; the overcoming of provincialism and close-mindedness; the development of sound judgment; the cultivation of docility and obedience to authority; the fostering of autonomy; the maximization of freedom, happiness, or self-esteem; the development of care, concern, and related attitudes and dispositions; the fostering of feelings of community, social solidarity, citizenship, and civic-mindedness; the production of good citizens; the “civilizing” of students; the protection of students from the deleterious effects of civilization; the development of piety, religious faith, and spiritual fulfillment; the fostering of ideological purity; the cultivation of political awareness and action; the integration or balancing of the needs and interests of the individual student and the larger society; and the fostering of skills and dispositions constitutive of rationality or critical thinking.” [sumber: https://www.britannica.com/topic/philosophy-of-education/Problems-issues-and-tasks]
Di negara kita, pendidikan direduksi menjadi cuma sarana meraih gelar atau tempat mencetak calon angkatan kerja produktif yang akan menyumbang nilai ekonomi ke GDP negara karena negara butuh pertumbuhan ekonomi yang cemerlang dan mesti naik dari tahun ke tahun. Tujuan mulia pendidikan seperti yang diungkap di atas malah terlupakan sama sekali dan bahkan digadaikan demi keuntungan jangka pendek.
Di sini, kita juga jumpai gelar-gelar akademik sebagai sebuah alat politik dan kekuasaan. SBY pernah dihadiahi gelar profesor kehormatan oleh Unhan. Yang kontrovesial adalah pengangkatan Megawati Soekarnoputri sebagai guru besar kehormatan Unhan karena kapasitas akademik dan karya ilmiahnya beliau dipertanyakan. Masalahnya adalah Megawati mengangkat topik yang berkaitan dengan dirinya sendiri sehingga otomatis objektivitasnya dipertanyakan. Karya tulisnya yang dianggap memuji-muji diri sendiri itu adalah “Kepemimpinan Presiden Megawati Pada Era Krisis Multidimensi, 2001-2004”.
Yang lebih menggemparkan adalah pemberian gelar guru besar pada Nurdin Halid oleh Fakultas Ilmu Keolahragaan Unnes, setahun lalu (2021). Motivasi guru besar FIK Unnes yang memberikan gelar ini pada Nurdin dipertanyakan rekan sejawatnya sampai ia didepak dari grup WhatsApp Majelis Profesor Unnes.
Keputusan FIK ini wajar dan patut dipermasalahkan karena sosok Nurdin memang sangat kontroversial dengan rekam jejaknya yang tak bisa dibilang bersih. Ia mantan terpidana korupsi. Sebagai pucuk pimpinan PSSI dulu, Nurdin juga dianggap biang keladi kemunduran sepakbola Indonesia. Menjamurnya mafia bola dan kultur bola yang tak mendukung perkembangan pesepakbola negeri ini pun dijadikan alasan mengapa Nurdin tidak pantas mendapat gelar kehormatan itu. Keputusan itu akhirnya menyulut api kemarahan BEM Unnes juga.
Akhirnya semua berpulang ke kita sebagai manusia pelakunya. Apakah kita akan mengizinkan semua ini terjadi terus-menerus sampai mengikis tujuan pendidikan yang ideal tadi? Atau kita akan mengambil tindakan konkret sebisa kita agar semua ini bisa disetop atau setidaknya dihalau agar tidak meluas di lingkungan terdekat kita? (*/)